Bertambah Lagi, Korban Tragedi Kanjuruhan Jadi 135 Orang Meninggal

Korban meninggal dunia akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pascapertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya, bertambah satu orang. Sehingga secara keseluruhan ada 135 orang kehilangan nyawa akibat tragedi tersebut. Korban terkini bernama Farzah Dwi Kurniawan (20), warga Kota Malang. Mendiang meninggal dunia pada Minggu (23/10/2022), pukul 22.50 WIB, sebagaimana dilaporkan kantor berita Antara. Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan, dalam rekomendasi yang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, Jumat (14/10), menyimpulkan "kematian massal" lebih disebabkan oleh gas air mata yang ditembakkan aparat. "Yang mati dan cacat dan kritis dipastikan itu terjadi karena desak-desakan setelah ada gas air mata yang disemprotkan [aparat]," ungkap Ketua TGIPF Mahfud MD. Mahfud MD juga mengatakan, ada saling lempar tanggung jawab antara sejumlah lembaga terkait Tragedi Kanjuruhan, yang telah mengakibatkan sedikitnya 135 orang meninggal. Pernyataan Mahfud ini merujuk kepada saling tunjuk antara Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), PT Liga Indonesia Baru (LIB), panitia pelaksana (panpel) pertandingan sepak bola, serta pihak pemilik hak siar, terkait tragedi itu. Sebelumnya diduga ada kesalahan prosedur pengamanan yang dilakukan aparat kepolisian dan panitia pelaksana dalam laga yang menandai kekalahan pertama Arema FC dalam 23 tahun terakhir melawan musuh bebuyutan Persebaya Surabaya di kandangnya, Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur. Enam orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk dari pihak kepolsian. Adapun, Kapolres Malang juga telah dimutasi beberapa hari lalu. Namun, tim pencari fakta Koalisi Masyarakat Sipil menilai telah terjadi tindak kekerasan yang dilakukan secara "sengaja dan sistematis" oleh aparat keamanan, tak hanya melibatkan aktor lapangan saja yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka. "Tetapi ada aktor lain, dengan posisi lebih tinggi yang seharusnya ikut bertanggung jawab, dan perlu diproses hukum lebih lanjut," tegas tim pencari fakta Koalisi Masyarakat Sipil dalam keterangan tertulis, Minggu (09/10). Hasil investigasi tim pencari fakta koalisi yang terdiri dari sejumlah LSM itu, juga menemukan bahwa pada saat pertengahan babak kedua, terdapat “mobilisasi sejumlah pasukan yang membawa gas air mata”. Padahal diketahui tak ada ancaman atau potensi gangguan keamanan saat itu. Para suporter Arema FC – yang dijuluki Aremania – yang turun ke lapangan, menurut para saksi yang memberikan keterangan pada tim pencari fakta, adalah demi memberikan “dorongan motivasi dan moril” bagi pemain. “Akan tetapi, hal tersebut direspons secara berlebihan dengan mengerahkan aparat keamanan dan kemudian terjadi tindak kekerasan.” Selain itu, sebelum tindakan penembakan gas air mata, tak ada upaya aparat untuk melakukan perintah lisan atau suara peringatan untuk mencegah kekacauan semakin terjadi. Padahal, merujuk pada Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, kepolisian harus melalui tahap-tahap tertentu sebelum mengambil tahap penembakan gas air mata. Berdasarkan kesaksian para suporter, masih menurut hasil investigasi tim pencari fakta Koalisi Masyarakat Sipil, penembakan gas air mata tidak hanya ditujukan ke bagian lapangan, tetapi juga mengarah ke bagian tribun sisi selatan, timur, dan utara sehingga hal tersebut menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi suporter yang berada di tribun. "Saat ingin hendak keluar dengan kondisi akses evakuasi yang sempit, terjadi penumpukan di sejumlah pintu yang terkunci." "Bahwa di dalam ruangan yang sangat terbatas tersebut, diperparah dengan masifnya penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian dan hal ini berdampak sangat fatal yang mengakibatkan para korban sulit bernafas hingga menimbulkan korban jiwa." Sementara itu, Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) memastikan seluruh pintu keluar tidak tertutup saat pertandingan usai, namun “hanya anak pintu” yang terbuka. Keterangan ini didapatkan setelah tim TGIPF mendatangi Stadion Kanjuruhan pada Sabtu (08/10) untuk melakukan kajian atas tragedi sepekan lalu di tempat kejadian perkara. "Tapi yang digunakan saat itu, hanya anak pintu atau pintu yang kecil, baik saat penonton masuk maupun pulang,” kata anggota TGIPF Mayjen TNI (Purn) Suwarno, seperti dikutip dari Kompas. “Jadi apa yang dikatakan pintu tertutup itu tidak benar,” lanjut dia. “Cuma yang dibuka hanya anak pintunya saja dari 14 pintu ini.” Sebelumnya, polisi pada Jumat (07/10) mengatakan hanya dua pintu darurat yang terbuka saat suporter panik setelah mendapatkan tembakan gas air mata dari aparat. “Dari delapan pintu darurat, yang terbuka hanya dua. Itu pun untuk jalur evakuasi pemain Persebaya,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo. Dalam keterangan pers yang diberikan oleh Arema FC pada Jumat (07/10), Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) Arema FC Abdul Haris mengatakan semua pintu telah terbuka sepuluh menit sebelum laga berakhir. “Sesuai SOP, pintu itu semua sudah terbuka. Kalau memang ada, mohon maaf, kalau memang ada oknum yang menutup, semua ada di CCTV,” kata Abdul, yang kini telah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam tragedi tersebut. (BBCIndonesia/Red)