Aremania Tidak Takut Intimidasi Polisi

Suporter Aremania menyatakan tidak takut atas gertakan polisi dalam pengusutan tragedi Kanjuruhan. Tudingan kekerasan aparat dan dugaan intimidasi terhadap Aremania ditantang oleh suporter klub Arema tersebut. "Lha wong mati saja kita lakukan, diintimidasi lagi," tantang Aremania. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat kembali menyuarakan reformasi kepolisian dan manajemen pengamanan kerumunan dalam pertandingan, setelah Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan sedikitnya 131 pendukung sepakbola Arema FC, termasuk 35 anak-anak. Adapun PSSI tengah merumuskan format pengamanan kerumunan pertandingan dengan kepolisian, sedangkan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Kanjuruhan membuka kemungkinan penyelidikan yang sedang mereka lakukan menemukan “tindak pidana yang lebih besar yang dilakukan bukan oleh pelaku lapangan”. Hingga saat ini kepolisian telah memeriksa 29 saksi—yang terdiri dari 23 anggota kepolisian yang bertugas dalam pengamanan di lapangan dan enam saksi lain, salah satunya dari panitia pelaksana pertandingan—namun belum menetapkan tersangka dalam insiden tersebut Koalisi masyarakat sipil untuk sektor keamanan menyebut peristiwa yang terjadi Sabtu (01/10) malam itu diduga kuat akibat adanya penggunaan kekuatan berlebih yang tidak proporsional dan kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa baik oleh pihak kepolisian maupun militer yang terlibat dalam pengamanan di stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur. “Seharusnya pendekatan awal yang digunakan oleh panitia pelaksana dan pihak yang mengizinkan laga ini berjalan, harusnya menetapkan pendekatan pengamanan bukanlah dengan metode keamanan dalam negeri, melibatkan aparat kepolisian dan tentara yang menggunakan alat-alat yang melumpuhkan seperti pemukul, gas air mata, dan senjata api,” ujar Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Julius Ibrani, Rabu (05/10). Sementara Daniel Siagian dari LBH Pos Malang menegaskan pentingnya reformasi kepolisian sebagai salah satu cara untuk memutus belenggu kekerasan. Kekerasan yang jamak dilakukan kepolisian, menurutnya, “semakin terlegitimasi melalui insiden Kanjuruhan”. “Insiden Kanjuruhan menjadi pertanda bahwa perlunya adanya reformasi Polri yang secara tegas dan secara signifikan,” kata Daniel. Adapun, Ketua Tim Investigasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Ahmad Riyadh menjelaskan saat ini pihaknya dan kepolisian tengah merumuskan ketentuan baru mengenai pengamanan kerumunan, menyusul perintah Presiden Joko Widodo, bahwa “liga dihentikan sampai ada format baru mengenai kompetisi dan keamanan” pertandingan. “Itu yang akan disesuaikan bagaimana ke depan.” Sementara, Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, yang juga menjabat sebagai ketua TGIPF Kanjuruhan, mengatakan bahwa penyelidikan yang mereka lakukan mungkin menemukan pelaku tindak pidana selain yang telah ditangani oleh Polri secara pro justitia. TGIPF Kanjuruhan memiliki waktu dua hingga empat pekan untuk menyelesaikan penyelidikan, namun Presiden Joko Widodo menargetkan investigasi itu dapat diselesaikan “secepat-cepatnya”. Mereka cuma ditidurkan tanpa alas' Konferensi pers yang digelar oleh koalisi masyarakat sipil untuk sektor keamanan, turut menghadirkan penyintas Tragedi Kanjuruhan yang mengaku melihat dengan mata kepala sendiri ketika dia turun dari tribun VIP di stadion Kanjuruhan, di ujung tangga tergeletak lima orang tak bernyawa. Salah satu dari mereka adalah kawannya. “Mereka cuma ditidurkan tanpa alas,” ujar pria yang menolak menyebut namanya tersebut. “Saya tahu kalau kawan saya itu meninggal, kepalanya ditutupi kardus. Mereka tertidur seperti orang terbujur.” Korban jiwa berjatuhan tak lama setelah sejumlah pria yang disebutnya “berseragam hitam-hitam” dan mengenakan “atribut lengkap pasukan huru-hara”, yang terdiri dari “helm, tameng dan pentungan”, menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton. Memang, katanya, pada saat itu kericuhan terjadi ketika suporter dari tribun bagian selatan turun ke lapangan. Alih-alih menembakkan gas air mata ke arah selatan stadion untuk menghalau para suporter, aparat justru menembakkan gas air mata ke arah tribun yang pada saat itu masih dijejali penonton. Gas air mata itu sontak memicu kepanikan massa yang berhamburan keluar stadion. Sayangnya, dari empat pintu yang ada di sisi selatan stadion, hanya satu pintu saja yang terbuka. “Akhirnya banyak korban berjatuhan”. Penggemar sepakbola ini juga mempertanyakan mengapa aparat menembakkan gas air mata yang notabene dilarang keberadaannya di stadion oleh federasi sepakbola dunia (FIFA). “Faktanya, bukan saja membawa senjata gas air mata, tapi malah ditembakkan membabi buta.” Lebih lanjut, dalam keadaan genting, aparat menghalangi suporter yang hendak membawa satu perempuan ke mobil ambulans. “Malah didorong-dorong dengan tameng yang dari fiber itu.” (BBCIndonesia/Red)