Ini Pendapat Para Tokoh Soal HAM dan Penanggulangan Terorisme di Indonesia

Jakarta, obsessionnews.com - Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme (PRIK KT) SKSG UI dan Revera Institute menyelenggarakan sebuah seminar yang bertemakan Antara HAM dan Penanggulangan Terorisme: Studi Organisasi Papua Merdeka dan Gerakan Uighur, di Hotel J.W Marriott, Selasa (28/9/2021). Seminar tersebut dihadiri oleh sekitar 50 orang yang berasal dari berbagai profesi dan instansi seperti akademisi, peneliti, pakar, birokrat, praktisi, dan lembaga swadaya masyarakat, dan beberapa narasumber. Dalam sesi pertama, Ketua Densus 88 AT Polri Irjen. Pol. Marthinus Hukom berbicara mengenai alasan mengapa Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) dikategorikan sebagai ‘terorisme separatis’. Dia berpendapat bahwa KKB OPM bukan sekadar organisasi separatis yang memiliki kepercayaan atau keyakinan untuk memisahkan diri dari negara. “KKB OPM dikategorikan sebagai terorisme karena melakukan kekerasan, intimidasi, dan menyebarkan rasa takut yang menyasar masyarakat yang tidak bersalah sebagai upaya mereka memaksakan kehendak terhadap orang lain,” ungkap Marthinus. Menurut dia, dalam merespons permasalahan terorisme separatis pendekatan yang ideal adalah pendekatan hukum yang progresif dan berkelanjutan. Di sini, pendekatan militer perlu di-back up oleh hukum agar setiap tindakan baik itu oleh kelompok KKB maupun aparat keamanan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum sehingga aspek HAM tetap menjadi perhatian. Selanjutnya diperlukan program deradikalisasi yang secara khusus diberikan kepada kelompok KKB agar dapat memutus tensi antara pelaku dan aparat keamanan. Terakhir, langkah-langkah politik di level internasional juga perlu terus digalakkan khususnya dalam upaya komunikasi politik agar Indonesia mendapat dukungan dari internasional untuk penyelesaian masalah di Papua yang lebih komprehensif. Narasumber selanjutnya adalah Plt. Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM Ronny Franky Sompie lebih banyak membahas peran Lembaga imigrasi di bawah kementerian hukum dan HAM yang telah melakukan pengawasan keimigrasian terhadap WNI/WNA yang melintas masuk dan membahayakan kedaulatan negara dengan menjagai pintu gerbang (perbatasan secara keseluruhan) NKRI. “Perbatasan yang diawasi oleh imigrasi melingkupi: udara (bandar udara), laut (pelabuhan), dan darat (pos lintas batas negara),” ujarnya. Menteri Hukum dan HAM juga telah membuat tim pengawasan orang asing yang tugasnya berkoordinasi di lapangan untuk melakukan pengawasan dari mulai level wilayah terkecil (desa). “Tugas dari tim ini adalah melakukan pertukaran informasi satu sama lain dan melakukan penyelesaian terkait masalah orang asing melalui berbagai mekanisme,” ungkap Ronny. Menurutnya, dalam konteks penanggulangan terorisme, imigrasi melakukan kerja sama dengan BNPT dan Polri terkait pemberian informasi mengenai daftar pencarian orang (DPO) agar dapat dimasukkan ke dalam sistem imigrasi yang secara online sudah terintegrasi di seluruh Indonesia. “Sehingga jika ada orang asing yang masuk ke dalam DPI, akan ada sistem peringatan yang akan menolak/menangkap DPO tersebut dengan sebelumnya berkoordinasi dengan BNPT/Polri,” ucapnya. Halaman selanjutnya Sementara itu, Dosen Prodi Kajian Terorisme dan Dept. HI Universitas Indonesia Ali A. Wibisono lebih banyak menjelaskan bagaimana tujuan dari penanggulanan terorisme adalah untuk memulihkan perdamaian dan keamanan bukan hanya negara, tetapi juga warga negara karena kajian terorisme masa kini telah membahas pada prioritas keamanan insani. “Penerapan HAM dalam kontra-terorisme adalah sesuatu yang dikembangkan secara terus menerus,” ujar Ali. Membandingkan dengan kebijakan China dalam menyelesaikan permasalahan etnis Uighur, dia menunjukkan ada perbedaan signifikan antara Indonesia dan China dalam menyelesaikan masalah terorisme separatis. Hal tersebut adalah determinasi kedua negara. Dia mengatakan, China melakukan berbagai pendekatan untuk merangkul etnis Uighur dan menekankan bahwa Uighur adalah bagian dari China dan hal tersebut bukan hal yang dapat dinegosiasikan. Sementar di Indonesia sendiri belum nampak upaya untuk menginklusikan Papua sebesar bagaimana China melakukannya pada Etnis Uighur khususnya dalam tataran internasional karena suara-suara yang mendominasi di dunia justru kampanye kemerdekaan papua yang dilakukan oleh negara-negara melanesia. Dalam sesi kedua dengan narasumber Deputi III Kerjasama Internasional BNPT RI Andhika Chrisnayudhanto membahas mengenai perspektif penanggulangan terorisme dan HAM dalam konteks Internasional melalui kerangka Global Counter-terrorism Strategy. “Dalam strategi ini bukan hanya HAM tapi juga nilai kemanusiaan (humaniter) menjadi penting dalam upaya kontra-terorisme karena pelanggaran HAM justru menjadi salah satu pendorong kemunculan kelompok ekstremis kekerasan,” ujar Andhika. Dalam konteks Papua, lanjut dia, harus dipahami bahwa semenjak dilabel sebagai KKB, tingkat kekerasan yang dilakukan OPM semakin meningkat dengan korban sebanyak 70% berasal dari warga sipil. Melihat hal ini KKB OPM dapat dikategorikan sebagai kelompok teroris sesuai dengan definisi terorisme dalam UU No. 5 Tahun 2018. Menurut dia, definisi yang terdapat dalam UU No.5 Tahun 2018 ini dianggap representatif, lengkap, dan sesuai dengan DK PBB. Definisi yang jelas dalam UU adalah langkah pertama untuk mengurangi kemungkinan pelanggaran HAM. Dalam upaya penanggulangan terorisme separatis OPM harus dilihat juga bagaimana negara melakukan pendekatan yang sesuai dengan HAM seperti meningkatkan indeks pembangunan manusia di Papua dari tahun ke tahun, dan berbagai pendekatan serta kebijakan lain yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah di Papua seperti peningkatan dana, pemberian hak politik secara penuh, beasiswa pendidikan dan lain-lain. Terakhir, Ketua Harian Komisi National Kepolisian Indonesia Irjen. Pol. (Purn) Dr. Benny J. Mamoto memberikan gambaran bagaimana Kompolnas beserta tupoksi yang dimilikinya berhubungan dengan terorisme khususnya dalam upaya mengawasi kenerja kepolisian dan menampung saran dan keluhan masyarakat mengenai penanganan terorisme. “Dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap kinerja kepolisian, Kompolnas memastikan kepolisian memerhatikan berbagai peraturan Kapolri yang berkaitan dengan HAM seperti Perkap No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri dan Perkap No. 1 tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian,” ujar Benny. Perlu dipahami bahwa pelaku kejahatan terorisme berbeda dengan pelaku kejahatan lain. Diperlukan tindakan dan pertimbangan-pertimbangan khusus baik dalam penangkapan, hingga pemeriksaan. “Sayangnya masyarakat umum masih belum banyak memahami hal tersebut. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi terkait UU No.5 Tahun 2018,” jelasnya. Dalam praktiknya sejauh mungkin kepolisian menghindari penanganan terorisme dengan cara yang represif. Oleh karenanya pendekatan yang lunak (soft approach) seperti deradikalisasi menjadi unsur penting dalam strategi kontra-terorisme khususnya untuk dapat mendapatkan kepercayaan dan membuat pelaku dapat memikirkan kembali keterlibatan mereka dalam kelompok teror. (Poy)