Jumat, 26 April 24

PKL, Arsitektur Kota dan Ketimpangan Sosial

PKL, Arsitektur Kota dan Ketimpangan Sosial

Sebuah Tanggapan Atas Kebijakan Anies di Tanah Abang

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle dan Stafsus Menteri Koperasi UMKM 1998/99

 

Dua setengah tahun lalu, tepatnya bulan Juni 2015, saya dan beberapa aktifis memberikan garansi untuk tahanan luar bagi 2 tersangka pedagang di tahanan Polda Metro Jaya, atas permintaan ketua umum APKLI (Asosiasi Pedagang Kaki Lima). Dua tersangka, yang satu Padang dan satu lagi Madura, berusaha menyerobot masuk ke Monas untuk berdagang. Dua orang ini bersama ratusan massa lainnya bentrok dengan satpol PP. Rezim yang berkuasa saat itu membatasi pedagang hanya pada lapak yang sudah di tata. Tito Karnavian sebagai Kapolda Metro saat itu menuduh kedua mereka dan seorang ibu hamil sebagai provokator. Intinya Gubernur DKI saat itu, Ahok, sebagai penguasa ibukota, seringkali mengobrak abrik pedagang kaki lima dan menjadikan kaki lima sebagai “musuh”. Ahok menyebut antara Pemerintah Daerah vs. PKL adalah seperti “Tom and Jerry”.

Saat ini kita dikejutkan dengan cara pandang baru dari Gubernur/Wakil baru Anies Sandi terhadap PKL. Bukannya mengusir dan menertibkan PKL, malah keduanya memanjakan Pkl dengan memberikan lahan usaha. Lahan ini diambil dari jalan yang di blok selama 10 jam sehari. Di mana? Di Tanah Abang, pusat tekstil terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.

Persoalan akses pada lahan untuk berdagang merupakan problem pokok PKL. Mereka umumnya tidak terlalu mengkhawatirkan modal kerja seperti kebanyakan pelaku usaha lainnya. Hal ini mungkin disebabkan adanya jejaring sosial yang memungkinkan mereka memiliki akses pada supply barang. Untuk mendapatkan akses tempat usaha, bagi PKL adalah barang mahal. Mahal dalam pengertian sesungguhnya jika menyewa atau memiliki, maupun mahal dalam pengertian sulitnya mendapatkan tempat usaha.

Dengan demikian, Anies berusaha masuk ke jantung persoalan yang selama ini menghantui PKL.

PKL dan Struktur Sosial Kita

PKL adalah bagian dari UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang berskala mikro maupun kecil dan bersifat informal. Skala ini merujuk pada jumlah asset dan omset serat pekerja yang terlibat, yang sangat kecil. Sedangkan pengertian informal karena umumnya tidak Miliki badan hukum dan NPWP.

Dalam struktur perekonomian nasional, peranan UMKM sebenarnya sangat besar, mencakup kontribusi 57% terhadap GDP, dengan pelaku UMKM 56.539.560 unit dan menyerap 97% tenaga kerja. (LPPI, 2015). Hal ini berdasarkan data statistik yang tersedia, yakni tahun 2012 dan 2013. Kecenderungan jumlah UMKM dan peranannya dalam menyerap lapangan kerja terus meningkat paska krisis 1998.

Struktur sedemikian di atas dan kecenderungannya untuk demikian, yakni sedikitnya jumlah usaha besar formal (+/- 5000 unit) dan puluhan ribu unit usaha menengah formal, menunjukkan struktur perekonomian dengan struktur dunia usaha yang rapuh dan tidak sehat.

Pertama, besarnya jumlah unit usaha mikro dan kecil memperlihatkan adanya perangkap usaha, di mana mereka ini hanyalah sekedar usaha bertahan hidup.

Kedua, adanya indikasi kuat atas ketidak adilan sosial dalam mengalokasikan akses dan aset bangsa untuk memajukan pelaku ekonomi.

Ketiga, adanya fungsi PKL untuk menyediakan barang murah bagi konsumen miskin kota.

Dalam fungsi bertahan hidup, usaha kecil dan informal ini kita pahami sebagai fakta bahwa usaha menengah, besar dan formal sudah tidak mampu lagi menyediakan lapangan kerja yang baik. Dalam situasi ini, “self employement” melalui usaha mandiri merupakan jalan pintas bagi kebanyakan orang. Fakta ini juga menceritakan pada kita bahwa kebanyakan rakyat mencari sendiri pekerjaannya, meski konstitusi mewajibkan negara meberikan pekerjaan yang layak buat setiap rakyatnya.

Dalam hal ketidak adilan sosial, khususnya bagi PKL dan sektor perkotaan, kita melihat bahwa kota berkembang terus memanjakan orang orang kaya dan unit usaha menengah dan besar, alias pemilik uang. Struktur lahan dan tempat usaha serta pembiayaan kredit di Jakarta saat ini terus dibangun untuk sektor formal dan besar. Meskipun data sudah menunjukkan adanya “over supply” pada sisi itu. Data menunjukkan di Jakarta dari 4 juta m2 ruang usaha Mal, 600.000 m2 saat ini tidak digunakan. Dari 5 juta m2 ruang kantor, 1 juta m2 tidak digunakan. Sebaliknya, ratusan ribu pedagang kecil berusaha mengakses tempat usaha.

Selanjutnya, PKL juga telah “mensubsidi” kaum miskin kota dengan menyediakan barang2 murah, yang tak mampu dibeli kaum miskin kota di toko toko formal.

PKL, Mindset dan Arsitektur Kota

Arsitek perkotaan dan penguasa kota melihat PKL dalam dua perspektif, pertama sebagai musuh yang harus ditertibkan dan kedua, sebagai pelaku usaha yang harus dibina. Dalam perspektif pertama, PKL haruslah di posisikan dipinggirkan dan tidak terintegrasi dengan kemajuan kota. Kota akan menjadi kusam, kumuh dan tidak tertib jika PKL ada di dalamnya.

Perspektif lainnya adalah mengintegrasikan PKL dalam wajah kota yang dibangun. Hal mana dilakukan dalam range manifestasi tanggung jawab penguasa kota atas nasib rakyatnya hingga upaya menjadikan PKL sebagai bagian dari “creative city” yang menarik buat kehidupan kota, baik buat penduduk lokal maupun turis.

Pilihan kebijakan dan pendekatannya yang diambil sangat berbeda untuk perspektif yang berbeda. Penguasa yang ditopang kaum kapitalis, pengembang besar dan cukong cukong kaya pasti memilih perspektif pertama di atas. Namun, di luar itu pemahaman (Mindset) seorang pemimpin kota terkait hubungannya dengan rakyat kecil juga sangat berpengaruh. Bagi pemimpin yang memuliakan rakyat tentu akan berusaha memiliki perspektif kedua. Pendekatan dalam perspektif kedua menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, bukan sekedar objek.

PKL, Jokowi dan Anies

Pendekatan humanistik Anies terhadap PKL sekilas sama dengan Jokowi. Jokowi, sebagai anggota dan pengurus APKLI dulunya, sudah pernah membuktikan keinginannya memajukan PKL di Solo dan Jakarta. Di Solo, Jokowi berhasil menata kawasan PKL dan memindahkan PKL dengan penuh keberpihakan. Hal serupa ingin dilakukan Jokowi di pasar Tanah Abang, ketika menjadi Gubernur, dengan memindahkan PKL dari Trotoar ke Blok G. Sayang, pemindahan ke Blok G ini dianggap kurang berhasil, karena tempatnya yang kurang pengunjung.

Heri Destrianto, dalam studinya selama 4 bulan untuk menyusun skripsi “Analisa Dampak Relokasi Pedagang Kaki Lima Di Blok G Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat (Periode 2013-2014)”, di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan manajemen Institut Pertanian Bogor, 2014, menunjukkan berkurangnya inkom pedagang sebesar 99%.

Sebelum dipindahkan ke blok G, rata rata penghasilan mereka rp 7.112.500, setelah di Blok G hanya rp. 51.656.

Tapi, tetap saja Jokowi perlu diapresiasi karena visi dan orientasinya terhadap PKL bersifat positif.

Lalu bagaimana Anies Sandi?

Apa yang dilakukan Anies di Tanah Abang adalah pikiran revolusioner. Pikiran ini merupakan kontra terhadap situasi di mana kaum pedagang kecil merangkak2 mencari akses tempat usaha vs. situasi over supply ruang usaha buat kaum kapitalis kaya. Upaya menambah ruang (space) bagi ratusan ribu PKL di Jakarta adalah rintisan baru yang tentunya menuntut kerja keras. Kerja keras pertama adalah bagaimana mengeluarkan kebijakan yang mengatur keseimbangan ruang usaha bagi orang orang miskin kota vs kapitalis. Kerja keras kedua adalah bagaimana mengintegrasikan PKL dalam arsitektur perkotaan. Sehingga PKL tidak mengganggu keindahan kota, bahkan PKL bisa menjadi objek wisata. Kerja keras ke tiga adalah bagaimana mendorong PKL sebagai “stepping stone” untuk mencetak wirausahan2 yang hebat ke depan.

Kita perlu mengapresiasi langkah Gubernur Jakarta ini. Ini adalah sebuah model baru, yang mungkin dapat dikembangkan di banyak kawasan Jakarta, maupun kota besar lainnya. Semoga berhasil. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.