Sabtu, 27 April 24

Pilkada Langsung Atau Via DPRD ?

Pilkada Langsung Atau Via DPRD ?
* Nasrudin Joha.

Oleh: Nasrudin Joha, Pegiat Medsos

 

Belum lama ini Ketua DPR RI bersama Kemendagri mewacanakan pengisian jabatan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, tidak melalui Pilkada. Salah satu pertimbangannya, mengikis politik uang.

Belum lagi mendapat persetujuan publik, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fandi Utomo menyatakan tidak sepakat dengan rencana tersebut. Dia menuding, evaluasi Pilkada yang wewenangnya dikembalikan ke DPRD adalah kemunduran demokrasi.

Mengembalikan wewenang pengisian jabatan kepala daerah kepada dewan, berarti menutup proses politik dan partisipasi publik untuk terlibat dan mengontrol jalannya kekuasaan. Dikembalikannya kewenangan pemilihan kepala daerah kepada DPRD tidak relevan jika tujuannya untuk mengurangi tindakan politik uang atau money politics.

Jika ditelaah lebih seksama,iIsu utama politik kekuasaan di daerah yang menjadi problem perdebatan ada dua. Pertama, isu mengenai ada tidaknya intervensi modal (money politic) dalam proses pengisian jabatan politik dan pelaksanaan pemerintahan. Kedua, ada tidaknya peran serta dan partisipasi publik di daerah dalam mengontrol jalannya roda kekuasan di daerah.

Padahal, dua problem tersebut adalah cacat bawaan demokrasi. Demokrasi tidak mungkin bisa menseterilkan proses politik (pengisian jabatan politik) dan penyelenggaraan Pemerintahan dari intervensi modal.

Dengan Pilkada langsung atau melalui proses politik di DPRD, keduanya tidak akan menutup celah politik uang disebabkan beberapa alasan :

Pertama, demokrasi memandang kedaulatan ada di tangan rakyat. Atas dalih kedaulatan rakyat, para pemilik modal dapat melakukan intervensi politik baik dalam proses politik dan proses penyelenggaraan pemerintahan.

Kekuatan modal inilah yang dapat mempengaruhi suara publik baik secara langsung atau melalui perwakilan dewan. Kekuatan modal ini terus berupaya mencari jalan untuk mendudukkan kekuasaan patron politik, baik melalui pilihan rakyat atau pilihan dewan selaku wakil rakyat.

Wacana pemindahan wewenang dari Pilkada langsung menuju pilihan via DPRD tidak menghilangkan potensi politik uang, tetapi hanya memindahkan kantong penampung uang.

Jika Pilkada langsung money politik dilakukan langsung kepada rakyat (pemilih), namun jika pemilihan melalui dewan money politik dilakukan terhadap dewan selaku wakil rakyat. Jadi, substansinya hanya memindahkan uang suap dari kantong rakyat menuju kantong anggota DPRD.

Dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah, pemilihan kepala daerah dari rakyat ke perwakilannya di DPRD juga tidak menjamin proses penyelenggaraan kekuasaan di daerah steril dari politik uang.

Kekuatan modal dapat menekan kepala daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan para kapitalis. Simbiosis PENG PENG (Pengusaha Penguasa) di daerah akan terus tumbuh subur, sebagaimana terjadi di pemerintahan pusat.

Sebab utamanya adalah kedaulatan rakyat demokrasi yang membuka pintu bagi intervensi modal terhadap proses politik dan penyelenggaraan roda pemerintahan.

Kedua, partisipasi publik dalam sistem demokrasi tidak dibangun berdasarkan standar baku melainkan asas-asas manfaat. Darisini, bisa dipahami partisipasi publik tidak selalu dibangun berdasarkan kerangka fikir dan acuan yang sama sehingga akan selalu terjadi ketegangan antara rakyat dan penguasa disebabkan perbedaan tafsir dan pemaknaan atas kemaslahatan yang diperdebatkan.

Karenanya partisipasi publik dalam demokrasi tidak selalu berujung pada sinergi. Partisipasi publik juga acap kali berimplikasi pada keruwetan politik, penyelenggara pemerintahan terkesan selalu “direcoki” oleh kritik publik yang tidak memiliki basis kesatuan pandangan tentang nilai, asas dan norma untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah maupun di pusat.

Karena itu, dengan Pilkada langsung maupun perwakilan, demokrasi tidak akan sanggup menghadirkan kekuasaan yang steril dari intervensi modal dan terlibatnya partisipasi publik yang sinergis.

Kadangkala, perbedaan pandangan politik dalam menyelenggarakan kekuasaan di daerah sering berbeda bahkan berbenturan dengan kebijakan pemerintahan pusat. Wajar saja muncul Perda-Perda yang dianggap bertentangan dengan UU di atasnya.

Karena itu hanya solusi Islam dengan menetapkan hukum Syariah secara kaffah akan menyelesaikan persoalan intervensi modal pada pengisian jabatan politik dan proses penyelenggaraan Pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

Dengan menerapkan sistem Islam Khilafah, maka otomatis intervensi modal dapat dihilangkan, partisipasi publik juga bisa lebih sinergis, disebabkan beberapa alasan :

Pertama, dalam Islam kedaulatan ada di tangan syara’. Wewenang untuk menentukan halal, haram, Sunnah, makruh dan wajib hanya ada di tangan syariah Islam.

Kekuatan modal misalnya, tidak akan mampu mengintervensi kekuasaan untuk mengubah kebijakan penguasa agar tidak mewajibkan zakat. Kewajiban zakat ditetapkan berdasarkan dalil (Nash), karenanya para kapitalis tidak mungkin bisa mengintervensi kebijakan zakat agar menguntungkan kepentingannya.

Contoh lain adalah haramnya Khamr (miras). Dengan meletakan kedaulatan Syara, maka khamr diharamkan berdasarkan Nash syara. Pengusaha industri miras dan alkohol, tidak akan bisa mengintervensi penguasa untuk merubah hukum miras agar menguntungkan usaha mereka. Ini dari sisi penyelenggaraan Pemerintahan.

Adapun untuk mengisi jabatan kepala daerah, seorang gubernur (wali) dalam Islam ditunjuk dan diberhentikan oleh Khalifah. Proses penunjukan oleh Khalifah ini menghilangkan kerugian atas besarnya proses politik Pilkada yang memakan Anggara ratusan miliar serta menutup celah money politik, baik kepada rakyat maupun melalui wakilnya di DPRD.

Jabatan wali menjadi otoritas Khalifah. Khalifah berhak mengangkat sekaligus memberhentikannya secara sepihak.

Adapun antisipasi publik terletak pada kontrol kekuasaan, dimana Khalifah wajib mengikuti pendapat rakyat di daerah ketika rakyat di daerah menunjukan ketidakridlaan kepada wali.

Pendapat mayoritas rakyat di daerah baik secara langsung maupun melalui forum majelis wilayah, mengikat bagi Khalifah. Jika rakyat di daerah tidak suka kepada gubernur (wali) dan menghendaki wali dicopot maka Khalifah wajib mencopotnya dan mengganti dengan wali yang lain. Proses politik ini sederhana, cepat, murah dan aspiratif.

Selain itu, karena wewenang adopsi hukum (legislasi) dalam sistem Khilafah ada ditangan Khalifah, maka wali tidak akan bisa mengeluarkan kebijakan legislasi yang bertentangan dengan Khalifah. Dipastikan tidak akan ada kebijakan perundangan yang tumpang tindih antara pemerintahan pusat (Khalifah) dan Pemerintahan daerah (Wali).

Khalifah juga tidak mungkin otoriter, sebab dalam menjalankan roda pemerintahan Khalifah terikat dengan hukum Syara. Maka wajar, ketika Khalifah Umar RA tidak berdaya dan akhirnya menerima kritik seorang perempuan, disebabkan kebijakan pematokan mahar yang ditetapkan Umar ketika itu bertentangan dengan hukum syara’.

Dengan standar syariat, semua warga negara dapat mengajukan kontrol terhadap jalannya kekuasaan baik oleh Khalifah atau wali/gubernurnya. Maka wajar saja, ketika Gubernur Amr bin Ash gemetar mendapat pesan sepotong tulang dari Amirul Mukminin Umar RA, karena Amr Bin Ash diadukan seorang warga negara beragama Yahudi. Kedzaliman Amr bin Ash langsung dikoreksi oleh Khalifah, setelah ada partisipasi politik melalui pengaduan dari warga negara Khilafah (Yahudi).

Jadi tergambar bukan, bahwa solusinya bukan pilihan melalui dewan? Bukan pula lewat Pilkadal-Pilkadalan ? Solusinya adalah dengan cara membaiat seorang lelaki, muslim, baligh, merdeka, adil dan memiliki kemampuan untuk menjabat sebagai Khalifah. Urusan pilkadal-pilkadalan, kelar sudah. [].

Note. Jika pembaca ingin rincian pengisian jabatan wali (gubernur), Silakan baca kitab Azizah Daulah Khilafah (struktur daulah Khilafah), pemerintahan dan administrasi. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.