Sabtu, 27 April 24

Perempuan dalam Kabinet, Apakah Oligarki?

Perempuan dalam Kabinet, Apakah Oligarki?

Jakarta – Kehadiran delapan orang perempuan di kabinet Jokowi-JK diharapkan sebagai warning kesadaran gender di Indonesia. “Ini sejarah baru bagi Indonesia dimana kabinet Jokowi memiliki kuota lebih banyak perempuan dibandikan dengan presiden era SBY,” ungkap Jeffry Winters, Pendiri dan Direktur Program Equality Development and Globalization Studies (EDGS) di Universitas Northwestern Amerika, dalam acara diskusi Perempuan dalam Kabinet di Jakarta, Selasa (9/12/2014).

Ketua Dewan Pembina untuk Yayasan Indonesia Scholarship and Research Support Foundation (ISRSF) ini, juga mengatakan selama sepuluh tahun saya tidak melihat kebijakan atau inisiatif yang menonjol sekali dari bapak SBY khususnya untuk perempuan. Kemudian dia tidak membuat langkah yang besar untuk memajukan pemberdayaan perempuan.

Perlu diakui bahawa sesudah 1998 sampai 2004 cukup banyak perubahan tetapi sesuai juga dengan banyak transformasi yang terjadi pada saat itu. Saya melihat banyak perubahan pada saat itu tetapi setelah SBY menjadi Presiden ada proses pelambatan (slowing down). Kuota gender sangat penting sebagai alat untuk mempercepat sebagai proses perubahan. Kuota 30% tidak cukup saya kira, seharusnya 50%.

Memang pada mulanya perempuan memasuki wilayah tertentu baik itu di dunia bisnis, dunia pendidikan, dunia pemerintah. Kondisinya hingga awalanya perempuan mendesak dirinya dimana perempuan harus meniru agenda laki-laki, dan memakai pandangan lelaki. Akibatnya perempuan susah sekali perempuan untuk memperjuangkan agenda mkeadilan di parlemen karena dia di batasi oleh beban-beban tersebut.

Menurut Jeffry, perempuan di DPR dan DPRD sering dikritik karena mereka kurang memperjuangkan agenda perempuan. “Tetapi saya tidak kecewa namun saya bersyukur karena mereka ada dan eksis di dalam pemerintahan. Tetapi sering orang kebanyakan bertanya apakah ada kemajuan?” paparnya.

“Berdasarkan penelitian saya tentang oligarki yang menggambarkan dunia paling partiakis di dunia ini. jika ada kelompok tertentu yang berkuasa karena modal yang banyak, dimana kekuasaan karenda berdasarkan kekayaan maka biasanya akan sangat maskulin,” bebernya.

Didalam temuan penelitian Jeffery, ada 98% dari semua biliyuner yang ada di dunia ini adalah laki-laki dan bukan perempuan. Jika pun perempuan maka wajah kekuasaannya juga akan sangat maskulin. Keadailan gender adalah konsep yang menerapkan prinsip-prinsip keadilan dan kekerasan. Sedangkan dalam kapitalisme, justru prinsip kesetaraan ini ada. Feminisme selalu tidak laku dalam kapitalisme.

“Maka pemerintah perlu melakukan intervensi dan langkah-langkah afirmatif  untuk mempromosikan kesetaraan gender. Kalau tidak, maka perempuan akan mengalami persoalan yang amat berat dalam menembus atap kaca kekuasaan. Selama melakukan pengkajian politik mengatakan tidak ada kelompok dominan yang menyerah begitu saja karena mereka menikmati posisi dominan,” tegasnya.

Tindakan afirmatif ini, menurutnya, seperti perempuan didorong untuk menjadi petinggi dalam perusahaan, untuk menjadi CEO, direksi, komisaris dan jabatan lainnya. Jeffry mengajak agar tidak boleh kehilangan energi dan kehilangan semangat untuk memperjuangkannnya, berhasil atau tidak itu akan mendapat dampak untuk anak cucu kita.

Adapun delapan perempuan dalam kabinet Jokowi-JK yang menempati posisi yang cukup strategis dan berkualitas, Retno Marsudi Menteri Luar Negeri RI dan Nila F Moeleok sebagai menteri kesehatan.

Selain itu, juga ada sosok yang kontrofersial Susi Pujiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan RI yang sekarang menjadi media darling. Selain itu pula ada Puan Maharani sebagai Menteri Pembangunan manusia dan Budaya, Siti Nur Baya Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan, Rini M Soemarno Menteri Badan Usaha Milik Negara, Khofifah Indar Parawansa Menteri Sosial, dan Yohana Yambise Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak. (Asm)

 

Related posts