Muslim Tionghoa, Akulturasi Sosial dan Religi Sejak Berabad Silam

Muslim Tionghoa, Akulturasi Sosial dan Religi Sejak Berabad Silam
Oleh : Dr. H. Serian Wijatno, SE., MM., MH, Tokoh Muslim Tionghoa Indonesia, Wakil Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ketua Lembaga Pendidikan PP Persaudaraan Muslimin Indonesia, Tim Ahli Pinbas MUI, Wakil Ketua Umum PITI Pusat, serta penulis buku Buku dengan tema sentral “Islam Iman Semesta Petualangan Ideologi dalam Toleransi Beragama", dan puluhan buku lainnya  Akulturasi sosial dan religi di bumi Nusantara sejatinya telah berjalan sejak berabad lampau. Sesungguhnya ini menjadi cikal bakal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akulturasi menjadi keniscayaan munculnya persatuan dan kesatuan di tengah beragam perbedaan. Tepatnya lagi ruh toleransi muncul dari akulturasi. Di bulan suci Ramadhan ini menarik membedah akulturasi sosial dan religi Muslim Tionghoa yang terjadi di persada ini yang faktanya sudah terjadi sejak berabad lampau. Diskursus tentang relasi antara Tionghoa dan Islam, terutama di Indonesia selalu menarik. Sejarah mencatat bahwa keberadaan warga Tionghoa yang beragama Islam sudah ada sejak abad ke-15. Sejarawan Lombard dan Salmon (2001) mengungkapkan interaksi antara orang-orang Tionghoa dan budaya lokal di masa itu digambarkan dalam gaya arsitektur masjid. Dengan menyebutnya sebagai “subkultural Muslim Peranakan”, mereka melihat interaksi tersebut sebagai bentuk “persekutuan suci” kosmopolitan, yang mengombinasikan antara peran-peran positif teologi Islam dan teknik-teknik Tionghoa. Halaman selanjutnyaPanggilan dan Hidayah Akulturasi religi di mana ketika itu banyak etnis Tionghoa sudah memeluk agama Islam, khususnya di Pulau Jawa. Mereka memilih masuk Islam karena berbagai alasan. Salah satunya pasti karena hidayah dari Allah SWT melalui pengajaran-pengajaran yang diperolehnya. Sebagai suku bangsa yang terkenal ulet dan gigih, masuknya banyak warga Tionghoa menjadi Muslim memberi warna tersendiri bagi perkembangan agama tersebut. Bahkan, konon kabarnya, mereka memegang peranan penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Disebutkan dalam catatan sejarah, warga Tionghoa Muslim memiliki andil berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Bahkan dikatakan beberapa wali di Jawa yang dikenal dengan Walisongo juga memiliki asal-usul Tionghoa. Dalam bukunya, Al Qurtubi (2003) juga memaparkan bukti pengaruh Tionghoa Muslim di masa lampau yang tampak pada arsitektur di masjid-masjid dan makam-makam tua di Jawa, seperti makam Sunan Giri di Gresik, desain Keraton Cirebon, dan arsitektur Masjid Demak di Jawa Tengah. Di Jakarta, Masjid Angke dan Masjid Kebon Jeruk juga memiliki ornamen Tionghoa di pintu gerbang dan atapnya. Halaman selanjutnya Selain tentunya kisah heroik Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam dan beberapa kali mengunjungi Nusantara ketika berlayar ke Samudera Hindia. Begitu gigihnya perjuangan Laksamana Cheng Hong dalam turut menyebarkan agama Islam di Indonesia, membuat dirinya diabadikan dengan patung besar di Jawa Tengah. Pun namanya disematkan pada sebuah masjid nan megah di Palembang, Sumatera Selatan. Dalam kehidupan sosial, warga Tionghoa dikenal sangat fleksibel. Pun demikian bagi Muslim Tionghoa yang bergaul karib dengan masyarakat, seperti terjadi di Pulau Jawa. Bahkan tidak sedikit orang Tionghoa kala itu melekatkan nama-nama Jawa pada namanya. Di masa penjajahan kolonial Hindia Belanda, terjadi penurunan drastis warga Tionghoa yang masuk Islam. Ini lantaran adanya pembatasan hubungan dengan penduduk lokal yang diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda kala itu. Halaman selanjutnya Pada 1740 terjadi pembantaian massal oleh pemerintah Belanda, salah satunya guna mencegah terjadinya konversi agama. Sebab, bagi pemerintah Belanda kala itu, hal tersebut menjadi kerugian besar. Meski begitu, karena konversi agama yang terjadi lebih banyak karena panggilan dan hidayah-Nya, aturan apa pun yang dibuat Pemerintah Hindia Belanda tidak menyurutkan warga Tionghoa untuk memeluk agama Islam. Kelekatan warga Tionghoa dengan penduduk lokal melahirkan kesehatian, termasuk dalam perjuangan melawan kelompok kolonial. Banyak warga Tionghoa yang secara aktif ikut terlibat dalam berbagai gerakan anti kolonial dan keagamaan di tingkat lokal. Halaman selanjutnyaMerebak luas Pada awal 1930-an, kegiatan penyebaran Islam meningkat oleh Tionghoa Muslim kepada masyarakat luas. Di Sulawesi Ong Kie Ho mendirikan Partai Islam yang membuatnya kemudian diasingkan ke Jawa pada 1932. Padahal tujuan didirikan Partai Tionghoa Islam Indonesia (PTII) salah satunya untuk mengangkat status etnis Tionghoa. Di Medan bersama beberapa pengikutnya Yap A Siong atau Haji Abdussomad mendirikan Persatuan Islam Tionghoa (PIT) pada 1936. Pasca kemerdekaan PIT yang saat itu dipimpin Abdul Karim Oei Tjeng Hien pindah ke Jakarta dan menggabungkan diri dengan perkumpulan Tionghoa Muslim yang berbasis di Bengkulu. Mereka bergabung dan mendeklarasikan diri menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) pada 1961. Namun karena situasi politik pasca 1965, PITI kemudian menghapuskan identitas Tionghoa di namanya. Di masa Orde Baru (Orba) warga Muslim Tionghoa memilih cooling down. Pasca keruntuhan Orba, seolah membawa angin segar bagi PITI. Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, memperbolehkan penggunaan kata 'Tionghoa' pada nama PITI. Sejak itu orang-orang Tionghoa Muslim bisa lebih leluasa dalam menjalankan ibadah maupun budaya mereka. Mereka menghidupkan kembali sejarah dan merawat ikatan dengan umat Muslim di Tiongkok. Halaman selanjutnyaGeopolitik Dalam konteks geopolitik global, negeri leluhur Tionghoa yakni Republik Rakyat China (RRC) justru lebih bersahabat terhadap negara-negara Muslim di dunia, termasuk Indonesia. Indikasinya RRC selalu berada dalam satu barisan dengan negara-negara Muslim seperti Indonesia dalam menghadapi isu konflik di Timur Tengah. Bisa dibayangkan saja, pada zaman Nabi ada ucapan Nabi yang menyebutkan Cina sebagai negeri tujuan menuntut ilmu. Jarak Mekkah ke Cina tidak terlalu jauh yaitu hanya sekitar 13.200 kilometer. Cina dipandang sebagai wilayah dengan peradaban yang sangat populer sejak 610 M. Hal ini paling tidak menjadi daya tarik umat Islam untuk bertandang ke Cina guna ngangsu kaweruh pengetahuan, peradaban, dan budayanya yang cukup tinggi. Artinya, akulturasi ini tidak hanya menjadi dampak aktifnya Muslim Tionghoa masuk dan berperan di Indonesia, akan tetapi juga aktifnya umat Islam dalam berakulturasi dengan budaya Tionghoa. Halaman selanjutnyaVisi Tuhan Diyakini akulturasi merupakan imbas dari visi Tuhan menciptakan keberagaman yang diproklamirkan dalam Qur’an Surat al Hujuroot ayat 11. Tuhan menciptakan keberagaman laki-laki dan perempuan serta mereka dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal. Jadi dari saling mengenal inilah tercipta akulturasi, tidak terkecuali adanya Muslim Tionghoa yang lahir dari akulturasi budaya dan agama antara Islam dan Tionghoa. Karena itu relasi yang luar biasa antara Muslim dan Tionghoa, khususnya Muslim Tionghoa, adalah relasi yang sangat strategis. Tak hanya bagi komunitas Muslim, tapi juga kalangan Tionghoa dalam rangka saling menguatkan satu sama lain khususnya di Indonesia, di mana kekuatan mayoritas Muslim akan bersinergi dengan warga Indonesia keturunan Tionghoa wabil khusus Muslim Tionghoa dalam mewujudkan Indonesia yang baldatun, thoyibatun wa robbun ghofuur. Di Indonesia dengan adanya Bhinneka Tunggal Ika umat beragama yang syahdu dan takwa memegang prinsip persatuan sebagai hidayah Allah atas negara kita, Indonesia. Karena itu umat Muslim Tionghoa tidaklah berbeda dari khalayak umat lainnya, hadir untuk saling menguatkan dan meneguhkan karena kembali pada tujuan yang diridhoi oleh-Nya. (***)