Jumat, 26 April 24

Krisis Corona: Dunia Kembali ke Depresi 1930

Krisis Corona: Dunia Kembali ke Depresi 1930
* Hendrajit. (Foto: dok. pribadi)

Kenapa di saat krisis bisa memunculkan fasisme? Jawabannya sebagian orang percaya bahwa ketika kondisi ekonomi memburuk, stabilitas politik terganggu, maka harus ada yang disalahkan dalam situasi tersebut. Politik blaming the other ini diarahkan pada kaum Yahudi, dan Serikat Buruh di Jerman. Fasisme identik dengan rasisme dan anti-perburuhan.

Sementara dalam kasus Jepang, surat deklarasi perang Kaisar Hirohito menyoroti adanya intervensi kekuatan Barat di China sehingga menjadikan ancaman nyata bagi Jepang. Fasisme begitu membius dengan propaganda-propaganda yang dirancang agar masyarakat mendukung cara-cara untuk menghabisi kelompok tertentu.

Dalam konteks Indonesia di tengah krisis 2020, apakah benih fasisme sudah mulai muncul? Bagaimana dengan telegram dari polisi terkait penghinaan Presiden?

Penangkapan orang-orang yang meluapkan kegeraman melihat lambatnya Pemerintah mengatasi virus corona misalnya, bisakah dianggap ada tanda-tanda mengarah ke sana? Kenapa Pemerintah tidak fokus saja menangani penyebaran virus, dan tak perlu mempedulikan celotehan tukang ojol di media sosial? Buang-buang waktu, bukan?

Yang menarik juga usulan kembali ke kondisi darurat sipil sebagai opsi, dengan menerapkan Perppu No.23 Tahun 1959, di mana Soekarno waktu itu pusing menghadapi pemberontakan PRRI/Permesta.

Dalam darurat sipil, ada penggeledahan, ada penangkapan, ada pasal terkait penyadapan percakapan publik, poster-poster bisa disita. Kepanikan Pemerintah sehingga masuk dalam bahasan darurat sipil, bukan pertanda biasa. Ini adalah tanda-tanda mengarah pada otoritarianisme, pra syarat fasisme?

Situasi di China cukup menarik, di mana tahun 1934 Mao Tse Tung pemimpin revolusi komunis melakukan long march. Varian-varian pertempuran ideologi menemukan praksisnya pada era The Great Depression.

Bukan sekadar pertarungan di buku-buku yang ditulis oleh cendekiawan, tapi beberapa negara mulai mencoba aneka alternatif yang dikira cocok, dengan damai atau dengan senjata. Wajah China berubah total setelah krisis ekonomi hebat.

Para petani yang mengikuti long march mungkin tidak sadar apa yang terjadi di AS pada saat krisis, tapi fakta bahwa penurunan harga-harga komoditas yang tajam, pemerintah yang makin represif terhadap petani menjadi prasyarat pemberontakan sipil.

Lalu ke mana dunia setelah krisis 2020? Jawaban atas pertanyaan ini semakin menarik dari hari ke hari. Pemerintah AS di bawah Trump mencampur antara kebijakan proteksi dagang yang menggila untuk blaming China, mendukung fasisme dalam baju white supremacist, tapi disisi lain membagikan basic income US$1,200 per orang.

Di Inggris, proposal dari partai konservatif dalam bentuk menanggung 80% gaji dari pekerja adalah keunikan tersendiri agar ekonomi tetap berjalan.

Halaman selanjutnya

Pages: 1 2 3 4 5 6 7

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.