Kamis, 2 Mei 24

Kasus Pencucian Uang Rp349 T Diusut Tuntas atau Raib Digondol Dedemit?

Kasus Pencucian Uang Rp349 T Diusut Tuntas atau Raib Digondol Dedemit?
* Arief Sofiyanto. (dok)

Oleh: Arief Sofiyanto, Wartawan Senior

Sudah hampir empat bulan ini, kasus mencurigakan alias janggal terkait pencucian uang Rp349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak terdengar lagi tindak lanjut pengusutan uang negara alias duit rakyat tersebut. Padahal awalnya terjadi “gempa berita” di media begitu pada 20 Maret 2023 Menko Polhukam Mahfud MD selaku Ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengungkapkan, bahwa sebanyak 491 entitas aparatur sipil negara atau ASN Kemenkeu disebut terlibat dalam dugaan TPPU senilai Rp349 triliun. Hal ini diungkapkan Mahfud MD, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI pada Rabu (29/3/2023) malam.

Mahfud yang mendapat data tersebut dari Kepala Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) selaku Sekretaris Komite TPPU, menyatakan bahwa transaksi mencurigakan sejumlah total Rp 349 triliun yang diungkap oleh PPATK diduga merupakan TPPU yang jauh lebih berbahaya daripada tindak korupsi. Namun sayangnya, skandal besar TPPU 349 T di Kemenkeu yang telah menghebohkan jagad raya, kini tenggelam ditelan waktu. Ke mana ujungnya? Semoga tidak raib digondol dedemit atau sekadar dilontarkan  untuk pengalihan isu. Mudah-mudahan Mahfud MD benar-benar ingin mengungkap kebobrokan dalam kasus tersebut.

Diungkapkan, sebanyak 460 orang pegawai pajak diduga terlibat dalam putaran uang lebih Rp300 triliun, kalau dipukul rata masing-masing meraup ratusan miliar rupiah  di tengah rakyat yang sedang susah terjepit tekanan ekonomi sekarang ini. Selain itu, terungkap pula ada 134 pegawai pajak yang memiliki saham di 280 perusahaan. Berarti satu orang memiliki saham di dua perusahaan. Begitu pinternya pemilik perusahaan, daripada membayar pajak besar ke negara, lebih baik orang pajaknya diberi saham atau menjadi pemegang saham, dan perusahaannya ngemplang pajak.

Sebaiknya Presiden Jokowi memimpin langsung pembersihan dugaan korupsi di Ditjen Pajak/Kemenkeu yang membuat rakyat miskin dan tidak sejahtera. Harus diumumkan 460 pegawai pajak yang terlibat transaksi lebih 300 triliun serta 134 orang pajak yang menjadi pemegang saham di 280 perusahaan dan juga nama-nama 280 perusahaan tersebut, lantas audit keuangan 280 perusahaan yang dimaksud. Selanjutnya mereka yang terbukti bersalah harus dihukum berat. Kalau ini dilakukan Jokowi, maka nama presiden menjadi harum dan citra pemerintah akan terangkat menjadi baik bahkan utang luar negeri bisa dikurangi.

Sebenarnya sejak 2009 – 2023, PPATK telah melaporkan 160 lebih laporan, dari 200 informasi hasil analisa, dengan total lebih 300 triliun rupiah, atas transaksi mencurigakan yang melibatkan sedikitnya 460 pegawai Kemenkeu. Tapi mengapa tidak segera ditindaklanjuti Menkeu Sri Mulyani. Ada apa dan mengapa?

Sebelumnya saat menjabat Menkeu di era Presiden SBY, Sri Mulyani sempat dua kali diperiksa KPK terkait kasus dugaan penyimpangan pengucuran dana talangan (bailout) Rp6,7 triliun kepada Bank Century, masing-masing pada 29 April 2010 dan 4 Mei 2010. Ketika itu Sri Mulyani menjabat sebagai Menkeu sekaligus juga Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK). Namun, pengusutannya kandas setelah Sri Mulyani ke Amerika Serikat dengan alasan mendapat tawaran dari Bank Dunia sebagai direktur pelaksana. Ataukah ini merupakan campur tangan IMF untuk “selamatkan” Sri Mulyani sebagai sohibnya?

Seharusnya sebagai pentolan Kemenkeu, Sri Mulyani mengundurkan diri akibat kasus janggal dugaan pencucian uang Rp349 T di Kemenkeu sekarang ini, serta wajib diperiksa KPK dan diusut hingga tuntas. Presiden Jokowi juga harus objektif menilai kinerja Menkeu Sri Mulyani dalam kabinetnya. Karena, jika di internal Kemenkeu saja terjadi kebocoran, maka negara tidak bisa mempercayakan Sri Mulyani mengelola keuangan negara.

Ingat, syarat orang yang bekerja di sektor keuangan (Kemenkeu) harus jujur, kredibel, dapat dipercaya, dan prudent. Apalagi uang tunjangan kinerja yang paling tinggi adalah diberikan kepada para  pejabat/karyawan Kemenkeu dengan harapan agar tidak korupsi.

Pengamat politik Rocky Gerung minta Sri Mulyani agar mundur dari jabatannya sebagai Menkeu karena dianggap sebagai biang dari kekacauan yang ditimbulkan di tubuh Kemenkeu. Terlebih kepercayaan publik pun tercoreng mengingat adanya aliran dana mencurigakan sebesar Rp349 triliun di Kemenkeu.

Di berbagai negara, pejabat yang dinilai gagal oleh rakyat langsung mengundurkan diri. Bahkan pejabat di Jepang yang gagal terkadang bunuh diri, karena merasa bertanggung jawab dan punya rasa malu kepada rakyat. Namun di suatu negara, kalau pejabat yang dinilai gagal tapi ogah mundur, mungkin sudah bertopeng muka tembok atau urat malunya sudah putus alias tidak punya rasa malu lagi.

Bagaimana dengan Sri Mulyani yang menjabat Menkeu? Jangankan kasus Rp349 T di Kemenkeu, tuntutan masyarakat untuk boikot bayar pajak saja setelah merespons viral gaya hidup hedon pegawai pajak yang hedon dan kasus 460 orang pegawai pajak diduga terlibat dalam putaran uang lebih Rp300 triliun, malah dijawab Sri Mulyani dengan ancaman menggertak masyarakat, bukannya minta maaf lalu berjanji bertekad untuk membereskan masalahnya. Yakni sang Menkeu mengancam “menaikkan” harga BBM tiga kali lipat jika rakyat tidak membayar pajak!

Kalau tidak bersalah, mestinya Sri Mulyani langsung mendatangi pimpinan KPK dan Kejaksaan Agung untuk meminta diperiksa terkait sejumlah kejahatan yang terbongkar terakhir.

Padahal, mantan perdana menteri Malaysia Muhyiddin Yassin saja yang diduga melakukan pencucian uang, diseret ke pengadilan dan terancam hukuman hingga 20 tahun penjara dan denda lima kali lipat dari jumlah uang yang diselewengkan.

Tampaknya kasus janggal Rp349 T di Kemenkeu sudah bergeser jadi lenyap. Mahfud MD sudah tidak lagi kuat menyuarakan kasus tersebut, karena diduga sudah diselesaikan di bawah tangan. Mungkin terjadi pembusukan di berbagai sektor sehingga tertutup jalan politik untuk berantas korupsi. Apakah Mahfud MD kesulitan untuk menyelidiki kasus tersebut karena diduga banyak “dedemit” yang menjegal sehingga menemui jalan buntu dalam pengusutannya. Ataukah akibat kultur politik di negara ini, dan apakah ada pihak yang bermain sehingga keterungkapannya jadi terganjal? Hingga kasus jadi raib digondol “dedemit”? (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.