Ini Grasi dan Amnesti yang Diberikan Presiden RI

Jakarta, Obsessionnews.com - Pemberian grasi merupakan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan kepada setiap terpidana. Namun, wewenang presiden untuk memberikan grasi itu tak jarang menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, harus ada penjelasan yang matang dari pemerintah mengenai grasi, agar masyarakat mengerti apa itu yang namanya grasi. Grasi adalah pemberian pengampunan dari Presiden dalam bentuk perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi juga bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati demikian, pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan pelaksanaan menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Dewasa ini pemberian grasi oleh Kepala Negara juga masih dipraktikkan oleh banyak negara. Hal itu diberikan pada saat-saat tertentu, dengan cara memberikan remisi (pengurangan hukuman) kepada sebagian narapidana yang sedang menjalani hukuman. Undang-undang tentang grasi yang diatur, pernah dan masih berlaku di Indonesia antara lain UUD 1945 (pasal 14), UUD Sementara 1950 (pasal 107), kemudian di tahun 1959 kembali berlaku UUD 1945, yang kemudian UUD 1945 di amandemen kali pertama di tahun 1999. Berubah-ubahnya undang-undang yang mengatur, turut berubah pula aturan yang melekat dalam menerapkan grasi. Grasi yang Pernah Diberikan oleh Presiden Indonesia Seperti diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama menjalankan pemerintahannya telah memberikan beberapa grasi kepada terpidana, yakni telah mengabulkan permohonan grasi yang diajukan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar. Keputusan Presiden (Keppres) mengenai permohonan grasi ini telah dikirim ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Senin (23/1/2017). Salah satu poin dalam Keppres itu adalah pengurangan masa hukuman bagi Antasari sebanyak 6 tahun. Antasari menjalani hukuman setelah dinyatakan bersalah dalam kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnaen, sehingga pria kelahiran 18 Mei 1953 ini divonis 18 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2010. Pemberian grasi terhadap Antasari bukan yang pertama di era Presiden Jokowi. Sebelumnya, pada Maret 2015, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga pernah mengabulkan permohonan grasi terpidana mati kasus pembunuhan di Pekanbaru, Riau, Dwi Trisna Firmansyah. Hukuman pidana mati bagi Dwi menjadi pidana seumur hidup. Presiden Jokowi juga pernah memberikan grasi kepada lima tahanan politik dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) saat ia berkunjung ke Lapas Abepura, Provinsi Papua pada 9 Mei 2015. Pemberian grasi ini sebagai upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik di bumi Cenderawasih tersebut. Meskipun pemberian grasi adalah hak prerogatif presiden, tapi Jokowi menegaskan ia tidak akan pernah memberikan grasi bagi terpidana kasus narkoba. Ia memastikan dirinya akan menolak semua grasi yang diajukan dalam kasus narkoba karena mempertimbangkan dampak negatif akibat penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Apa yang dilakukan Jokowi sesuai dengan UU No 5 tahun 2010. UU ini menyebutkan pemberian grasi oleh presiden bisa berupa peringanan atau perubahan jenis pidana seperti hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Grasi juga bisa berupa pengurangan jumlah pidana seperti grasi yang diajukan Antasari, atau bisa juga berupa penghapusan pelaksanaan pidana seperti yang dilakukan Jokowi terhadap tahanan politik di Papua. Selain Jokowi, pemberian grasi juga dilakukan oleh mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY pernah mengabulkan permohonan grasi Schapelle Leigh Corby, terpidana 20 tahun kasus penyelundupan ganja 4,2 kilogram ke Bali pada 8 Oktober 2004. Saat itu, Corby mendapatkan grasi berupa pemotongan masa hukuman selama lima tahun. Dengan pengurangan tersebut,Corby bisa mengajukan pembebasan bersyarat pada 3 September 2012. Selain Corby, SBY juga pernah memberikan grasi pada Meirika Franola alias Ola. Ola sebelumnya terbukti membawa 3,5 kilogram heroin dari London melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta, sehingga Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Agustus 2000 menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Namun, SBY memberikan grasi, sehingga hidup Ola tak berakhir di hadapan regu tembak. Ia akhirnya menjalani hukuman seumur hidup. Sayangnya, grasi yang diberikan SBY tidak membuat Ola jera. Ia justru mengendalikan peredaran narkotik internasional dari dalam lapas. Ola dikaitkan dengan penangkapan seorang kurir narkoba bernama Nur Aisyah oleh Bea-Cukai di Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Dalam pengadilan, Ola terbukti melakukan transaksi narkotika di lapas sehingga Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman mati terhadap Ola pada Desember 2015 lalu. Lain lagi di masa pemerintahan mantan Presiden RI, Megawati Soekarnoputri. Di masa Mega dirinya diduga pernah memberikan beberapa grasi terpidana kasus narkoba. Hal itu pernah disampaikan oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Namun, berita tersebut belum sempat terbukti secara pasti. Selanjutnya, di masa pemerintahan sebelumnya bukan grasi yang diberikan oleh presiden, tapi anesti dan abolisi yang diberikan presiden kepada terpidana. Berikut penjelasan tentang amnesti dan abolisi. Praktik Pemberian Amnesti dan Abolisi di Indonesia Amnesti dan privilese pengampunan lainnya ditegaskan dalam konstitusi Undang Undang Dasar 1945 (Amandemen Pertama) Pasal 14 di mana penjelasannya adalah:
- Presiden memberi grasi dan rahabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
- Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.





























