Jumat, 26 April 24

Harakiri ala KPK

Harakiri ala KPK

Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman (mantan Anggota Komisi Hukum DPR, dan Wakil Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU)

 

Gawat, KPK. Big Fishnya lolos. Dalam putusan hakim Tipikor, menghukum Irman dan Sugiharto 5 dan 7 tahun. Yang gawat, nama Setya Novanto (Setnov) raib. Yang menerima aliran dana korupsi E-KTP disebut hanya 3 orang yang bertitel anggota DPR: Miriam, Akom, dan Markus Nari. Jadi, 43 orang anggota yang disebut dalam BAP jaksa yang menghebohkan itu, terbukti tak disebut. Bahkan nama Setnov tak sekalipun disebut, padahal menurut JPU aktor intelektual.

Menurut Prof Romli Atmasasmita, JPU gagal meyakinkan majelis hakim. Setnov yang tadinya sudah ancang-ancang mengajukan praperadilan, urung. Memang tak perlu lagi, karena putusan majelis hakim, tak ada menyebut Setnov. Bagaimana kalau menyebut?

Putusan majelis hakim adalah mengikat, menurut hukum. Karena KPK sudah menyatakan Setnov tersangka, ia bisa langsung ditahan. Anehnya, maklumat tersangka dari KPK tidak diikuti Sprindik (surat perintah dimulainya penyidikan) yang harus dikirim kepada tersangka. Pernyataan DPP Golkar terakhir, mereka menunggu Sprindik untuk mengajukan praperadilan. Ini di luar tradisi hukum acara, Sprindik pasti lebih dulu dibuat, baru maklumat. Kalau Sprindik untuk Irman dan Sugiharto disatukan, tetap saja ada Spirindik baru karena tersangkanya berbeda.

Makanya saya tak percaya pernyataan Romli. Dengan kata lain, saya lebih percaya kesaktian Setnov mengalahkan kesaktian Ketua KPK Agus Rahardjo. Dengan lolosnya Setnov, maka tuduhan kepada Anggota Komisi II yang dalam BAP Jaksa, bersih.

Pertama, secara pembuktian, yang menerima langsung hanya yang disebut tiga orang tadi. Miriam menerima Rp 1,2 triliun. Lalu dibaginya kepada sejumlah orang. Sudah benar hakim, yang menerima adalah Miriam. Materiil. Yang dihitung materil memang layer 1. Sedang layer 2, 3, 4, dan seterusnya adalah penadah. Kisah lain lagi. Dalam banyak kasus KPK, hakim tak sampai ke penadah. Kasus Bank Century dan Reklamasi juga begitu. Saya ragu JPU tak paham itu. Ketika Miriam mencabut BAP nya, hakim tak berdaya. Missing link ke layer 2 (penadah).

Kedua, saya kira argumen Fahri Hamzah reasonable. Misalnya, Mustikoweni kata dakwaan JPU membagi-bagi duit E-KTP. Masalahnya, tempus delicti yang disebut JPU, yang bersangkutan telah meninggal dunia 5 bulan sebelum tempus tersebut. Mustahil JPU tak tahu Mustikoweni telah meninggal, padahal posisi almarhumah berada di layer 1 BAP.

Ketiga, jika JPU meragukan akurasi data, dalam faktanya JPU tidak meminta audit investigasi ulang BPK. Itu wajib.

Keempat, kasus korupsi E-KTP, bukan kasus temuan rezim Agus Rahardjo. Melainkan legacy dari rezim Abraham Samad. Rezim Agus hanya melanjutkan. Tampaknya harus dilanjutkan dalam suasana faith a comply.

Kelima, jika kasus tersebut dielaborasi, dari data Fahri Hamzah, mau-tak-mau Agus Rahardjo jelas terlibat selaku Ketua LKPP.

Keenam, absennya Novel Baswedan telah membuat dakwaan JPU tidak akurat lagi. Novel adalah penyidik senior yang telah membuat debut sebagian besar kasus KPK sukses.

HARAKIRI

KPK sengaja harakiri. Fenomenanya sejak awal sudah terasa. KPK ketakutan. Ia minta hak imunitas. Selanjutnya, hak supervisi dilemahkan sendiri dengan cara mengubahnya menjadi supervisi online. KPK juga menghidar dari kasus-kasus besar. KPK berganti menangkapi rasuah, kecil-kecil, Rp 100 juta, Rp 260 juta, dst. Padahal KPK dibatasi Pasal 11 huruf C UU No 30/2002 objek perkara di atas Rp 1 miliar.

KPK mempetieskan sejumlah kasus, yang menyolok adalah kasus RS Sumber Waras dengan bukti terang benderang.

Kini KPK mentok di putusan majelis hakim E-KTP. Mari kita saksikan, apakah KPK berani memakai Perma No 13 tahun 2016 tentang penanganan kejahatan korporasi. Yang dimaksud korporasi adalah badan hukum. Hanya itu satu-satunya beleid bagus untuk keluar dari blunder putusan majelis.

DENSUS TIPIKOR

Dalam bahasa diplomasi Kapolri Tito Karnavian, pembentukan Densus Tipikor adalah memperkuat hak supervisi KPK. Saya yakin diplomasi artifisial. Melainkan, Densus Tipikor disiapkan untuk menggantikan KPK yang hara kiri. Hak supervisi KPK merupakan perintah dari UU No 31/1999 tentang Tipikor yang merekomendasikan pembentukan KPK untuk menggantikan Tim Gabungan Penyidikan Korupsi (TGPK) yang dijabat Jaksa Agung sebelum UU No 30/2002 tentang KPK. Bentuk TGPK berubah menjadi hak supervisi setelah UU KPK diberlakukan, dan TGPK dihapus.

Tentu saja tak sama. Jenis UU KPK adalah “bertanggung jawab kepada UU dan melapor kepada UU”. Jadi KPK tak punya boss. Sedang UU Kepolisian No 2/2003, “bertanggung jawab kepada UU, melapor kepada Presiden”.

Doktrinnya juga beda. Doktrin UU KPK “tajam ke atas, tumpul ke bawah” di mana objeknya dibatasi Pasal 11 huruf C: minimal korupsi Rp 1 miliar, diklasifikasi extra ordinary crime. Kejahatan kerah putih atau white collar crime. Yaitu penjahat berdasi yang berada di kekuasaan. Polri adalah guardian presiden dan briefnya di bawah langsung presiden. Bagaimana Densus akan menggarap kerah putih di lingkungan presiden, sementara fungsinya adalah penjaga kekuasaan? Postulatnya Lord Acton, power tends to corrupt.

Power tends to corrupt itu yang dijaga UU KPK, terutama penyelenggara negara, terutama polisi, jaksa dan hakim. Itu tugas utama UU KPK.

Dari sejumlah indikator hara kiri, saya tak yakin KPK akan dibubarkan oleh hak angket, yang bahkan taringnya, UU No 6/1954 tentang hak angket DPR sudah dibatalkan MK. Saya justru yakin, KPK sendiri yang ingin harakiri. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.