
Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan alumnus Program Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, tahun 1986
Pada dasarnya baik dari segi pendapatan daerah maupun belanja daerah, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada tahun 2013 hingga 2015 tidak berhasil mencapai target. Bahkan jauh dari target capaian ditetapkan sebelumnya. Kondisi kinerja Pemprov DKI dinilai lebih buruk. Kondisi kinerja pada tahun 2016 dan 2017 ini akan terulang kembali.
Kondisi kinerja lebih buruk dimaksud dapat ditemukan pada uraian di bawah ini.
Rencana Belanja Daerah (RBD) tahun 2013 sebesar Rp. 46.57 triliun, realisasi Rp. 38.29 atau 82,21%. Angka ini menunjukkan Pemprov DKI pimpinan Gubernur Jokowi tahun 2013 berkinerja buruk.
Pada tahun 2014 Jokowi menjadi Presiden RI dan Ahok sebagai pengganti Gubernur DKI. RBD pada tahun 2014 sebesar Rp. 63.65 triliun. Pemprov DKI di bawah kepemimpinan Ahok jauh dibandingkan dengan Jokowi, yakni Rp. 37,75 triliun atau 59,32%. Angka ini menunjukkan kondisi kinerja Ahok tergolong sangat buruk.
Pada tahun 2015 tetap Ahok sebagai Gubernur DKI. Target capaian belanja daerah pada tahun 2015 sebesar Rp. 59,68 triliun. Pemprov DKI hanya mampu merealisasikan Rp. 43,03 triliun atau 72,11%. Angka ini lebih besar ketimbang tahun 2014. Namun, kondisi kinerja Ahok tergolong lebih buruk. Kondisi kinerja tahun 2015 ini diperkirakan juga berlaku pada 2016 dan 2017.
Uraian di atas menyimpulkan, setiap Pemprov DKI Jakarta 2013-2017 mengalami kegagalan memenuhi target capaian belanja daerah. Bahkan, pada 2014 Ahok hanya mampu mencapai 59,32%, sangat jauh dari target capaian, dan sangat buruk. Juga tak berprestasi.
Rata-rata kemampuan Pemprov DKI meraih target capaian belanja daerah yakni sekitar 70% atau lebih buruk.
Pendukung buta Ahok juga harus paham bahwa Ahok tak mampu dan tak berprestasi kerja mengurus belanja daerah, terutama belanja pembangunan. Penyerapan anggaran belanja daerah Pemprov DKI pimpinan Ahok lebih mengutamakan belanja pegawai; satu metode untuk membeli dukungan politik dari birokrasi dalam Pilkada 2017 atau mempertahankan kekuasaan. Di publik dikesankan semua PNS DKI sebagai koruptor, sehingga mengalihkan alasan kegagalan belanja daerah, bukan karena faktor kepemimpinan Ahok sebagai gubernur, tapi untuk menghindarkan korupsi anggaran Pemprov DKI. Alasan ini acap kali digunakan pendukung buta Ahok untuk membela dan ngeles atas kegagalan Ahok mengurus belanja daerah.
Agustus 2015, Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, penyerapan anggaran terendah dan terparah se-Indonesia. Jakarta kalah jauh dibanding Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek, mengungkapkan, serapan anggaran pemerintah Pemprov DKI justru terbesar hanya ada di belanja pegawai. Seharusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan belanja pegawai.
Gubernur baru DKI harus menapikkan bela dan ngeles pendukung buta Ahok dari kegagalan mengurus penyerapan anggaran belanja daerah.
Gubernur baru DKI mendatang harus menyerap belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan belanja pegawai. Jangan meniru cara kerja atau pengalaman Ahok. Sekali lagi, gubernur baru DKI harus mengutamakan belanja jasa dan modal. (***)