Dia menyadari bahwa anggapannya selama ini salah. Pekerjaan notaries bukan hanya salin-tempel saja, tapi banyak yang harus dipersiapkan untuk akhirnya bisa membuat suatu akta dengan tetap berpegang pada Undang-undang Jabatan Notaris.
Saat memilih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), perempuan bernama lengkap Dewi Tenty Septi Artiany ini tidak pernah membayangkan akan menekuni profesi sebagai seorang notaris. Dalam benaknya yang dipenuhi idealisme menggebu ketika itu, menjadi seorang notaris adalah pekerjaan yang tidak ada tantangannya, hanya salin-tempel dokumen dan formalitas biasa. Dia lebih tertarik pada hukum tata negara yang sifatnya lebih mengkritisi suatu kebijakan. Namun, atas desakan sang ayah, dia pun akhirnya tergerak menggeluti bidang tersebut setelah lulus dari FH Unpad, kemudian melanjutkan pendidikan spesialisasi kenotariatan di Universitas Indonesia (UI). Setelah diangkat sebagai notaris di Jakarta pada 2002, dia kemudian melanjutkan program penyetaraan, sehingga meraih gelar Magister Kenotariatan pada tahun 2005. Setahun kemudian dia diangkat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Setelah menjalani profesi tersebut, Dewi menyadari bahwa anggapannya selama ini salah. Pekerjaan notaris bukan hanya salin temple saja, tapi banyak Yang harus dipersiapkan untuk akhirnya bisa membuat suatu akta dengan tetap berpegang pada Undang-undang Jabatan Notaris. Seorang notaris memiliki wilayah kerja yang meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Di wilayah kerja tersebutlah dia berwenang untuk membuat akta autentik. Wewenangnya meliputi membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan. Untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan, dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan undang-undang. “Seperti dalam hal membuat perjanjian, para pihak bebas menuangkan isi perjanjian. Namun, notaris harus menuangkan isinya ke dalam akta dengan tetap berpegang pada prinsip hukum perjanjian, yaitu pacta sunt servanda. Itulah sebabnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat, antara lain kecakapan para pihak, kesepakatan, suatu sebab tertentu dan sesuatu yang halal, bukan sesuatu yang dilarang. Tantangannya adalah mempersatukan dua persepsi yang berbeda ke dalam perjanjian,” paparnya lebih jauh tentang profesinya. Di sela kesibukannya berpraktik sebagai notaris, Dewi memperdalam pemahamannya akan hukum bisnis di Universitas Gadjah Mada dengan mengambil jurusan hukum bisnis pada 2013. Tahun ini dia akhirnya mendapatkan gelar doktor dari almamaternya di Bandung dengan kajian utama tentang merek kolektif untuk koperasi produksi.
Halaman selanjutnyaJati Diri Notaris Sebagai profesi yang banyak ditekuni, ternyata tidak mudah untuk menjadi seorang notaris. Berbeda dengan lulusan fakultas hukum yang bisa langsung menjadi advokat, untuk menjadi notaris harus menempuh pendidikan spesialisasi terlebih dahulu. Pemerintah mengeluarkan aturan bahwa calon notaris harus mengikuti jenjang Strata 2 (S2) jurusan kenotariatan, agar dapat mengikuti syarat-syarat menjadi notaris. Hal ini dipicu akibat tingginya permintaan akan bantuan dan layanan notaris. Jika dulu hanya ada lima universitas yang mengadakan pendidikan kenotariatan, kini sudah berkembang jauh lebih banyak, termasuk pihak universitas swasta. Mungkin karena adanya anggapan yang salah kaprah bahwa seorang notaris dengan senyum-senyum saja bisa mendapatkan uang.

Idealnya jumlah notaris di suatu wilayah memang harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, perbandingan wilayah dengan jumlah pertumbuhan ekonomi dan banyaknya penduduk, di wilayah mana yang penuh dan yang kurang. Sehingga tidak ada persaingan yang akhirnya merugikan masyarakat. Notaris juga tidak membuat akta asal-asalan demi mendapatkan uang. Pada intinya adalah mengembalikan marwah notaris kepada jati dirinya. “Orang bilang lebih sulit mencari penjahit daripada notaris,” gurau perempuan yang senang berorganisasi ini. Setelah lulus dilanjutkan dengan program magang selama dua tahun yang sangat membantu untuk melengkapi ilmu yang didapat selama kuliah notaris. Dengan magang, calon notaris akan belajar bagaimana cara menghadapi klien dan melakukan administrasi yang teratur, sebelum akhirnya membuka kantor sendiri. Ibarat penjahit, kita harus belajar membuat pola, memotong bahan, dan menjahit terus-menerus agar bisa menjadi andal. Hal yang sama juga dijalani Dewi sebelum membuka kantornya sendiri. Menurutnya, semasa mengambil program spesialisasi betul-betul dilatih seperti di politeknik. Setiap hari terus berkutat dengan hal-hal yang berhubungan dengan akta. Sampai hafal di luar kepala, apa itu kepala akta, kemudian akhir akta. Berbeda dengan pembekalan di magister, yang lebih pada pengetahuan hukum secara umum dengan memiliki mata kuliah tambahan. Seperti penelitian hukum, penemuan hukum, dan politik hukum untuk menambah kompetensi diri profesi seorang notaris.
Halaman selanjutnyaTanggung Jawab Moral Posisi notaris itu sangat luas cakupannya, dari seseorang lahir sampai meninggal. Dari mulai badan hukum atau badan usaha berdiri dan dibubarkan membutuhkan jasa notaris. Oleh karena itu, tanggung jawab seorang notaris juga sangat besar. Jadi, notaris itu berbeda dengan profesi lain. “Kita tidak boleh beriklan atau melakukan promosi, tapi kita harus mempunyai klien, bagaimana caranya?” ujarnya saat baru memulai karier. Itu sesuatu yang sulit, tetapi buat Dewi, dari awal menjadi notaris, dia telah dididik ingin menjadi notaries seperti apa, termasuk segmentasinya dalam masyarakat. Bukan berarti dia mengotak-ngotakkan masyarakat, tetapi memang ada yang ingin mudahnya saja, menerabas aturan. Namun, tak sedikit yang tertib dan taat asas. Ada pula yang setengah-setengah alias abu-abu. “Jadi, silakan pilih, mau jadi notaris pada segmen mana. Tapi ingat, sekalinya kita terjerumus ke segmen tertentu, kita akan dicap seperti itu selamanya,” sarannya.

Dia selalu berusaha menjaga dignity dan marwah, Insya Allah sampai kapan pun masyarakat akan mencari. Karena mereka tahu dirinya bisa mengamankan apa yang mereka mau. Dalam membuat perjanjian misalnya, harus dibuat agar sesuai syarat sah perjanjian. Kemudian di wilayah mana perjanjian itu dibuat. Selain itu, perjanjian harus dibacakan terlebih dahulu dan ditanyakan kepada pihak yang bersangkutan sudah mengerti atau belum. Setelah itu baru ditandatangani. “Alhamdulillah, klien yang datang pun tidak yang aneh-aneh. Ada satu dua memang berusaha menyiasati, tapi akhirnya mundur karena mungkin tidak merasa sreg dengan
code of conduct yang saya terapkan," lanjutnya. Ada yang bilang kalau menjadi notaris harus fleksibel, seperti orang lain yang harus jemput bola. Kita mempunyai undang-undang tentang jabatan notaris, ikuti saja aturannya. Notaris harus menjaga suatu akta, karena suatu saat akan menjadi bukti autentik yang sempurna untuk digunakan di pengadilan. Apabila kita melanggar aturan jabatan, akta itu sudah tidak akan menjadi bukti autentik. Kasihan klien sudah membayar mahal, karena profesi notaris dibuat untuk menjaga agar formalitas aktanya terjaga. Akhirnya gara-gara mempunyai orientasi lain, misalnya jemput bola tadi. Kemudian tidak ditandatangani di wilayah jabatannya, tidak dibacakan terlebih dahulu, dan tidak ditandatangani di hadapan notaris, serta berbagai hal-hal lain yang keluar dari segi formalnya akan mengakibatkan akta tidak lagi menjadi autentik.
Halaman selanjutnyaMenekuni Dunia Koperasi Di kalangan praktisi kenotariatan, Dewi dikenal sebagai sosok yang peduli pada pengembangan koperasi dan UMKM. Dia mengatakan hal tersebut tidak terlepas dari sosok ayahnya. Berprofesi sebagai dokter sekaligus dosen, sang ayah sering melakukan kunjungan kepada pasien. Walaupun terkadang sudah lelah setelah bekerja seharian, beliau selalu meluangkan waktu. Meskipun terkadang hanya dibayar dengan natura, ayahnya selalu berprinsip agar pasien ditangani terlebih dahulu. Dari situ perempuan yang pernah mendapat gelar mahasiswa berprestasi di Unpad ini ingin menjadi bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Dewi mulai bersinggungan dengan koperasi pada 2004, ketika notaris dilibatkan membuat akta koperasi. “Saya mulai ingin tahu, kenapa koperasi ini seperti barang yang ditinggalkan. Kemudian saya juga melihat banyak sekali orang, bukan tidak mau, tapi sedikit berpaling dari koperasi ini,” imbuhnya. Keingintahuannya semakin membuncah mengapa koperasi tidak dianggap menarik, baik di kalangan masyarakat maupun para notaris sendiri. Sebagai sebuah badan usaha, paradigma koperasi selalu diidentikkan dengan kalangan ekonomi lapisan bawah. Dari mulai tahu, lebih ingin tahu, kemudian timbul rasa sayang, begitulah tahapan Dewi jatuh cinta pada koperasi. Saat mengambil S2 di UGM penelitiannya membahas tentang pengawasan terhadap koperasi simpan pinjam, karena rasa khawatir akan maraknya bank gelap berkedok koperasi. Ketika melanjutkan ke S3, dia meneruskan penelitian terhadap merek kolektif untuk koperasi produksi. “Tetapi saya bilang kepada diri sendiri, kalau saya hanya bicara tentang itu saja, berarti tidak memberikan keterbaruan. Dalam artian, sudah tahu koperasi demikian, lalu mau diapakan? Kita sekarang harus me-
rebranding koperasi, memberikan ide-ide kalau mau maju seperti ini,” tukasnya penuh semangat. Sejak itu dia bercita-cita agar koperasi bisa lebih berkompetisi di tingkat nasional maupun internasional. Koperasi yang ditanganinya sebagian besar memang Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Hal yang membuatnya sedih dan miris, karena sebetulnya yang dimaksud koperasi sebagai soko guru perekonomian Indonesia yang dicanangkan Bung Hatta bukan itu. Melihat demografi Indonesia dengan jumlah penduduk demikian banyak, koperasi yang paling cocok diterapkan adalah yang melibatkan masyarakat. Contohnya koperasi pertanian dan produksi. “Makanya, mengapa koperasi simpan pinjam ternyata yang terbanyak, harusnya jadi pertanyaan besar?” ujarnya penuh tanya. Di dalam bukunya berjudul 'Merek Kolektif Produk Koperasi Ekonomi Kreatif' Dewi menjelaskan Indonesia saat ini memiliki jumlah koperasi terbanyak di seluruh dunia, tetapi pemasukan GDP-nya cuma 4,3%. Bandingkan dengan Kenya yang sebesar 43%, dan Denmark 68%. Koperasi ternyata bisa menyumbangkan begitu banyak kepada negara. Hingga muncul pertanyaan mengapa dengan jumlah koperasi terbanyak, tetapi GDP terhadap negara sangat minim. Menurutnya, itulah yang harus diulas, salah urusnya sebelah mana. Kemudian apa yang bisa ditawarkan sebagai solusi.
Rebranding Koperasi Indonesia Dewi berpendapat bahwa pemerintah Indonesia terlalu mengatur tentang urusan koperasi. Seperti pohon bonsai, koperasi dipangkas daun dan akarnya, hingga menjadi mengecil. Jadi barang mainan, tapi kapan berbuahnya dan mendapatkan manfaat dari koperasi? UU koperasi memiliki terlalu banyak regulasi. Mengapa tidak mencontoh Jepang dengan koperasi Zen-Noh yang bergerak di bidang industri pertanian. Koperasi pertanian berada di bawah undang-undang pertanian. Koperasi Tani Zen-Noh sangat maju, karena berani antimainstream. Pada saat petani berlomba memakai pestisida untuk meningkatkan hasil taninya, banyak orang menjadi sakit.

Koperasi kemudian membuat keterbaruan, pertanian tanpa pestisida. Akhirnya, masyarakat percaya bahwa yang dihasilkan ternyata bagus, sehat, dan mau membeli hasil pertanian koperasi. Setelah memiliki produk, koperasi membuat industri pertanian, meningkatkan hasilnya maupun berbagai perangkat, sehingga menggurita menjadi raksasa. Jadi, tidak aneh kalau satu dari empat orang Jepang menjadi anggota koperasi. Dengan kuatnya koperasi pertanian, pemerintah Jepang sering meminta pendapat koperasi, jika ingin membuat kebijakan. Koperasi perlu ditantang melakukan
rebranding, dalam artian bukan definisinya, melainkan stigmanya. Langkah ini pun ditujukan untuk menghapus imej koperasi itu untuk orang tua, sehingga tidak menarik generasi muda. Padahal, apa pun kegiatan usahanya bisa dilakukan melalui koperasi. Pemerintah sebaiknya juga tidak menjadikan koperasi barang kesayangan yang akhirnya menjadikannya manja, tidak berdiri di atas kemampuannya sendiri. Kita bisa melihat koperasi yang dibuat berdasarkan dorongan pemerintah tidak akan sekuat koperasi yang berdiri berdasarkan keinginan masyarakat itu sendiri. Kalau didirikan berdasarkan dorongan pemerintah, saat regulasi berubah atau terjadi pergantian pemerintahan akan langsung memengaruhi kinerjanya. Koperasi juga diancam akan ditutup apabila tidak ada kegiatan. Semestinya, koperasi dibentuk bukan atas suatu kepentingan, melainkan kemauan masyarakat sehingga dapat berdiri
ajeg.
Halaman selanjutnyaMerek Kolektif Koperasi sejatinya adalah badan usaha yang melibatkan masyarakat banyak, salah satu contohnya adalah koperasi produksi. Daripada mereka berkompetisi sendiri, mengapa tidak bergabung dalam koperasi produksi yang mempergunakan merek kolektif, yaitu merek bersama. Dua tahun terakhir Dewi aktif mengampanyekan penggunaan merek kolektif sebagai langkah mengembangkan koperasi. Merek bukan sekadar logo atau nama perusahaan, melainkan imej atau persepsi seseorang tentang produk atau perusahaan. Merek yang kuat tidak hanya dapat menciptakan kesadaran, tetapi juga memberikan jaminan kualitas barang dan berfungsi sebagai sarana promosi. Kebutuhan adanya perlindungan hukum atas merek semakin berkembang pesat, setelah banyaknya kejadian orang yang melakukan peniruan-peniruan. Selain itu, merek kolektif itu bisa meringankan biaya, memproteksi produk, sehingga tidak bersaing sendiri-sendiri. Mereka dapat bersama-sama menghadapi persaingan dari luar. Seperti terjadi di Jatiwangi yang memproduksi genteng dengan merek kolektif. “Perkembangannya cukup pesat setelah ada merek bersama, dan akhirnya daya saing koperasi mengalami peningkatan,” urai ibu lima anak ini menutup pembicaraan dengan
Women’s Obsession.
(Nur Asiah)Make up artist: Milottaya
phone: 0812 8126 4707
Artikel ini dalam versi cetak telah dimuat di Majalah Women’s Obsession Edisi Juli 2019.