Sabtu, 27 April 24

AMDI Desak Polri Tindak Media Berkonten SARA di Pilkada

AMDI Desak Polri Tindak Media  Berkonten SARA di Pilkada

Jakarta, Obsessionnews.com – Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) meminta kepada Polri menindak tegas media online abal-abal yang menyebarkan informasi menyesatkan, dan berbau Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017.

“Polisi dan pemerintah harus menutup dan mempidanakan pengelola media online yang memuat berita hoax, menyebarkan berita yang bernada menghasut, menyebarkan rasa kebencian terhadap pemeluk agama lain, serta menayangkan informasi berita berbau memecah belah persatuan bangsa Indonesia,” ujar Sekretaris Jenderal AMDI, Edi Winarto, yang akrab disapa Edo, dalam siaran pers yang diterima redaksi Obsessionnews.com, Senin (3/10/2016).

baca juga:

Menag Minta Guru dan Dosen Kuasai Media Digital

Promosi Kopi, ITPC Luncurkan Media Digital SMART

Liberty Media Akuisisi Formula 1

Ahokers dan Teroris Media Sosial

Media Sosial Mengguntungkan Sekaligus Merugikan

Edo menambahkan, dalam pemantauan timnya, media online abal-abal itu dimanfaatkan untuk membentuk opini publik, kemudian disebarluaskan melalui media sosial Facebook, twitter, Instagram hingga line.

“Berita atau opini yang mereka buat seolah pandangan umum atau pandangan narasumber, padahal berita itu ada maksud tertentu mempengaruhi pembacanya. Jika pengaruh itu positif tidak jadi masalah. Yang menjadi persoalan jika informasi itu negatif, bersifat mengadu domba yang berujung saling menjelekkan sesama antar warga masyarakat, ini yang harus diwaspadai,” ujar Edo.

Media online yang dimaksudkan Edo itu adalah media online yang tidak jelas siapa pengelolanya, siapa penanggung jawabnya. Namun mereka belakangan ini marak muncul di media sosial. Apalagi ketika isu SARA muncul pada pertarungan Pilkada.

“Media-media itupun gencar membuat pemberitaan massif yang bernada memojokkan salah satu kandidat dengan isu agama,” ujarnya.

Media online ini yang harus dipantau dan dicari siapa yang membuat dan kemudian ditanya apa motivasinya melakukan perbuatan ini dan membuat media online itu.

Kehadiran media massa sepanjang sejarahnya di Indonesia, lanjut jurnalis ini, adalah sebagai alat perjuangan, agen perubahan dan sebagai alat kontrol sosial. “Namun belakangan ini seiring kemajuan teknologi dan mudahnya orang membuat media dengan cara membuat situs berita, isi berita tidak lagi menjadi pertimbangan apakah materi itu layak atau tidak ditampilkan ke khalayak yang lebih luas,” tambahnya.

Dampaknya, opini yang mereka buat semakin memperuncing perbedaan pendapat di kalangan netizen dunia maya yang tidak perlu. Bahkan memicu sikap anarkisme dalam membangun komunikasi di media sosial. “Sebagai contohnya sekarang ini banyak meme-meme ditampilkan secara tidak santun seperti menggambarkan (maaf) binatang, pornografi, dan menjelek-jelekkan orang lain atau tokoh. Ini sudah tidak memberikan pembelajaran yang baik bagi nilai-nilai kesantunan bangsa Indonesia,” paparnya.

AMDI, lanjut Edo meminta pemerintah dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika bertindak lebih tegas. Pemerintah diminta melakukan pendataan terhadap keberadaan media online agar jangan lagi disalahgunakan untuk memecah belah bangsa ini. “Saya mengharapkan Kantor Kementrian Kominfo segera membuat juklak atau aturan main bagi media online dengan mengacu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), bagi mereka yang suka menyebar tulisan atau berita bernada kebencian pada kelompok masyarakat lain, bisa diblokir keberadaan situsnya agar tidak menjadi alat atau media untuk kepentingan merusak persatuan bangsa ini yang sudah susah dirintis oleh para pejuang kemerdekaan kita,” papar Edo.

Apalagi, kata Edo, masalah etika dan ketidaksantunan pola komunikasi di media sosial ini juga dikritik Presiden Joko Widodo.

Sudah saatnya pola komunikasi melalui media online dan media sosial dipantau terutama konten yang berbau Pornografi, SARA, kekerasan dan kejahatan. “Kalau soal itu tidak perlu lagi kita harus bicara kebebasan pers. Tidak ada aturan kebebasan pers dalam soal Pornografi, SARA, kekerasan dan kejahatan, kebebasan pers diatur jika berita yang dibuat bisa dipertanggungjawabkan untuk membangun nilai positif,” kata mantan wartawan sejumlah media massa ini.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo dalam sebuah kesempatan mengungkapkan bahwa belakangan ini sebagian komunikasi media sosial cenderung tidak mengindahkan nilai kesantunan. Banyak netizen yang menyampaikan komentar-komentar yang kurang produktif. “Saya enggak mengerti banyak sekali, terutama di medsos. Padahal saya yakin itu bukan budaya ketimuran kita. Saling cela, saling ejek. Coba baca saja,” ucap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Dia mengaku kerap tertawa melihat komentar-komenter netizen di media sosial. “Kadang buat tertawa, tapi kadang sedih saling menjelekkan, saling mencaci itu bukan budaya ketimuran kita,” tutur Jokowi. @reza_indrayana

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.