Jumat, 26 April 24

AM Fatwa Meninggal Karena Kanker Hati

AM Fatwa Meninggal Karena Kanker Hati
* Anggota Dewan Perwakilan Daerah Andi Mappetahang Fatwa (AM Fatwa). (Foto: tribunnews.com)

Jakarta, Obsessionnews.com – Anggota Dewan Perwakilan Daerah Andi Mappetahang Fatwa (AM Fatwa) meninggal pada usia 78 tahun di Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Staf pemberitaan DPD yakni Nana, menuturkan informasi yang disampaikan oleh dokter yang menangani AM Fatwa di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Dia menyebutkan, AM Fatwa meninggal dikarenakan menjalani perawatan intensif dirumah sakit karena penyakit kanker.

“Iya, kanker hati,” kata Nana saat dihubungi wartawan, Kamis (14/12/2017).

AM Fatwa tutup usia sekitar pukul 06.17. Jenazah akan dibawa ke rumah duka di Jalan Condet Pejaten, Kompleks Bappenas, Pejaten Barat, Pasar Minggu.

Profil AM Fatwa

AM Fatwa lahir di Bone pada 12 Februari 1939 dari keluarga yang bersahaja, meskipun sebenarnya dia termasuk keturunan keluarga Kerajaan Bone. Ia menjadi ikon perlawanan dan sikap kritis terhadap rezim otoriter Orde Lama dan Orde Baru, sehingga sejak muda sering mendapat teror dan tindak kekerasan dari aparat intel kedua rezim otoriter tersebut, sampai keluar masuk rumah sakit dan penjara.

Terakhir ia divonis 18 tahun penjara, dari tuntutan seumur hidup, dijalani efektif 9 tahun, lalu tahanan luar, dan dapat amnesti, karena kasus Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, dan khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap Orde Baru. Jika diakumulasi, ia menghabiskan waktu selama 12 tahun di balik jeruji besi, selain tahanan luar.

AM FAtwa adalah salah seorang anak asuh Amnesti Internasional di London yang banyak mempublikasikan kasus-kasus politiknya ke dunia internasional. Dua Anggota Kongres Amerika Serikat telah mendesak Presiden George Bush untuk memberikan perhatian khusus kepada dua tahanan politik Indonesia, yaitu HR Dharsono dan AM Fatwa. Dokumen surat kedua anggota kongres tersebut diterima AM Fatwa dari mantan Kapolri yang juga aktivis Petisi 50, Jend. Pol. Hoegeng Iman Santoso. Ketika Dan Quayle, Wapres AS (1989-1993) berkunjung ke Indonesia pada bulan April 1989, tokoh pegiat HAM, HJC Princen dkk langsung menemuinya dan mengingatkan agar lebih memperhatikan nasib dua tahanan politik tersebut. Wapres Dan Quayle lalu memerintahkan Dubes AS di Jakarta untuk tindak lanjut bentuk perhatian tersebut. Kedutaan AS lantas mengutus Sekretaris Politiknya Mr. Julian Lebourgeois untuk mengunjungi keluarga AM Fatwa di Kramat Pulo Gundul, di pinggir rel kereta dan di samping kali comberan yang hitam.

Atas segala penyiksaan yang dialami, ia merupakan satu-satunya warga negara yang pernah menuntut Pangkobkamtib di pengadilan. Tapi setelah terjadi perubahan sistem politik dan rezim pemerintahan melalui gerakan reformasi yang turut dipeloporinya, dengan jiwa besar dan sikap kenegarawanan, ia memaafkan dan menemui tokoh-tokoh yang bertanggung jawab atas penyiksaan dan pemenjaraannya. Lalu, secara manusiawi dan kekeluargaan membina hubungan baik yang berkelanjutan.

Sejak muda AM Fatwa aktif di berbagai organisasi seperti PII, GPII, HMI, dan Muhammadiyah. Ia juga aktif dari awal terbentuknya Keluarga Besar PII sebagai Penasihat dan kini Dewan Kehormatan. Demikian juga di KAHMI pernah jadi Wakil Ketua di awal terbentuknya, kemudian Dewan Penasihat. Belakangan juga ICMI, terakhir sebagai Dewan Kehormatan.

Ia juga aktif di front-front pergerakan seperti Front Pemuda, Badan Kerjasama Pemuda Militer (BKSPM), Front Nasional, dan Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB), serta Front Anti Komunis (FAK) pimpinan Isa Anshari, Hassan Aidit, dan Aunur Rofiq Mansur. Pernah menjadi Sekretaris Perserikatan Organisasi-Organisasi Pemuda Islam Seluruh Indonesia (PORPISI) mewakili HMI, ketika presidiumnya diketuai A. Chalid Mawardi dari GP Anshor. Juga pernah menjadi Sekjen Badan Amal Muslimin ketika presidiumnya diketuai oleh Letjen. H. Soedirman. Badan Amal Muslimin nantinya menjadi fasilitator inisiatif terbentuknya Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI).

AM Fatwa mengenyam pendidikan tinggi di IAIN Jakarta Fak. Dakwah (1960-1965 minus ujian akhir), merangkap Fak. Publisistik Univ. Ibnu Chaldun Jakarta (1960-1964), melanjutkan ke UNTAG Surabaya Fak. Ketatanegaraan & Ketataniagaan (1968-1970) ujian akhir S1 UNTAG Jakarta (1970). Selain aktif di intra-universiter sebagai Ketua Senat dan Anggota Dewan Mahasiswa IAIN, ia juga memelopori terbentuknya HMI Komisariat IAIN dan Cabang Ciputat.

Saat kuliah di IAIN itu, AM Fatwa mendapat beasiswa ikatan dinas dari ALRI, dan menjabat Ketua Koprs Pelajar Calon Perwira AL Komisariat Jakarta menggantikan dr. Otto Maulana dari Universitas Indonesia (1960-1961). Selanjutnya jadi Ketua Senat Seluruh Indonesia menggantikan dr. Tarmizi Taher dari Universitas Airlangga (1961-1963).

Selanjutnya mengikuti Sekolah Dasar Perwira Komando (Sedaspako) V/1967 KKO AL, namun tidak berlanjut sebagai Perwira AL, dan hanya menjadi Imam Tentara yang ditempatkan sebagai Kepala Dinas Rohani Islam Pusat Pendidikan Tamtama, merangkap Kepala Penerangan di Gunung Sari, Surabaya. Terakhir Wakil Kepala Dinas Rohani Islam Komando Wilayah Timur KKO AL di Surabaya hingga akhir tahun 1969. Kemudian oleh Komandan Pusat KKO AL Mayjen KKO Moch. Anwar, pada tahun 1970 AM Fatwa diperbantukan kepada Gubernur DKI Jakarta, Letjen KKO AL Ali Sadikin, di bidang agama dan politik.

Ketika Jend. AH Nasution dan Jend. A. Yani melakukan koordinasi dan konsolidasi kekuatan Ormas non-parpol, untuk mengimbangi pengaruh PKI dalam elit politik dan kekuasaan, lalu dibentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), Anggota Front Nasional pada 20 Oktober 1964. AM Fatwa ikut menandatangani deklarasinya, mewakili Pelajar Islam Indonesia (PII). Ketika Golkar menjadi kekuatan politik Orde Baru, AM Fatwa yang berstatus PNS Pemda DKI, pernah menjabat Ketua Bidang Pembinaan Rohani Golkar DKI (1976).

Meski berstatus narapidana bebas bersyarat pada tahun 1993, yang mestinya secara formal baru bebas tahun 2002, atas izin Presiden Soeharto, Menteri Agama Tarmizi Taher menjadikannya Staf Khusus, dan berlanjut pada Menteri Agama Quraish Shihab.

Mantan Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 itu bersama eksponen bangsa lainnya menggulirkan gerakan reformasi, hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998.

AM Fatwa adalah salah seorang deklarator berdirinya Partai Amanat Nasional, lalu menjadi Ketua DPP PAN (1998-2005), Wakil Ketua MPP PAN, dan Dewan Kehormatan PAN (2015-2020).

Dalam Pemilu 1999, AM Fatwa terpilih menjadi Anggota DPR RI dari PAN. Ia lalu menjabat Wakil ketua DPR RI (1999-2004). Dalam Pemilu 2004, ia terpilih untuk kedua kalinya dari PAN, dan menjadi Wakil Ketua MPR RI (2004-2009). Pada Pemilu 2009 dan 2014, AM Fatwa memutuskan maju sebagai calon perorangan dan terpilih menjadi Anggota DPD RI, Senator dari DKI Jakarta.

Pada HUT KNPI 1999, DPP KNPI pimpinan Adyaksa Dault memberikan award kepada AM Fatwa sebagai Pegawai Negeri dan Politisi Berkepribadian. Pada tanggal 14 Agustus 2008, ia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Maha Putera Adipradana oleh Presiden RI. Pada HUT ke-30 Revousi Islam Iran, 29 Januari 2009, AM Fatwa memperoleh Award Pejuang Anti Kezaliman dari Presiden Mahmoud Ahmadinejad, bersama sembilan tokoh pejuang demokrasi dan kemerdekaan dari sembilan negara. Atas pemikiran dan pengabdiannya pada masyarakat, khususnya di bidang pendidikan luar sekolah, AM Fatwa dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 16 Juni 2009.

Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) memberinya tiga kali penghargaan. Pertama, sebagai Anggota Parlemen paling produktif menulis buku (2004). Kedua, penghargaan atas pledoi terpanjang di Pengadilan Negeri 1985 (2004). Dan ketiga, dalam upayanya merintis penggunaan Hak Bertanya Anggota DPD RI kepada Presiden tentang kebijakan ‘Mobil Murah’, wewenang yang pertama kali digunakan oleh DPD RI dengan memecahkan rekor terbesar penanda tangan, 96 Anggota DPD RI (2013).

Sejumlah masyarakat adat juga tak ketinggalan memberinya gelar kehormatan, seperti Marga Ginting dari Tokoh Adat Brastagi (1999), Marga Harahap dari masyarakat Adat Padang Sidempuan (2001), Gelar Tumenggung Alip Jaya dari Adat Keratuan Paksi Pak Skala Brak (Kerajaan Tua di Lampung, 2006), dan Gelar Kajeng Pangeran Notohadinagoro dari Pakubuwono XII (2002).

Selama dua periode menjadi Senator di DPD RI, AM Fatwa tercatat sebagai Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD RI yang terlama (2012-2017), dan beberapa kali menghasilkan keputusan fenomenal, seperti pemberian sanksi tegas kepada sesama anggota DPD yang melanggar kode etik sebagai anggota Parlemen. Sebagai anggota DPD tertua, dia juga memimpin sidang peralihan pertengahan periode kepemimpinan DPD RI yang krusial dan kontroversial (2017). (Poy)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.