Selasa, 30 April 24

Ada Penyamaran Laporan Kekayaan? Audit Setiap Pegawai Ditjen Pajak!

Ada Penyamaran Laporan Kekayaan? Audit Setiap Pegawai Ditjen Pajak!
* Kantor Ditjen Pajak. (IKPI)

Terungkap harta kekayaan seorang pejabat Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang masih eselon III ternyata tembus Rp56,1 miliar. Ini jadi heboh setelah anaknya pamer harta kekayaan di medsos dan melakukan penganiayaan kekerasan yang sadis terhadap anak orang lain.

Bagi seorang pejabat eselon II! yang gaji dan tunjangannya sekitar Rp50 juta, tampaknya patut dipertanyakan bisa menumpuk harta kekayaan Rp56,1 miliar. Bahkan, itu yang dilaporkan ke KPK, masih adakah yang disembunyikan? Apakah uang segede itu diperoleh secara legal atau ilegal. Publik pun mempertanyakan dari mana asal duit seambrek itu?

Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Kanwil Jakarta Selatan II yang berinisial RAT itu dicurigai menyamarkan laporan harta kekayaannya di tengah sorotan terhadap anaknya berinisial MDS yang dituduh menganiaya anak orang lain.

Dalam akun media sosialnya, MDS beberapa kali memamerkan motor Harley Davidson seri Street Glide dan Jeep Wrangler Rubicon mewah yang harganya miliaran rupiah. Yang aneh, kedua kendaraan tersebut tidak ada dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) RAT.

Kasus kekerasan yang melibatkan MDS, anak pejabat pajak ini juga memunculkan tanda tanya terhadap upaya pemerintah mencegah pelanggaran integritas para pejabatnya yang “bergaya hidup mewah”. Terkait harta kekayaan berlimpah ruah pejabat pajak ini, muncul desakan publik agar perlu dilakukan review dan audit terhadap setiap individu Ditjen Pajak. Kementerian Keuangan diminta untuk memeriksa dan mengaudit setiap pejabat dalam Ditjen Pajak (DJP) menyusul dugaan ketidakwajaran harta RAT.

Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Reza Hafiz, menyarankan agar Kementerian Keuangan meninjau ulang dan mengaudit secara berkala setiap individu yang bekerja di Ditjen. Apalagi, berdasarkan laman elhkpn.kpk.go.id, lebih dari 13.000 pejabat Kementerian Keuangan belum menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) ke KPK sampai 2022.

“[Karena] mereka sangat rentan terhadap praktik fraud [penggelapan uang], tunjangan yang besar tidak menggaransi bahwa seseorang sudah selesai dengan urusan perutnya dan perbaikan akhlaknya,” ungkapnya seperti dilansir BBC News Indonesia.

Sebelumnya akibat desakan publik, pada konferensi pers yang diselenggarakan Jumat (24/2/2023) pagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani mencopot jabatan RAT. Pencopotan tersebut dilakukan karena RAT akan menjalani proses pemeriksaan harta dan kekayaan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.

Reza Hafiz, mengatakan bahwa semua pejabat negara dan individu yang berada di posisi strategis memiliki kewajiban untuk melaporkan harta kekayaan mereka melalui LHKPN. “Sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas serta komitmen dalam menghindari segala bentuk praktik KKN [Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme],” tandas Peneliti INDEF.

LHKPN merupakan laporan yang wajib disampaikan oleh penyelenggara negara mengenai harta kekayaan yang dimilikinya saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi, dan pensiun. Tak hanya itu, semua kementerian negara dan lembaga memiliki badan pengawas, yakni Inspektorat Jenderal.

Bahkan, Kemenkeu, menurut Reza, memiliki aplikasi Laporan Perpajakan dan Harta Kekayaan (ALPHA) bagi seluruh PNS di jajaran Kemenkeu. “Jika sistem tersebut berjalan dengan optimal disertai dengan peran Itjen yang maksimal, seharusnya masalah ‘kekagetan dan ketidaktahuan’ para pejabat di Kemenkeu atas harta RAT yang besar itu tidak terjadi,” ungkapnya.

Pada akhirnya ia merasa perlu dilakukan kajian ulang alias review dan audit berkala terhadap para pejabat yang bekerja di bawah Ditjen Pajak karena mereka sangat rentan terhadap praktik kejahatan uang. “Tunjangan-tunjangan yang besar tidak menggaransi bahwa seseorang sudah selesai dengan urusan perutnya dan perbaikan akhlaknya,” bebernya pula.

Senada dengan Reza, Pengamat Pajak dari Center for Indonesian Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan bahwa LHKPN memang seharusnya ditindaklanjuti oleh Kemenkeu dengan pemeriksaan lebih lanjut. “Apakah wajar atau tidak dengan pendapatan yang dihasilkan ketika dia bekerja di Kemenkeu? Kalau tidak wajar, memang seharusnya nanti ada pemeriksaan. Sumbernya dari mana, karena kan kekayaan itu [bisa jadi] tidak hanya bersumber dari penghasilan dia sebagai pegawai saja,” paparnya.

Menurut Fajry, LHKPN hanya berfungsi sebagai indikasi awal sedangkan pengawasan internal masih belum cukup ketat untuk memastikan tidak ada praktik ilegal yang terjadi. Salah satu mekanisme pengawasan dalam Kementerian Keuangan adalah Whistleblowing System (WISE), yakni aplikasi yang disediakan bagi masyarakat yang ingin melaporkan indikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Sistem whistleblower itu sendiri, jelasnya, masih belum berjalan secara optimal. “Mungkin ada keraguan dari beberapa [orang], mungkin dari internal. Jadi memang whisteblower-nya itu, saya setuju belum maksimal,” katanya. (Red)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.