Sabtu, 27 April 24

Strategi Jokowi Menghadapi Gugatan WTO Tidak Nasionalistis

Strategi Jokowi Menghadapi Gugatan WTO Tidak Nasionalistis

Oleh: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute

Waktu Pilpres 2014 lalu, ketika diundang TV One untuk mengulas debat capres Jokowi-Prabowo Subianto (PS), saya sempat bongkar peran World Trade Organization (WTO sebagai alat pengamanan maksimum dari Skema Ekonomi Neoliberaslisme dan alat imperialisme modern. Waktu itu beberapa kawan saya sinis karena saya dianggap terlalu memojokkan Jokowi, seraya memberi angin pada Pak PS. Karena kebetulan Pak PS waktu itu memang bertanya pada Pak Jokowi melalui pertanyaan yang sebenarnya netral dan datar-datar saja: “Menurut Pak Jokowi, apa peran WTO sesungguhnya?”

Dan atas dasar pertanyaan Pak PS itulah, waktu itu saya menguliti habis-habisan peran WTO sebagai garda depan dan sistem pengamaman maksimum dari skema Perdagangan Bebas hajatan korporasi-korporasi global dari AS, Eropa Barat dan Jepang. Yang itu berarti, WTO memang salah satu tugas pokoknya adalah mendorong dan memaksa pemerintahan di negara-negara berkembang agar membuka kran impor yang seluas-luasnya, sesuai arahan dari Structural Adjustment Program yang telah digariskan IMF dan Bank Dunia.

Memang patut disayangkan pertanyaan Pak PS tentang WTO itu tidak dipertajam lebih jauh oleh beliau, ketika jawaban Pak Jokowi sebenarnya tidak memuaskan, karena tidak menggambarkan perann sesungguhnya WTO dalam percaturan ekonomi global.

Tapi seperti kata Pak PS tempo hari, becik ketitik olo ketoro. Yang benar toh nantinya terungkap juga oleh perkembangan waktu.

Becik ketitik olo ketoro itu terungkap ironisnya ketika pemerintah Indonesia sekarang ini harus menghadapi gugatan hukum WTO gara-gara dianggap telah membatasi kuota impor. Nyatanya, dari strategi dan siasat para pengacara dan ahli strategi pemerintah Indonesia dalam menghadapi gugatan WTO baru-baru ini, bukan saja kedodoran secara skill hukum, bahkan bisa fatal secara ideologis. Malah cenderung masuk perangkap lawan.

Menghadapi gugatan WTO bahwa Indonesia membatasi kuota impor daging dan sebagainya, tentu saja merupakan keharusan. Namun sayangnya strategi yang diterapkan blunder, dan malah masuk perangkap lawan. Atau jangan-jangan hakikinya pemerintah kita memang anteknya WTO dan para skemator Neoliberalisme dan penganut Konsensus Washington.

Harusnya kalaupun gugatan WTO itu secara meterial memang bermuatan hukum, para pengacara dan ahli strategi diplomasi kita jangan terpancing ke melakukan kontra gugatan hukum. Tapi memanfaatkan forum peradilan internasional secara politik, ketimbang hukum.

Kalau membalas manuver WTO secara hukum, malah jadi lucu logika hukumnya. WTO menggugat Indonesia karena membatasi dan mengurangi kuota impor, lalu pemerintah Indonesia secara hukum pula mati matian membalas dengan pembuktian bahwa tidak benar bahwa kita telah mengurangi kuota impor.

Selain faktanya kita sekarang masih impor hampir di semua sektor strategis terkait 9 bahan pokok, argumen secara yuridis hukum yang justru menenegaskan bahwa kita tidak mengurangi kuota impor, malah mempertunjukkan pemerintah kita tidak dijiwai nasionalisme dan patriotisme. Dalam bahasa Bung Karno: kontra revolusioner. Karena sama saja mengakui kalau selama ini Indonesia memang lebih banyak impor ketimbang berbasis kemandirian. Jadi lucu bin konyol kan? Sudah faktanya kita selama ini memang impor, malah digugat telah membatasi impor.

Seharusnya, para pengacara dan para ahli strategi diplomasi kita memanfaatkan forum peradilan internasional yang diseting WTO itu justru buat propaganda bangsa dan negara Indonesia, bahwa inti soalnya justru bukan mengurangi kuota impor. Melainkan justru gimana caranya Indonesia keluar dari jerataan impor.

Karena impor bukan lagi soal desakan kebutuhan dan ketersediaan, tapi impor sudah dijadikan ideologi yang melekat dengan tujuan dan skema penjajahan ekonomi asing terhadap Indonesia. Untuk menghancurkan kemandirian dan kedaulatan sektor pertanian, utamanya sektor pangan di Indonesia.

Alhasil, yang perlu pemerintah Indonesia lakukan adalah menyomasi dan menggugat WTO sebagai alat imperialisme dan kolonialisme. Gunakan forum peradilan internasional setingan WTO untuk menelanjangi imperialisme ekonomi negara negara maju di Indonesia, melalui modus memaksakan impor terhadap Indonesia. Yang mana dalam hal ini WTO merupakan instrumen garis depan dari hajatan korporasi-korporasi asing yang bergerak di sektor pertanian dan agrobisnis, untuk menciptakan ketergantungan ekonomi Indonesia melalui modus memaksa pemerintah Indonesia membuka kran impor seluas-luasnya. Sebagaimana arahan Structural Adjustment Program dari IMF dan Bank Dunia.

Bukannya malah menegaskan bahwa Indonesia tidak pernah membatasi impor. Kan jadinya konyol, sudah mati-matian menghamba pada asing, pada gilirannya malah kena sanksi internasional dengan dalih telah mengurangi kuota impor. (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.