Jumat, 26 April 24

Selamat Tinggal Demokrasi, Selamat Datang Rezim Tirani

Oleh: Pradipa Yoedhanegara (Pengamat Sosial)

Innalilahi Wa’inna illaihi Rodziun, sengaja bukan kata salam yang ingin saya sampaikan sebagai pembuka dalam tulisan yang saat ini saya buat karena pemerintah dibawah rezim tuan presiden jokowidodo telah mengundangkan PERPPU No.2 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan.

PERPPU No. 2 Tahun 2017 yang kini menuai konflik dan polemik didalam masyarakat yang memang secara prinsip merupakan Hak Preogratif Presiden yaitu Hak Subyektif “Terbatas” Presiden yang dimiliki dan melekat pada seorang presiden yang juga merupakan simbol dari kepala pemerintahan dinegeri ini.

Untuk pendukung rezim ini mungkin keluarnya PERPPU tersebut dianggap sebagai sebuah “Keberanian” dari seorang Presiden karena dalam mengeluarkan Perpu seorang Presiden tidak lepas dari perdebatan tentang subyektifitas presiden dalam menafsirkan “hal kegentingan memaksa” yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.

Penafsiran subyektifitas Presiden dalam pasal 22 harus dibedakan dengan penafsiran obyektif yang diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Dalam kondisi bahaya atau tidak normal, UUD Negara RI Tahun 1945 memberikan kewenangan kepada presiden memang untuk melakukan tindakan khusus. Tindakan khusus yang diberikan oleh UUD 1945 diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22. Dalam Pasal 12 secara jelas dan gamblang menyebutkan Presiden menyatakan *”Keadaan Bahaya”*. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya wajib ditetapkan dengan mekanisme undang-undang.

UUD 1945 dengan secara tegas dan gamblang juga mengamanatkan adanya undang-undang yang terlebih dahulu mengatur keadaan bahaya yang saat ini diatur lebih lanjut dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Terhadap keadaan bahaya yang diatur dalam UU (Prp) No. 23 Tahun 1959 ini menyatakan, Presiden hanya dapat menafsirkan secara *”Obyektif”*. Dalam hukum tata negara tidak tertulis dikenal dengan sebutan doktrin *”Noodstaatsrecht”*.

Namun istilah “hak prerogatif Presiden” yang dapat diartikan sebagai “Kekuasaan Mutlak” bagi seorang Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lainnya. Hanya saja hak preogratif presiden itu seharusnya dapat digunakan dengan *”metodelogi yang cermat dan bijak”* untuk kepentingan rakyat banyak bukan untuk memecah belah rakyat ataupun mengkotak-kotak’kan Masyarakat.

Hanya saja secara teoritis, hak prerogatif dapat juga diterjemahkan sebagai *”Hak Istimewa”*, yang juga dapat dimiliki oleh lembaga-lembaga lainnya yang bersifat mandiri seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi karena keputusannya yang mutlak dan mengikat semua pihak, dalam artian tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lainnya.

Dalam sistem pemerintahan di negara-negara modern dan maju saat ini, Hak Preogratif yang dimiliki dan melekat bukan hanya milik kepala negara baik raja ataupun presiden sebagai kepala pemerintahan saja, namun kepada lembaga- lembaga tertentu yang dapat dituangkan dalam konstitusi. Dengan kata lain Hak ini juga dapat dipadankan sebagai kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dan lembaga lainnya dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya.

Kembali lagi kepada dikeluarkannya PERPPU No.2 Tahun 2017 yang saat ini sudah diterbitkan oleh pemerintah, sebenarnya memiliki jangka waktu yang terbatas (sementara), sebab harus secepat mungkin untuk dimintakan persetujuan pada DPR (parlemen), yaitu pada masa persidangan berikutnya. Apabila PERPPU itu disetujui oleh DPR, maka akan dijadikan Undang-Undang (UU). Sedangkan, apabila PERPU itu tidak disetujui oleh DPR, maka akan dicabut.

Persetujuan dari para wakil rakyat kita yang berada di gedung DPR ini menjadi sangat penting karena DPR lah yang memiliki kekuasaan dalam melaksanakan tugas legislasi, dan yang dapat secara obyektif menilai ada tidaknya kegentingan yang memaksa dan mendesak untuk segera diberlakukannya PERPPU tersebut seperti apa yang ada dalam fikiran subjektif tuan presiden, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

PERPPU Ormas yang secara substansial telah melakukan pembatasan terhadap hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul serta hak berpendapat itu sejatinya merupakan *”Produk Hukum Offside”*, yang secara jelas dan nyata bertentangan dengan Undang-undang dasar 1945 yang memberikan ruang kebebasan berekspresi kepada seluruh warga negara dibumi pertiwi.

Bola panas PERPPU yang sudah ditendang oleh pemerintah ke parlemen kini bisa menjadi “SnowBall” (bola salju) dan bisa menjadi pintu masuk untuk “mengimpech” ataupun memakzulkan tuan presiden apabila PERPPU ORMAS tersebut ditolak dan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang dasar 1945 dan dikatagorikan sebagai perbuatan tercela karena bertentangan dengan prinsip negara demokrasi yang kemudian presiden dapat dianggap tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

Melihat dinamika yang terjadi saat ini sudah selayaknya PERPPU Ormas dapat dibatalkan oleh tuan presiden atau setidaknya bisa dikaji ulang oleh pemerintah karena PERPPU tersebut tampaknya terlalu “Premature”, dan jangan sampai PERPPU yang akan dimajukan ke parlemen tersebut adalah PERPPU yang menjadi *”i dont read what i sign”* oleh tuan presiden, karena tidak memiliki landasan pengetahuan yang kuat dibidang ilmu hukum maupun pemerintahan yang mumpuni, sehingga tuan presiden menjadi bahan bulying dari rakyatnya.

Melihat fenomena penolakan dari pelbagai kelompok yang begitu masif, saya berpendapat tampaknya Presiden dan para pembantunya tidak begitu mengerti aspek lainnya dalam membuat PERPPU yakni mempertimbangkan rasa keadilan bagi masyarakat, mempertimbangkan aspek psikologis, philosofi, sosiologi, serta aspek politik dan historis karena pada akhirnya PERPPU tersebut membuat sang Presiden tampaknya terlihat seperti *”orang panik bin bingung”* yang tidak bisa memiliki kendali terhadap pemerintahan yang dipimpinnya.

Karena pada akhirnya PERPPU yang membuat kegaduhan politik yang begitu luar biasa ini tidak berdampak baik pada stabilitas politik maupun pertumbuhan ekonomi dinegeri ini, karena presiden dapat dianggap sebagai akar masalah dan perpecahan bangsa ini yang semakin hari makin membuat sinar Presiden menjadi redup dimata publik.

Kini bola panas PERPPU yang sudah menggelinding jauh dan berada ditangan parlemen bisa menjadi puncak gunung es dari hancurnya wibawa pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Jokowidodo yang dapat dicitrakan sebagai pemerintahan sipil yang otoritarian dan alergi terhadap rakyatnya yang menjunjung tinggi nilai dalam “Demokrasi”.

Wauwlahul Muafiq illa Aqwa Mithoriq,
Wassalamualaikum Wr Wb

Tangsel 16 Juli 2017

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.