Jumat, 26 April 24

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 12 – Selesai)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 12 – Selesai)

Ada Apa dengan Apresiasi?

Setahun Pemerintahan Jokowi – JK, berbagai lembaga survei dan media massa berlomba memaparkan hasil survei kajian seputar pencapaian kerja pemerintah dalam 365 hari.

Sebelum memaparkan apa persepsi dan apresiasi publik yang dihasilkan dari survei-survei itu, perlu terlebih dahulu diingatkan bahwa pada 20 Oktober 2015, tepat setahun Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla dilantik, sesungguhnya keduanya belum bekerja selama 365 hari.

Kita harus jujur mengakui bahwa kegaduhan politik pada tiga bulan pertama masa pemerintahan (dan terus berlanjut hingga kini) jelas mengganggu konsentrasi dan fokus pemerintah dalam bekerja (Baca: Bekerja di Tengah Kegaduhan, di tulisan bagian 1).

Kegaduhan politik itu pula yang menyebabkan APBN 2015 tidak bisa segera berjalan. Bahkan setelah palu diketok, daya serap anggaran sangat rendah. Banyak program pemerintah di daerah yang tetap tidak bisa segera berjalan lantaran kepala daerah dihantui “kriminalisasi” sebagai dampak kegaduhan politik.

Dalam situasi internal seperti itulah, ditambah kondisi perlambatan ekonomi global yang memukul semua negara, Jokowi bekerja memenuhi janji-janjinya seperti tertuang dalam Nawacita.

Setahun pun, “Pengadilan” politik pun dimulai. Biasanya, penilaian publik terhadap satu tahun usia pemerintahan selalu menjadi momok bagi siapa pun presiden yang tengah berkuasa. Dalam kurun waktu itu, lebih banyak presiden yang terperangkap dalam fenomena arus penurunan apresiasi ataupun ekspektasi publik.

Di Amerika Serikat, misalnya, survei opini publik yang dilakukan Gallup mengungkapkan, sebagian besar presiden yang berkuasa di negara itu tidak mampu terhindar dari tren penurunan apresiasi publik dalam satu tahun usia pemerintahan.

Nama-nama populer seperti Harry Truman (1945-1953), Lyndon Johnson (1963-1969), Gerald Ford (1974-1977), Jimmy Carter (1977-1981), Ronald Reagan (1981-1989), Bill Clinton (1993-2001), hingga Barack Obama (2009-kini), tak lepas dari momok itu. Gallup mencatat hanya John F. Kennedy (1961-1963) dan George HW Bush (1989-1993) yang berhasil lolos dari fenomena ini.

Penilaian masyarakat Inggris terhadap perdana menterinya pun tak jauh berbeda. Kecuali Tony Blair (1997- 2007) yang mampu menjaga sentimen positif, publik lebih banyak menyatakan ketidakpuasan terhadap perdana menteri mereka dalam usai setahun pemerintahan. Rekaman hasil survei Ipsos MORI menunjukkan, pada era Margaret Thatcher (1979-1990), John Major (1990-1997), Gordon Brown (2007-2010), dan David Cameron (2010-kini), terjadi penurunan apresiasi setelah satu tahun usia pemerintahan berlangsung.

Di Indonesia, penurunan apresiasi dan ekspektasi publik terhadap kinerja presiden juga dialami presiden pada era Reformasi. Setelah era Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, kini giliran Joko Widodo yang “diadili.”

Hasil survey Litbang Kompas menunjukkan, dibandingkan penilaian sebelumnya (masa enam bulan), dan penilaian masa-masa awal pemerintahan, hasil survei setahun mencatat kelompok masyarakat yang beralih pandangan menjadi tidak puas makin bertambah.

Tercatat sebanyak 54,2 persen menganggap kinerja pemerintahan Jokowi positif. Angka ini menurun dibandingkan bulan-bulan awal (61,7 persen). Proporsi apresiasi publik dalam setahun, tak banyak berbeda dengan dukungan yang dimiliki Jokowi saat memenangi Pemilu Presiden 2014 (53,2 persen). Hal ini membuka kemungkinan bahwa apresiasi terhadap kinerja Presiden pada saat ini hampir mencapai proporsi dukungan para pemilih yang memiliki kedekatan emosional terhadapnya.

Khusus terhadap perekonomian, ada 41,7 persen responden menyatakan puas terhadap upaya pemerintah mengatasi perekonomian. Proporsi itu pun turun hingga 8 persen dibandingkan survei pada Januari 2015. Tingkat keyakinan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam mengatasi perekonomian pun menurun, dari 67,3 persen pada tiga bulan lalu, menjadi 61,1 persen.

Melemahnya apresiasi publik terhadap pemerintahan dapat pula dipandang dari sisi derajat kualitas persoalan yang dihadapi. Persoalan bangsa yang dihadapi pemerintah saat ini harus diakui tergolong rumit dan kompleks.

Secara eksternal, ada indikasi terjadi kelesuan ekonomi. Pada saat bersamaan, penopang jalannya perekonomian juga tidak sepenuhnya bebas dari persoalan. Masalah iklim dan lingkungan, seperti kemarau ekstrem serta masifnya kebakaran lahan dan asap, semakin memperlambat jalannya perekonomian. Dalam situasi semacam itu, masih juga terjadi tarik-menarik kekuatan politik internal yang berimplikasi pada jalannya pemerintahan.

Kecenderungan menurunnya apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah, secara tidak langsung juga berimbas pada citra presiden. Citra Jokowi cenderung mengalami penurunan, meskipun jika dilihat dari angkanya, masih relatif tinggi. Pada tiga bulan pertama pemerintahannya, citra positif Presiden Jokowi berada di angka 89,9 persen, namun dalam setahun citranya menurun menjadi 73,8 persen.

Konsolidasi politik memang tetap menjadi tumpuan bagi performa pemerintah, termasuk di mata publik.  Menurut Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan, pemerintah sudah mencapai titik kondusif untuk melanjutkan pembangunan. Selain sudah ada dukungan dan sikap bersahabat dari parlemen dan partai politik, Jokowi-JK juga sudah memahami masalah yang dihadapi berikut jalan keluarnya. “Relasi yang selama ini dibangun Presiden sudah menunjukkan hasil,” kata Luhut.

Hasil survei lain, yakni yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) juga menunjukkan hal yang lebih kurang sama: publik belum puas. Meski demikian, publik masih menaruh kepercayaan terhadap Jokowi.

“Meski tingkat penerimaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi tidak tinggi, saat ini masyarakat belum memiliki calon pimpinan sebagai alternatif lain,” ujar Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan, dalam pemaparan hasil survei, 20 Oktober 2015.

Ada dua alasan yang mendasari kepercayaan publik tersebut. Pertama, publik masih menilai kelemahan pemerintah sebagai sesuatu yang wajar dalam tahun pertama pemerintahan. Kedua, publik masih memberi kepercayaan karena belum ada tokoh lain yang lebih dipercaya selain Jokowi. Masyarakat tetap memberikan kepercayaan pada Presiden, memberi ruang untuk bergerak lebih baik lagi.

Jika setahun pemerintahan Jokowi diperbandingkan dengan setahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terlihat bahwa kepuasan masyarakat terhadap Jokowi masih lebih rendah dibandingkan dengan rezim SBY.

Tingkat kepuasan masyarakat terhadap Jokowi hanya sebesar 51,7 persen (SMRC), sedangkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja setahun SBY sebesar 63 persen, baik di periode pertama maupun periode kedua.

SMRC menilik ada penyebab dari hal ini. Pada tahun pertama kepemimpinan SBY, kondisi ekonomi lebih baik di banding kondisi yang diwarisi Jokowi. Selain itu, ekspektasi publik terlalu tinggi atau sangat tinggi terhadap Jokowi.

Faktor yang paling penting adalah pilihan sikap tegas Jokowi mencabut subsidi BBM, yang berdampak langsung di masyarakat. Berbeda dengan SBY yang tidak menaikkan harga BBM bersubsidi pada masa awal pemerintahannya.

Sayangnya, survei-survei itu dilakukan sebelum Jokowi menempuh berbagai terobosan kebijakan ekonomi yang ditempuh menjelang usia setahun pemerintahan, yaitu sejak pertengahan September, melalui paket kebijakan ekonomi lima seri. Padahal kebijakan itu terbukti berhasil menguatkan Rupiah dan mengangkat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Apa Kata Dunia

Penilaian publik dalam negeri rupanya berbeda dari persepsi pihak luar. Setidaknya, sejumlah pemimpin dunia memuji pemerintahan Jokowi-JK atas kinerjanya dalam setahun memimpin.

Presiden AS Barack Obama, misalnya, melalui Juru Bicara Gedung Putih Josh Earnest, merasa terhormat menerima Jokowi yang melawat ke AS pada akhir Oktober 2015. Obama mengatakan sangat salut dan mengagumi sosok Jokowi. Bahkan Obama telah menduga kalau rupiah akan menguat dan menjadi yang paling kuat se-Asia. Hal tersebut ternyata benar dan menambah rasa kagum Obama pada Jokowi.

Obama mengaku terkejut dengan perkembangan ekonomi Indonesia yang berhasil menekuk dolar mencapai angka di Rp 13.200 per dolar AS. “Dia hebat, ini adalah prestasi paling besar Jokowi, bahkan prestasi terbesar Presiden manapun,” ungkap Earnest.

Sebelumnya, keberanian Jokowi mencabut subsidi BBM hanya beberapa bulan setelah terpilih sebagai presiden, mendapat pujian Direktur Operasional International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde.

“Saya terkesan dengan keputusan yang diambil Presiden Jokowi memotong subsidi dan membebaskan ruang fiskal yang sekarang bisa digunakan untuk kebutuhan lain,” kata Lagarde saat berkunjung ke Indonesia, 2 September 2015.

Sementara itu, Duta Besar Italia untuk Indonesia, Federico Failla,  mengatakan negerinya akan menanamkan modal di sektor infrastruktur di Indonesia. Alasannya, Jokowi mencerminkan sosok pemimpin yang dapat dipercaya, karena tidak mempunyai kepentingan dalam bekerja. Ia mengakui Indonesia saat ini sudah mulai ditakuti dunia karena perkembangannya yang cukup signifikan, dan rencana-rencana besar yang berani diambil Jokowi.

Senada dengan itu, Menteri Luar Negeri Denmark Kristian Jensen, mengakui Indonesia sekarang tak lagi seperti dulu. Di tangan Jokowi, katanya, Indonesia akan mampu bersaing dengan negara-negara maju di dunia.

Jensen menilai Indonesia sudah masuk dalam jajaran kekuatan ekonomi terbesar di Asia terutama di kawasan ASEAN, dipandang dari pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah kelas menengahnya. Atas dasar ini, Denmark ingin meningkatkan kerja sama bisnis dengan Indonesia.

Saat memberikan pemaparan kepada ratusan kepala daerah di Istana Negara, Rabu, 21 Oktober 2015, Presiden Jokowi secara khusus mencoba kembali meyakinkan kepala daerah untuk terus bekerja, karena situasi ekonomi saat ini jauh berbeda dibandingkan krisis yang terjadi pada tahun 1998 dulu.

“Sekarang kita lihat, keadaan ekonomi kita banyak yang khawatir, banyak yang ngomong kita krisis ekonomi. Bapak, Ibu, harus lihat angka. Kita ini kalau terima tamu, mereka acung jempol ke Indonesia. Saya ingin tunjukkan posisi angka, karena orang sering ditakuti dengan membandingkan 1998,” tutur Jokowi.

Jokowi membandingkan, berdasarkan prediksi Bank Indonesia (BI), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan ketiga akan meningkat menjadi 4,85 persen dibandingkan triwulan sebelumnya, yakni 4,67 persen. Sementara itu, pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai minus 13 persen.

Dilihat dari inflasi, inflasi 1998 mencapai 82 persen, sedangkan saat ini inflasi masih di bawah 5 persen. Berdasarkan perkiraan BI, hingga akhir 2015, inflasi terjaga di bawah 4 persen,  padahal tahun sebelumnya mencapai 8,5 persen.

Begitu juga dengan nilai tukar Rupiah. Pada 1998 mencapai Rp 16.600, melonjak dari sebelumnya masih berada di level Rp 2.000. “Pas saya masuk, rupiah ada di level Rp 12.500, sekarang sekitar Rp13.600, atau kenaikannya kurang lebih 8 persen. Ini 8 persen, dulu 800 persen!” Jokowi menegaskan.

Dari sisi kredit macet, jika pada 1998 non performing loan (NPL) mencapai 30 persen, maka saat ini hanya berkisar 2,6 persen-2,8 persen. “Jadi, Bapak, Ibu, tolong isu-isu di media sosial tidak terlalu ditanggapi. Katanya kita dalam keadaan krisis, krisis bagaimana? Inflasi 4,6 persen kok krisis? Jadi jangan ikut-ikut seperti itu. Kita harus menatap ke depan, optimis!” ucap Jokowi. (Pul)

Baca juga:

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 1)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 2)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 3)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 4)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 5)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 6)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 7)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 8)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 9)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 10)

Satu Tahun Nawacita Jokowi-JK (Bagian 11)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.