Jumat, 26 April 24

Revisi UU MD3 Untuk Siapa?

Revisi UU MD3 Untuk Siapa?

Obsessionnews.com – Pimpinan DPR RI akhirnya mengesahkan usulan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau dikenal sebagai UU MD3 menjadi inisiatif DPR. Pengesahan itu dilakukan dalam sidang paripurna DPR RI yang dipimpin oleh Wakil Ketua Fahri Hamzah.

“Apakah RUU Usul Inisiatif Anggota DPR RI tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjadi RUU Usul DPR RI dapat disetujui?” kata Fahri di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/1/2017). Pertanyaan ini kemudian diamini oleh sekitar 308 anggota dewan yang hadir.

Dalam sidang paripurna tersebut, masing-masing fraksi menyerahkan pandangannya dalam bentuk tertulis. Setelah resmi jadi usulan DPR, pembahasan RUU MD3 akan dilanjutkan di Badan Legislasi (Baleg). Salah satu yang akan dibahas adalah usulan PKB dan Gerindra untuk menambah satu kursi lagi pimpinan DPR/MPR selain jatah PDI-P.

DPR juga akan mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi. Setelah itu, RUU MD3 akan kembali dibahas oleh pemerintah dengan Badan Legislatif DPR. Pemerintah akan mengirim tim untuk membahas dengan Baleg sebelum difinalisasi.

“Nantinya, perwakilan pemerintah dan DPR akan melanjutkan pembahasan RUU MD3,” kata Fahri.

PDI-P mengusulkan revisi terbatas UU MD3 berkaitan dengan penambahan kursi pimpinan DPR/MPR. Sebagai partai pemenang pemilu legislatif 2014, PDI-P merasa layak mendapatkan kursi pimpinan MPR-DPR.

Belakangan, Partai Gerindra dan Partai PKB ikut bersuara dan meributkan kursi pimpinan DPR/MPR. Gerindra mewacanakan penambahan satu kursi pimpinan MPR, di luar jatah PDI-P. Sedangkan PKB menginginkan penambahan satu kursi pimpinan DPR, di luar jatah PDI-P. Jika wacana ini disetujui, jumlah kursi pimpinan DPR dan MPR masing-masing akan berjumlah tujuh orang.

Pendapat Pakar
Pakar politik Universitas Parahyangan Bandung, Prof Asep Warlan Yusuf mengatakan, rencana DPR mengebut revisi UU MD3 sama sekali tidak ‎membawa manfaat bagi rakyat. Revisi itu murni hanya kepentingan kekuasaan yaitu untuk mengakomodir PDI-P duduk di kursi pimpinan DPR dan MPR.

Karena itu, Asep sedikit menyesalkan rencana Dewan mengebut revisi itu, sampai-sampai waktu reses digunakan untuk membahasnya. Padahal, untuk undang-undang lain yang lebih penting dan berdampak langsung dengan kepentingan rakyat, Dewan suka mengulur-ulur waktu.

“Kalau revisi untuk meningkatkan produtivitas Dewan, kita akan mendukung. Tapi, kalau yang ini, yang hanya untuk kekuasaan, saya kira tidak ada urgensinya,” ucap Asep.

Asep merasa tidak ada yang fatal dalam aturan penentuan pimpinan DPR dan MPR yang ada dalam UU MD3 saat ini. Sebab, di negara-negara demokrasi di dunia, memang ada dua sistem yang digunakan. Ada yang memakai sistem pemilihan oleh internal anggota, ada juga yang berdasarkan perolehan suara di Pemilu.

‎Untuk yang berdasarkan perolehan suara Pemilu, terang Asep, biasanya dipakai oleh negara-negara yang menganut sistem parlementer. Inggris salah satunya. Ketua parlemen di Inggris biasa berasal dari partai pemenang Pemilu.

“Jadi, kalau kita akan pakai hasil suara di Pemilu, akan terasa parlementer,” imbuhnya.

Peneliti senior LIPI R Siti Zuhro menilai, keinginan DPR untuk merevisi kembali UU MD3 menunjukkan bahwa lembaga legislatif tersebut hanya menjadi perpanjangan tangan partai, ketimbang sebagai penyambung aspirasi rakyat.

“Ada kesenjangan antara dejure dan defacto, antara tugas pokok dan fungsi serta pelaksanaannya. Sebagai lembaga politik, DPR lebih menunjukkan sebagai perpanjangan tangan partai ketimbang mewakili rakyat,” ujar Siti.

Siti sangat menyayangkan usulan revisi UU MD3 justru didorong oleh ke pentingan golongan elite, bukan kepentingan publik yang lebih luas. Hal ini, kata dia, menunjukkan bahwa DPR belum bisa menampilkan diri sebagai lembaga negara yang kredibel.

“Law enforcement kurang hadir, sehingga DPR belum bisa dijadikan role model dan rujukan sebagai institusi yang berkualitas,” kata Siti.

Karenanya, sambung dia, tak heran jika dewasa ini aspirasi rakyat kerap diabaikan. Usulan untuk merevisi UU MD3 menguat setelah Setya Novanto kembali menduduki jabatan sebagai Ketua DPR. Usulan tersebut datang dari fraksi PDI-P yang ingin menambah jumlah kursi pimpinan DPR agar partai berlam bang ban teng itu bisa mendapat jatah jabatan pimpinan DPR.

Siti Zuhro memprediksi keinginan PDI-P untuk mendapat jatah kursi pimpinan DPR relatif bebas hambatan. Hal ini karena partai yang memenangi pemilu legislatif 2014 tersebut telah memberikan dukungan kepada Setya Novanto untuk kembali men duduki jabatan ketua DPR.

Pengamat Politik dari Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago berpandangan bahwa wacana revisi UU MD3 terkait penambahan kursi pimpinan dewan seperti yang disuarakan fraksi PDI-P jelas tidak tepat dan beralasan.

“Revisi dan pembahasan RUU MD3 terbatas hanya dalam rangka penambahan pimpinan dewan jelas tidak tepat dan tidak beralasan,” kata Pangi.

Masih kata Pangi yang akrab disapa Ipang itu, revisi yang hanya sebatas untuk mengakomodir kepentingan sesaat partai politik tertentu saja justru berdampak negatif ke lembaga legislayif nantinya.

“Semakin memperburuk citra DPR di mata masyarakat, semakin dis-trust hanya sibuk dengan bagi bagi kekuasaan dan sibuk dengan dirinya sendiri, rakyat bisa ngak respek dengan ulah dan lagu lama DPR hanya semangat dan fokus kalau untuk menguntungkan individu anggota DPR,” papar dia.

“Mirisnya dan sangat disayangkan belakangan ini, sebagian anggota DPR sangat rajin dengan tugas tugas elegal dan malas pada aktifitas dan tugas pokok seperti sidang paripurna dan seterusnya,” tambah dosen UIN Syarif Hidayatullah itu.

Penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR dinilai dapat membuat pemerintah bekerja lebih tenang. Namun, hal itu tidak menjamin adanya perbaikan kinerja lembaga dewan.

Posisi pimpinan DPR-MPR jadi sesuatu yang ‘seksi’ di mata parpol. Sekilas, posisinya kurang strategis karena hanya sebagai Juru Bicara Parlemen, bukan membawahi anggota-anggota dewan lainnya. Namun, representasi pimpinan DPR tetap dipandang sebagai rekan setingkat dengan Presiden, yang dianggap bisa menentukan arah pemerintahan.

“Terutama eksekutif, merasa pimpinan DPR itu penting sekali yang bisa seirama. Karena kalau tidak seirama akan selalu menimbulkan konflik atau bisa juga perjalanan roda pemerintah terganggu,” jelas Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang.

Sebastian menyayangkan cara-cara yang digunakan di DPR dalam proses perombakan pimpinan DPR ini. Harmonisasi UU MD3 di Badan legislasi DPR jelas memperlihatkan adanya kepentingan yang bersilangan antarparpol.

Misalnya, saat itu Golkar berkepentingan agar Novanto, kembali ke kursi Ketua DPR. PDIP kemudian memanfaatkannya agar dapat memperolah posisi Wakil Ketua DPR-MPR. Sementara itu, PKS pun mengambil manfaatnya dengan meminta kembali kursi pimpinan MKD.

“Karena itu kita tidak berharap banyak perubahan itu akan membawa perubahan lebih baik. Ini perubahan (UU MD3) suka-suka, untuk akomodasi kepentingan mereka saja,” ucap Sebastian.

Selain soal kepentingan-kepentingan partai mendapatkan kursi. Adapula suara-suara yang meminta pengembalian ke komposisi pimpinan ke sistem proporsional (berdasarkan perolehan suara di pemilu), dan ada yang ingin tetap sistem paket pimpinan. Hasilnya, penambahan pimpinan DPR-MPR bagi PDIP itu merupakan jalan tengah dari berbagai kepentingan itu.

“Jadi bongkar bolak-balik (UU MD3) semata untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Karena peta politik berubah, UU itu diubah lagi untuk memenuhi kepenitingan koalisi mayoritas. Memang pintu masuknya ketika Novanto kembali lagi (ke kursi Ketua DPR),” jelas Sebastian.

Relevansi dalam meningkatkan fungsi dan kinerja parlemen tidak memiliki pengaruh apapun yang signifikan. Merevisi UU MD3 pun, apalagi hanya menambah wakil ketua DPR untuk PDI-P, dinilai tidak akan berpangaruh apa-apa tehadap kinerja parlemen.

Analis Politik POINT Indonesia, Arif Nurul Imam mengatakan, langkah revisi UU MD3 ini sekadar bagi-bagi kekuasaan, menjalankan politik akomodasi untuk memberi jatah kursi PDI-P.

PDI-P sebagai pemenang Pemilu 2014 lalu, kata Arief, merasa berhak atas jatah kursi pimpinan DPR dan MPR. Tetapi akibat terjadi perubahan UU MD3 yang mengubah metode pemilihan pimpinan menjadi sistem paket sehingga PDIP sebagai partai pemenang pemilu tidak otomatis mendapat posisi Ketua DPR.

“Tantangan DPR saat ini adalah bagaimana meningkatkan kepercayaan publik dengan menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal, bukan justru sekadar bagi-bagi kekuasaan. DPR mesti menerapkan politik kinerja, bukan politik akomodasi,” ujarnya. (Has)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.