Melalui Tatib DPR Bisa Mengevaluasi Pejabat, Ray Rangkuti: Ada-ada Saja…

Melalui Tatib DPR Bisa Mengevaluasi Pejabat, Ray Rangkuti: Ada-ada Saja…
Pengesahan Tatib DPR yang membolehkan DPR mengevaluasi pejabat dianggap berlebihan. (Ilustrasi/R Arjuna Asa/OMG)

 

Obsessionnews.com - Pengesahan revisi peraturan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) DPR dalam rapat paripurna pada Selasa (4/2), membuka ruang bagi parlemen untuk mengevaluasi pejabat yang telah ditetapkan dalam paripurna. Praktik ini tak lazim dalam negara presidensil dan DPR menjadi lembaga yang superior. Ada-ada saja…

 

Pengamat politik Ray Rangkuti mengaku heran mengapa pengangkatan pejabat negara yang diatur undang-undang (UU) bisa dibatalkan hanya berdasarkan aturan  Tatib DPR. Dia mengangkat ketentuan tersebut membuat praktik bernegara menjadi acak kadut. 

Baca Juga:
100 Hari Pemerintahan Prabowo, DPR Minta Evaluasi

“Seleksi dan pemilihan pejabat negaranya diatur melalui UU, mencopotnya cukup diatur oleh Tatib DPR. Sejak kapan tatib DPR mengikat pihak di luar apalagi bersifat perintah? Tatib DPR itu sejatinya hanya mengikat anggota DPR. Namanya saja Tatib DPR. Bukan tatib bernegara. Ada-ada saja,” kata Ray, di Jakarta, Rabu (5/2).

 

Ketentuan DPR mengevaluasi pejabat secara berkala diatur dalam Pasal 228A. Artinya, DPR bisa mengevaluasi pejabat-pejabat yang telah dinyatakan lolos uji kelayakan dan kepatutan di DPR misalnya, hakim konstitusi, hakim agung, pimpinan KPK, Kapolri, Panglima TNI, Komisioner BPK, duta besar dan lainnya.

Baca Juga:
Sikap Ngotot DPR Susun Tatib yang Baru, Patut Dipertanyakan

Ray mengingatkan bahwa DPR memiliki tiga fungsi yang diatur dalam UU No 17/2014 yakni membahas UU (legislasi), mengawasi pelaksanaan UU dan menetapkan anggaran. Tak ada ruang bagi DPR untuk mengajukan pemberhentian pejabat negara sebagai putusan yang mengikat.

 

Selain itu, Ray mengingatkan bahwa keputusan DPR selain legislasi bersifat politik. Pada bidang pengawasan misalnya, keputusan DPR sebatas rekomendasi untuk presiden yang bisa dilaksanakan atau diabaikan. Contoh konkret dari hal ini bisa dilihat dari kasus Rini Soemarno ketika menjabat Menteri BUMN.

 

“Karena sifatnya politis tentu DPR hanya dapat melakukan langkah politik bila misalnya presiden mengabaikan putusan yang dimaksud. Kasus ini, pernah terjadi di era kepemimpinan Jokowi. DPR meminta presiden mencopot Rini Sumarno karena dianggap mengabaikan DPR. Tapi presiden mengabaikan permintaan itu. Rini tetap bersama kabinet Jokowi bahkan hampir selama 5 tahun,” kata dia. (Erwin)