Refleksi Akhir Tahun: Elite Cengkram Demokrasi

Refleksi Akhir Tahun: Elite Cengkram Demokrasi
Demokrasi Indonesia berada dalam cengkraman elite. (Ilustrasi/Freepik)

 

 

Obsessionnews.com - Hajatan besar berupa pemilu dan pilkada yang berlangsung pada 2024 hanya menjadi santapan elite. Sebab pesta yang sejatinya milik rakyat dilaksanakan jauh dari makna substansial, karena demokrasi kita sudah dicengkeram elite. Tak heran, indeks demokrasi Indonesia melorot secara konstan menurut banyak laporan.

 

Sebagai tahun politik, 2024 menyisakan banyak cerita. Bahkan ada yang menyatakan Pemilu 2024 menjadi yang terburuk sepanjang sejarah. Pelaksanaan Pilkada Serentak, tak mampu memperbaiki malah nyaris membunuh demokrasi dengan cara lancung partai-partai membegal putusan MK.

Baca Juga:
Demokrasi Mahal Bukan Alasan Mengganti Sistem Pilkada Langsung

Profesor Riset BRIN Lili Romli menilai keberhasilan Indonesia menggelar pemilu dilanjutkan dengan pilkada secara prosedural patut diapresiasi. Terlebih, Pemilu 2024 menjadi yang terbesar di dunia. Celakanya, kesuksesan tersebut tak tersirat dalam kualitas pelaksanaan pemilu.

 

Romli mengingatkan untuk kali pertama dalam reformasi, pemilu diwarnai aksi cawe-cawe secara telanjang. Lonceng darurat demokrasi berdenting ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat usia minimum peserta pilpres untuk memberi jalan Gibran Rakabuming maju kontestasi.

Baca Juga:
Sejarah Mencatat, Etika Politik Jokowi Tak Lazim dan Mencoreng Demokrasi

Jokowi selaku Presiden RI sekaligus ayahanda Gibran aktif memberi bansos sebagai kampanye terselubung. Keberpihakan Jokowi, politik dinasti dan akal bulus mengakali konstitusi membuat Pemilu 2024 kehilangan makna fundamentalnya. Belakangan Freedom House menempatkan indeks demokrasi menjadi 57 pada 2024, atau turun dari nilai 62 pada 2019.

 

“Di balik suksesnya penyelenggaraan pemilu terjadi penurunan kualitas sehingga mencederai dan melukai demokrasi. Dari cawe-cawe Jokowi, dugaan mobilisasi bansos, politik uang, maraknya dinasti politik, dan intervensi kekuasaan membuat pemilu tercederai,”kata Romli kepada Obsessionnews, di Jakarta, Selasa (31/12).

Baca Juga:
Setelah Peringatan Darurat, Apa yang Harus Dilakukan Elite?

Buruknya kualitas demokrasi Indonesia juga dicatat V-Dem Democracy Index 2024. Mendiang ekonom Faisal Basri menyebut Indonesia melorot berada pada urutan 87 dengan skor 0,53. Kalah dari Timor Leste dan Papua Nugini. Kemunduran demokrasi ini juga sudah terbaca dari 2023, karena Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-56 dengan skor 6,53 atau turun dua tingkat dari tahun sebelumnya.

 

Melorotnya demokrasi tak lepas dari peran elite. Mereka yang kini berkuasa lahir dari kondisi demokrasi yang buruk. Peluang untuk memperbaiki masih terbuka. Romli menyebut Bawaslu perlu diperkuat sebagai lembaga pengawas. Celah-celah dalam UU Pemilu dan Pilkada perlu ditutup. Sialnya, untuk memperbaiki kondisi dibutuhkan kesadaran elite.

Baca Juga:

Demokrasi Indonesia dan Ironi Kotak Kosong

“Semua persoalan tersebut harus menjadi pelajaran berharga jangan sampai terulang kembali pada pemilu mendatang. Untuk itu, peran Bawaslu harus diperkuat, bolong-bolong dalam UU Pemilu dan Pilkada harus diperbaiki, dan elite politik memiliki komitmen untuk memperkuat demokrasi, bukan memperlemah,”kata Romli. (Erwin)