Demokrasi Indonesia dan Ironi Kotak Kosong

Obsessionnews.com – Pelaksanaan demokrasi Indonesia menimbulkan ironi melihat masih adanya wilayah yang memunculkan calon tunggal melawan kotak kosong pada Pilkada Serentak 2024. Peneliti BRIN Siti Zuhro mendorong perlunya koreksi terhadap sistem multipartai yang berlaku sekarang ini.
Dia menilai janggal kalau Indonesia dengan sistem multipartai malah melahirkan koalisi gemuk. Partai-partai seperti tidak percaya diri mengusung kader untuk berkontestasi. Lebih menyedihkan lagi, partai-partai merasa semua baik-baik saja.
Baca juga: Pilkada 2024, KPU Jangan Sediakan Kotak Kosong di TPS
“Partai politik sedang kehilangan kedaulatannya dan kehilangan otonominya. Tidak percaya diri dalam mempromosikan kadernya. Mereka juga tidak merasa bersalah, malahan fine-fine saja,” kata Siti di Jakarta, Kamis (12/9).
Perempuan yang akrab disapa Wiwiek menjadikan Pilgub Jatim dan Jakarta sebagai contoh. Dia mempertanyakan mengapa banyak partai bergabung mengusung Khofifah Indar Parawansa dan Ridwan Kamil.
Dia menganggap kondisi yang terjadi sekarang ini merupakan dampak dari pelaksanaan pemilu serentak yang berlanjut dengan pilkada serentak. Situasi sekerang bakal lebih buruk kalau Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 tidak mengoreksi ambang batas mengusung calon kepala daerah.
“Putusan MK soal ambang batas itu sebenarnya melegakan dan mengurangi calon tunggal meskipun masih ada sekitar 40-an yang melawan kotak kosong. Saya pastikan jumlahnya akan melonjak tajam kalau tidak ada amar putusan tersebut,” tuturnya.
Baca juga: Kader Internal bukan Pilihan
Pilkada 2024 menyisakan 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon yang terdiri atas satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota. Dia menganggap situasi ini menjadi ironi sekaligus menjadi anomali dalam demokrasi Indonesia yang multipartai.
“Masak sih orang bernyawa harus disandingkan melawan kotak kosong yang tidak bernyawa. Ini pelecehan betul, menangnya tidak enak, kalah pun tidak enak. Ini yang harus kita benahi,” katanya.
Dirinya menganggap adanya calon tunggal membawa ancaman serius terhadap pelaksanaan demokrasi. Sebab, membawa kecenderungan untuk aklamasi dalam kontestasi dan tidak memberikan edukasi kepada publik.
Baca juga: Etika Pancasila dan Pagar Demokrasi
Dikatakan pula bahwa keberadaan sistem multipartai seperti sekarang perlu ditinjau ulang dan dilakukan penyederhanaan.
“Kita harus mendorong perbaikan paket Undang-Undang (UU) Politik karena mungkin usianya sudah sangat tua, sementara sekarang banyak perubahan yang sifatnya sangat mendasar. Perlu diadopsi atau direspons partai politik dan dipayungi undang-undang,” tambahnya.
Paket UU Politik saat ini perlu dilakukan reformasi total, agar demokrasi Indonesia lebih substantif, bukan demokrasi prosedural, melainkan dengan merevisi UU Parpol, UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), UU Pemilu, dan UU Pilkada.
“Kita ini mau take off menjadi negara yang kokoh, Indonesia Emas 2045. Maka, harus dimulai sekarang agar kita tidak gagal sehingga perlu ada kompetisi. Akan tetapi, kompetisi sekarang ini kelihatan hambar,” ucapnya. (Antara/Erwin)