Puluhan Prajurit Ikut Pilkada 2024, Apa Sikap Panglima TNI?

Obsessionnews.com - Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menjamin netralitas jajaran pada Pilkada 2024 yang digelar serentak. Keterlibatan 35 prajurit dalam pesta demokrasi daerah tidak menyeret institusi atau personel cawe-cawe.
Panglima mengungkapkan sebanyak 35 prajurit yang ikut pilkada terdiri atas perwira aktif dan purnawirawan. Rinciannya 16 perwira tinggi, 16 perwira menengah, 2 perwira pertama, dan 1 orang tamtama. Perwira aktif yang maju sebagai kepala daerah sudah mundur dari kesatuan.
Baca Juga:
Anggota TNI-Polri Tak Netral, Pidana Menanti
"Ini penting saya sampaikan karena telah menjadi komitmen TNI terkait netralitas dalam pilkada," kata Panglima TNI dalam rapat kerja dengan Menteri Pertahanan RI dan Panglima TNI beserta KSAD, KSAL, dan KSAU di Komisi I DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/11).
Menhan Sjafrie Sjamsoeddin juga menegaskan hal itu. Dia menegaskan bahwa Kementerian Pertahanan dan TNI memegang teguh prinsip netralitas untuk mendukung pelaksanaan Pilkada 2024.
Jenderal Agus melanjutkan, TNI mendukung penuh KPU selaku penyelenggara negara untuk menyukseskan Pilkada 2024. TNI juga bekerja sama dengan Bawaslu untuk memetakan wilayah rawan.
Baca Juga:
Jemput Bola Akta Kelahiran, Kemendagri Gandeng TNI
"Pilkada serentak memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibanding pilpres," kata Jenderal Agus.
Selama proses pelaksanaan, KPU mendukung KPU dalam distribusi logistik ke wilayah terluar, terdalam, terpencil dan tersulit. Selama tahapan yang dimulai sejak akhir Agustus hingga akhir Desember 2024, TNI juga mendukung pengamanan oleh Polri.
Berdasarkan hasil pemetaan, terdapat 4 provinsi dengan tingkat kerawanan tinggi. 23 provinsi masuk dalam tingkat kerawanan sedang dan 10 provinsi masuk kategori kerawanan rendah.
Tingkat kerawanan dipicu dalam tiga kategori yakni politik, sosial-budaya dan keamanan dalam negeri. Dalam konteks politik kericuhan bisa disebabkan karena kontestasi yang memicu gesekan antar pendukung.
Kerawanan ini berujung pada protes besar-besaran yang dipicu adanya klaim terhadap hasil pemilu atau sebaliknya, protes terhadap hasil penghitungan suara. Sedangkan dalam konteks sosial-budaya, kericuhan bisa disebabkan kekhawatiran masyarakat yang tidak bisa menyalurkan hak suara.
Panglima menyebut, kerawanan dalam konteks sos-bud terjadi pada daerah yang memiliki keterbatasan sarana angkutan, atau medan tak mudah untuk ditembus. Lantaran terlambat menyalurkan logistik, masyarakat merasa hak suaranya terancam.
Dalam kategori kemanan dalam negeri, panglima menyebut kerawanan dipicu dari upaya kelompok yang ingin menyabotase atau mengintimidasi agar pilkada gagal. Bisa juga sistem keterwakilan seperti noken di Papua yang potensi menjadi sumber kerawanan.
Sekalipun begitu, Panglima meminta penegakkan hukum terhadap pelaksanaan pilkada perlu menjadi perhatian serius. Penegakkan hukum bisa meredam potensi konflik. Penegakkan hukum yang dimaksud seperti menindak politik uang atau kampanye hitam.
"Penegakan hukum yang tegas, money politics, kampanye hitam dan manipulasi hasil suara," kata Panglima. (Erwin)