Kok Narasi Polisi Justru Sudutkan Korban?

Oleh: Ahmad Khozinudin, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
“Kami tidak tahu karena memang kegiatan di dalam juga apa kami tak tahu, karena tak ada pemberitahuan ke Polsek atau Polres terkait kegiatan. Pada hari ini kami lebih fokus pada pengamanan kegiatan unras yang dilakukan Aliansi Cinta Tanah Air yang ada di Grand Kemang gerbang depan,” [Kapolsek Mampang Prapatan, Kompol Edy Purwanto mengatakan]
Memang, kita bukan sedang berada di negara hukum. Kita sedang berada di negara kekuasaan, di mana hukum bukan lagi menjadi panglima. Tapi, kekuasaanlah yang jumawa.
Peristiwa Kemang itu peristiwa pencederaan hak konstitusi rakyat untuk menyampaikan pendapat. Persekusi dan pembungkaman kebebasan menyampaikan pendapat. Modusnya dengan menggerakkan preman ‘bayaran’ untuk membuat onar, melakukan pengrusakan, kekerasan, ancaman dan intimidasi.
Langkah yang diambil polisi itu yang pertama harusnya berempati kepada korban. Forum Tanah Air (FTA), Din Samsudin, Refly Harun, Hersubeno Arief, Said Didu, dan lain-lain, itu korban. Mereka korban persekusi, korban pembungkaman, kenapa malah disalahkan?
Statemen Kapolsek Mampang Prapatan yang menyebut acara FTA tidak mengajukan pemberitahuan, itu implisit menyalahkan. Seolah memberikan permakluman atas kejahatan yang dilakukan preman pada acara diskusi dan seolah melegitimasi aparat yang diam dan tidak mengambil tindakan.
Tanpa diberitahu polisi sudah tahu di dalam gedung hotel ada acara diskusi. Para pengunjuk rasa di luar hotel ‘memaki maki’ narasumber yang hadir di dalam diskusi melalui orasi dan poster. Jadi dalih saja polisi tidak tahu di dalam hotel ada acara diskusi.
Lagi pula kejahatan yang dilakukan preman itu terjadi di depan hidung polisi. Tak terlihat ada upaya serius untuk menghalangi atau mencegah. Preman bayaran secara kasar dengan leluasa mengobrak-abrik panggung.
Kalau dikatakan peserta aksi unjuk rasa berbeda dengan preman yang melakukan penyerangan arena diskusi, dari mana dasarnya? Sampai sekarang polisi belum menangkap pelaku perusak, penganiaya, pengancam dan pengintimidasi diskusi. Lalu dari mana keterangan Kapolsek yang menyatakan itu preman kelompok yang berbeda dengan peserta aksi demo?
Harusnya keterangan terkait substansi yakni siapa sebenarnya preman bayaran itu, baru bisa disampaikan setelah melakukan penangkapan dan BAP pada preman tersebut. Setelah preman diperiksa, dan mengaku kelompok yang berbeda dengan peserta unjuk rasa, baru polisi menyampaikan itu ke publik.
Wong belum ada penangkapan, bahkan belum juga dilakukan penyidikan, kok polisi secara prematur menyimpulkan itu preman kelompok yang berbeda? Apa tujuannya?
Semestinya dalam konferensi pers Kapolsek Mampang Prapatan lebih fokus menyampaikan rasa prihatin atas kejadian yang menimpa sejumlah tokoh dan berjanji untuk segera mengusut tuntas kasus. Bukan malah memframing dan menyalahkan acara diskusi, dengan dalih tak memberikan pemberitahuan.
Acara dalam hotel bukanlah acara yang wajib memberitahu polisi. Karena tidak mengganggu kepentingan publik. Berbeda dengan unjuk rasa, yang dilakukan di jalanan atau didepan gedung publik, harus ada pemberitahuan agar ada pengamanan publik dari polisi termasuk untuk mengatur lalu lintas yang terdampak.
Sejak kapan diskusi di dalam ranah privat hotel, bagi undangan tertentu harus memberitahu polisi? Lagi pula kalaupun tidak memberikan pemberitahuan, apakah hal itu menjadi layak untuk melegitimasi tindakan polisi yang membiarkan kejahatan terjadi didepan hidungnya?
Acara diskusi FTA sah, sepanjang sudah diizinkan pihak hotel. Pihak hotel akan memberikan izin, kalau panitia mengajukan pemesanan dan pembayaran sewa hotel. Tak perlu syarat pemberitahuan ke polisi.
Yang paling menyakitkan, isu sensitif terkait hak konstitusi kebebasan berpendapat yang dilakukan oleh sejumlah tokoh nasional hanya ditanggapi oleh institusi polisi melalui Kapolsek. Seolah polisi ingin mengerdilkan tokoh yang hadir dan isu konstitusi dianggap kejahatan biasa seperti kasus curanmor yang cukup ditanggapi oleh polisi sekelas Polsek. []