Jelang Lengser, Rezim Mulyono Makin Brutal Berangus Kebebasan Sipil

Jelang Lengser, Rezim Mulyono Makin Brutal Berangus Kebebasan Sipil
* Ahmad Khozinudin. (Foto: Arif RH/obsessionnews.com)

[Catatan Hukum Pemberangusan Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta]

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H., Advokat, Pemerhati Politik dan Kebangsaan 

Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” [Pasal 28E ayat 3 UUD 1945]

Jelang lengser 20 Oktober 2024, kepemimpinan era rezim Jokowi (kini “populer” disebut Mulyono) makin brutal. Catatan kelam tentang pemberangusan kebebasan berpendapat yang merupakan hak konstitusional sepanjang 10 tahun memimpin, di penghujung periode kepemimpinan Mulyono malah makin ditegaskan.

Legacy brutalnya kekuasaan Jokowi terhadap hak konstitusional untuk kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, makin dikuatkan dengan tindakan sekelompok orang tak dikenal (OTK), yang mengintimidasi, merusak, bahkan menggangu hak konstitusional warga negara yang semestinya dilindungi oleh negara dan dijaga oleh aparat penegak hukum.

Peristiwa itu terjadi pada acara silaturahmi yang digelar oleh Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta, pada Sabtu pagi, 28 September 2024. Dalam video yang beredar, terlihat sekelompok orang bertindak anarkis memporakporandakan panggung, menyobek backdrop, mematahkan tiang microphone, dan mengancam para peserta yang baru hadir.

Acara ini pada awalnya dirancang sebagai dialog antara diaspora Indonesia di luar negeri dan sejumlah tokoh/aktivis nasional terkait isu kebangsaan dan kenegaraan. Beberapa tokoh yang hadir sebagai narasumber di antaranya adalah pakar hukum tata negara Refly Harun, Marwan Batubara, Said Didu, Din Syamsuddin, Rizal Fadhilah, Soenarko, serta Ketua dan Sekjen FTA, Tata Kesantra dan Ida N. Kusdianti.

Anehnya, aparat penegak hukum yang ada di lokasi tidak terlihat melakukan pengamanan. Kesannya tindakan itu dibiarkan oleh aparat polisi, bahkan ada dugaan bagian dari skenario yang direstui oleh aparat.

Dalam beberapa potongan video yang beredar, para perusuh justru terlihat bersalaman dengan polisi. Sejak awal polisi juga mengamankan demo para perusuh di depan hotel, yang berorasi tanpa ada tindakan pencegahan oleh polisi.

Padahal orasi di depan hotel terkategori tindakan demonstrasi yang wajib memberikan pemberitahuan kepada polisi. Pemberitahuan aksi di lokasi yang terdapat agenda diskusi, semestinya tidak boleh dilakukan.

Kemungkinannya hanya dua, yaitu:

Pertama, jika demo yang dilakukan para perusuh di depan Hotel Grand Kemang, Jakarta, itu telah memberikan pemberitahuan pada polisi dan polisi menerbitkan STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan), maka jelas ada skenario polisi yang diduga sengaja membenturkan elemen masyarakat yang menjalankan aksi dengan aspirasi yang berbeda.

Menurut Din Samsudin, orator para perusuh isinya mengkritik para narasumber yang ada dalam diskusi dan membela rezim Jokowi. Padahal hal ini tidak boleh dibiarkan.

Semestinya polisi tidak menerbitkan STTP untuk para perusuh, atau setidaknya jika menerbitkan STTP semestinya lokasi demo dialihkan. Tidak berada di satu tempat yang ada konsentrasi massa dengan aspirasi yang berbeda.

Kedua, jika demo yang dilakukan para perusuh itu tanpa memberikan pemberitahuan pada polisi dan polisi tidak menerbitkan STTP, maka demontrasi ini melanggar hukum. Polisi juga melakukan pelanggaran hukum karena melakukan pembiaran pada demo ilegal, bahkan melakukan pembiaran pada aksi kejahatan berupa tindakan anarkis memporakporandakan panggung, menyobek backdrop, mematahkan tiang microphone, dan mengancam para peserta yang baru hadir.

Baik polisi menerbitkan STTP atau tidak, polisi tetap bersalah. Karena telah melakukan pembiaran kejahatan para perusuh, tanpa melakukan tindakan pencegahan, bahkan ada yang tertangkap kamera terlihat bersalaman dengan para perusuh.

Dalam dimensi logika kekuasaan, polisi tidak mungkin mengambil sikap pasif atas terjadinya kejahatan di depan hidungnya, atau apalagi ikut memfasilitasi terjadinya kejahatan, tanpa ada peran kekuasan. Otoritas tertinggi di institusi Polri ada pada Kapolri, sementara Kapolri ada di bawah kendali otoritas politik yakni Presiden Jokowi.

Secara politik kasus kerusuhan itu tidak dapat dilepaskan dari makin brutalnya kekuasaan Jokowi pada kebebasan sipil rakyat, bermotif kecemasan dan ketakutan Jokowi yang luar biasa jelang kekuasaannya lengser pada 20 Oktober 2024.

Cara-cara primitif dengan mengerahkan Orang Tak Dikenal (OTK) untuk mengintimidasi rakyat ditempuh, setelah rezim ini gagal menakut-nakuti rakyat dengan instrumen hukum melalui lembaga kepolisian. Laporan polisi pendukung Jokowi terhadap aktivitas kritis rakyat, seperti yang dilakukan terhadap Roy Suryo yang membongkar akun Fufufafa terkait dengan Gibran, dirasa tidak memberikan dampak takut pada rakyat.

Apalagi proses hukum pada Roy Suryo adalah tindakan blunder. Karena tindakan ini, justru akan makin membongkar siapa sesungguhnya orang dibalik akun Fufufafa.

Sebenarnya fenomena kemarahan rakyat pada rezim Jokowi jelang lengser, sudah menjadi gejala umum.

Penulis sendiri pada Sabtu 21 September 2024 lalu juga mengumpulkan sejumlah advokat, tokoh, ulama dan aktivis nasional, berkumpul di Jakarta dengan tuntutan tegas: seret Jokowi ke penjara pasca lengser 20 Oktober 2024. []