Apakah Prabowo Mau Menolak Ekspor Pasir Jokowi ke Singapura?

Apakah Prabowo Mau Menolak Ekspor Pasir Jokowi ke Singapura?
* Prabowo Subianto. (Foto: FB Prabowo Subianto)

Oleh: Abdul Rohman Sukardi, Penulis Buku “Presiden Soeharto dan Visi Kenusantaraan”

Bukan pasir. Melainkan sedimen. Itulah strategi komunikasi publik Presiden Jokowi, ketika menjawab polemik dibukanya kembali izin ekspor pasir.

Izin itu didasarkan PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dikeluarkan Presiden Jokowi.

Ditindaklanjuti menperindag Zulfiki Hasan (Zulhas) melalui revisi Permendag 20/2024. Tentang Perubahan Kedua atas Permendag 22/2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor.

Zulhas juga merevisi Permendag Nomor 21 Tahun 2024. Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Kedua Permendag ini diundangkan di Jakarta pada 29 Agustus 2024 dan berlaku setelah 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diundangkan.

Sejumlah revisi Permendag itu menghidupkan kembali izin ekspor pasir setelah 17 tahun dihentikan permanen.

Tanggal 22 Januari 2007 yang lalu. Eskpor pasir dihentikan permanen. Setelah menuai gelombang protes. Atas kebijakan yang merugikan bangsa dan negara.

Menperindag menerbitkan SK No: 02/M-DAG/PER/1/2007 tentang Larangan Ekspor Pasir, Tanah dan Top Soil. Era SBY.

Kembali soal pilihan diksi Presiden Jokowi. Sepertinya publik hendak digiring pada persepsi: ada perbedaan risiko antara ekspor pasir dan sedimen. Ekspor pasir merugikan negara. Kalau ekspor sedimen tidak merugikan negara. Maka publik hendaknya menerima kebijakan itu.

Mungkin begitu motif di balik pilihan diksi antara sedimen dan pasir. Kita hanya bisa menduganya.

Terkait sejarah penghentian permanen ekspor pasir, buku “Presiden Soeharto dan Visi Kenusantaraan” halaman 5 s.d 12 mengungkapnya secara rinci kerugian ekspor pasir itu.

Pertama, merugikan secara ekonomi. AIDEnvironment-Kaliptra Sumatera-KITLV (The Netherlands) merilis hasil riset.

Bahwa 80 % s/d 85 % hasil reklamasi Singapura menggunakan pasir laut dari Riau Kepulauan. 60 % ekspor pasir laut dari Kepulauan Riau dengan nilai 100 sampai 250 juta dollar AS per tahun adalah illegal.

Apabila setelah tahun 2003 pencurian pasir laut terus berlangsung hingga selesainya proyek reklamasi, pasir laut Indonesia akan tergerus 167 juta meter kubik. Senilai 13,68 milyar dollar Singapura atau 76,608 triliun.

Nilai tersebut setara dengan penjualan aset aset seluruh BUMN selama 12 tahun paska reformasi.

Kedua, aneksasi terselubung atas wilayah NKRI.

Ketiga, memicu kerusakan lingkungan teramat parah.

Kita tidak bahas risiko pertama dan ketiga dalam tulisan singkat ini. Kita bahas bahaya kedua.

Indonesia-Singapura berbatasan dalam 3 segmen. Barat: utara Pulau Karimun. Tengah: middle segment. Timur: utara Pulau Bintan.

Berdasarkan kesepakatan kedua negara 25 Mei 1973, batas-batas tersebut baru bagian tengahnya saja yang telah disepakati.

Kesepakatan itu menggunakan metode median line (garis tengah) antar kedua negara.

Acuan penetapan batas negara bagi negara-negara pantai (_archipelgic state_) adalah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Berdasarkan konvensi tersebut yurisdiksi sebuah negara kepulauan seperti Indonesia adalah 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal pantai. Sebuah garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar atau garis pangkal normal yang merupakan representasi dari garis pantai ketika air surut terendah.

Mengingat jarak Singapura-Indonesia tidak lebih dari 2 kali 12 mil laut, penentuan batas-batasnya mengharuskan adanya delimitasi. Pasal 11 UNCLOS menjelaskan “untuk tujuan delimitasi laut teritorial, bagian terluar instalasi pelabuhan yang merupakan bagian integral dari pelabuhan dapat diperlakukan sebagai bagian dari pantai”.

Fakta itu menyebabkan proyek reklamasi pantai-pantai Singapura berpotensi menggeser garis pangkal Negara Singapura dan menyebabkan perubahan klaim maritim Singapura atas klaim maritim Indonesia.

Sejumlah data menunjukkan proyek reklamasi Singapura telah memperluas wilayah perairan Singapura menjorok 12 mil ke wilayah Indonesia.

Fakta-fakta itu menjadikan publik Indonesia waktu itu tersadar. Implikasi proyek reklamasi Singapura adalah aneksasi (pencaplokan wilayah) terselubung terhadap kedaulatan Negara RI.

Sebelum reklamasi, Singapura hanya memiliki wilayah daratan seluas 580 KM2. Pertengahan 2002 bertambah luasnya menjadi lebih dari 100 KM2.

DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) menyebutkan tahun 1991 luas wilayah Singapura mencapai 633 KM2. Bertambah menjadi 760 KM2 pada tahun 2001.

Berarti mengalami penambahan wilayah daratan seluas 20 % selama 10 tahun terakhir (1991-2002).

Proyek pasir curian itu menjelma menjadi daratan-daratan baru di Singapura seperti daratan Tuas, Jurong Island, Changi, Marina Bay, Pulau Tekong, Pulau Ubin dan Pelabuhan Pasir Panjang.

Itu tahun 2000-an awal. Sementara ekspor pasir dihentikan pada tahun 2007. Kini setelah 17 tahun dibuka kembali.

Ada implikasi lain dari sekadar kerugian material dan lingkungan. Ialah aneksasi kedaulatan wilayah. Jadi bukan soal pasir atau sedimen. Soal kedaulatan wilayah.

Apakah Jenderal Prabowo yang nasionalis dan saptamargais itu menyetujui aneksasi terselubung ini? Ia akan segera dilantik tidak lama lagi.

Kita akan saksikan bersama komitmen nasionalismenya untuk diuji.

Jakarta, 24 September 2024