Gratifikasi Kaesang Bisa Libatkan Gibran dan Jokowi ke Penjara?

Oleh: Ahmad Khozinudin, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Sah! Kaesang terima gratifikasi. Karena saat datang ke KPK, dia mengaku nebeng pesawat jet pribadi temannya. Artinya, fasilitas jet pribadi itu bukan miliknya, bukan membayar tiket atau sewa, melainkan nebeng (cuma-cuma).
Kalaupun KPK menyebut ada biaya ‘nebeng’ sebesar 90 juta, itu tetap saja masuk kategori gratifikasi. Karena sewa pesawat rute Jakarta Amerika, menurut info yang beredar itu lebih dari Rp3 miliar. Tidak realistis, jika Kaesang cuma bayar 90 juta.
Apalagi, jika dikembalikan pada terminologi nebeng, tentunya gratis. Nebeng adalah menumpang kendaraan milik orang lain secara cuma-cuma, bisa nebeng motor, nebeng mobil, atau nebeng sepeda. Nebeng pesawat, apalagi pesawat jet pribadi baru dikenal nomenklaturnya pada kasus Kaesang.
Sehingga Kaesang telah menerima gratifikasi (pemberian), baik dalam pengertian nebeng pesawat cuma cuma, atau nebeng pesawat dengan harga super murah. Keduanya tetap terkategori gratifikasi, yakni pemberian fasilitas tumpangan pesawat jet pribadi kepada Kaesang.
Tinggal dicek unsur ASN atau pejabat penyelenggara negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 12a, untuk menilai apakah Kaesang layak dipenjara minimum 4 tahun, maksimum 20 tahun, dan denda minimum 200 juta hingga 1 miliar.
Kaesang bukan ASN, bukan pejabat penyelenggara negara, hanya Ketum PSI. Jadi dia tidak bisa dikenakan pasal gratifikasi yang masuk kategori korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12a UU 31/1999 tentang Tipikor. Tapi, tunggu dulu.
Apakah tumpangan nebeng itu murni untuk Kaesang sebagai pribadi, atau karena Kaesang adalah adik pejabat penyelenggara negara dan anak pejabat penyelenggara negara? Dalam konteks kedudukan Kaesang dikaitkan dengan pejabat penyelenggara negara, Kaesang memiliki dua kedudukan sekaligus, yaitu:
Pertama, Kaesang berkedudukan sebagai adik pejabat penyelenggara Negara, yakni adik Gibran Rakabuming Raka selaku Pejabat Wali Kota Solo.
Kedua, Kaesang berkedudukan sebagai anak pejabat penyelenggara negara, yakni anak Jokowi selaku Presiden RI.
Karena itu, unsur gratifiksi tidak hanya ditujukan kepada Kaesang, melainkan juga kepada Gibran selaku pejabat penyelenggara negara Wali Kota Solo dan Jokowi selaku pejabat penyelenggara negara Presiden RI. Jadi, untuk mengejar unsur gratifikasi, dapat dikejar melalui motif pemberian tumpangan.
Apakah gratifikasi itu diberikan karena Kaesang adik Gibran selaku pejabat penyelenggara negara Wali Kota Solo?
Apakah gratifikasi itu diberikan karena Kaesang anak Jokowi selaku pejabat penyelenggara negara Presiden RI?
Tapi yang jelas, tumpangan pesawat itu tidak mungkin diberikan pada Ahmad Khozinudin, yang bukan adik Gibran, juga bukan anak Jokowi. Artinya, ada unsur keterkaitan antara gratifikasi yang diterima Kaesang dengan status Gibran dan Jokowi selaku pejabat penyelenggara negara.
Jika ternyata gratifikasi itu sebenarnya bukan untuk Kaesang, tetapi untuk Gibran dan Jokowi selaku pejabat penyelenggara negara, yang diberikan oleh pemberi gratifikasi melalui Kaesang, agar Gibran dan Jokowi tidak menjalankan tugas dan kewajibannya, maka tersangka penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12a UU Tipikor adalah Gibran dan Jokowi. Kaesang bisa dijerat dengan pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP karena terlibat dalam turut serta melakukan kejahatan sebagai perantara penerima gratifikasi.
Keuntungan apa yang diterima oleh pemberi gratifikasi? Tinggal diperiksa. Apakah prevelige bisnis, fasilitas bisnis, kemudahan bisnis, yang semestinya tidak diberikan karena bertentangan dengan kewajiban dan tugas Gibran dan Jokowi selaku pejabat penyelenggara negara. Hal ini bisa tuntas, kalau KPK mau menyidik kasusnya, karena penerimaan gratifikasi telah diakui diterima oleh Kaesang.
Kalau KPK mengusut kasus ini, maka Gibran, Jokowi dan Kaesang bisa diproses hukum dengan ancaman hukuman penjara karena kasus gratifikasi.
Ayo KPK, usut! Berani jujur itu hebat! []