Potret Bopeng Rekam Jejak MK

Oleh: Prof Dr Pierre Suteki SH MHum, UNDIP Para pegiat demokrasi dan HAM di negeri ini kini telah menggaungkan narasi bubarkan Mahkamah Konstitusi (MK). Mengapa? Mereka melihat MK bukan lagi sebagai penjaga konstitusi (constitution guardian)--alih-alih penjaga ideologi--tetapi telah berubah menjadi penjaga rezim dan oligarkinya, bahkan akronim MK telah diplesetkan dengan istilah Mahkamah Kalkulator (terkait Pemilu) dan Mahkamah Keluarga (terkait dengan syarat pencapresan). Banyak putusan MK yang dinilai merusak marwah dan orientasinya sebagai the guardian of constitution dan sekaligus ideologi yang sarat dengan tuntutan sebagai lembaga yang melampaui teks, saya memakai istilah 'dewanya' hukum. Putusan-putusan MK tersebut antara lain terkait dengan JR Perppu Ormas, PHPU 2019, JR UU Omnibus Law Ciptaker, JR UU Pemilu terkait dengan PT 20%, dan terakhir JR UU Pemilu terkait dengan syarat capres. Dalam hal JR PT 20%, para pegiat demokrasi dan HAM kecewa atas puluhan putusan MK yang menolak tuntutan pembatalan Pasal 222 UU Pemilu terkait dengan Presidential Threshold (PT) 20%. Putusan MK sangat klasik, konvensional dan cenderung menggunakan mantra hukum modern dengan dalil black letter law. Putusannya berputar dari tiga opsi kalau tidak (1) NO (Niet Ontvankelijke Verklaard yang merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil), (2) tidak punya legal standing dan satu lagi (3) alasan open legal policy. Atas ketidakpuasan terhadap putusan yang berulangkali sama tersebut, para pencari keadilan akhirnya tidak percaya kepada majelis hakim MK bahkan menuntut agar MK dibubarkan. Kita perlu prihatin karena terkesan MK telah kehilangan marwah. Marwah itu hilang karena para hakim MK bertindak seperti hakim biasa yang tidak mau bahkan takut melakukan terobosan hukum bahkan terkungkung oleh bunyi-bunyi mantra peraturan yang jika diterapkan tidak akan menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people). Hukum sering kali menjadi sebuah mantra ajaib dapat dipakai oleh penguasa sebagai sarana melanggengkan kekuasaannya (status quo). Mantra ini bisa mengoyak siapapun penghalang yang menghadang kekuasaan. Dengan dalih atas nama hukum semua mulut yang terbuka bisa dibungkam, tangan yang membentang bisa diringkus dan langkah kaki pun bisa dihentikan. Ini namanya hukum dipakai sebagai tameng kekuasaan yang biasa kita sebut sebagai alat legitimasi kekuasaan. Oleh Brian Z Tamanaha disebut sebagai THE THINNEST RULE OF LAW ( ROL). MANTRA ROL paling tipis ini akan lebih dahsyat lagi ketika diilhami oleh ideologi yang diklaim sebagai sosok mulia laksana berhala yang hendak disembah-sembah lantaran dianggap sebagai kalimah suci yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Ideologi suci dan mantra ROL telah berkolaborasi menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. Misi negara hukum kita pun bukan sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama BLACK LETTER LAW, namun lebih menuju pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill) dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam HUMAN RIGHT DIGNITY. Lompatan raksasa dari misi ROL yang tertinggi adalah tidak sekadar berorientasi pada legitimacy dan human right dignity tetapi pada misi untuk mewujudkan SOCIAL WELFARE. Ini yang disebut sebagai THE THICKEST ROL. Hal ini tentu tidak mungkin bisa dicapai ketika jalan menuju NEGARA HUKUM justru secara paksa dibelokkan (BIFURKASI) ke arah NEGARA KEKUASAAN. Jurang tengah menanti jatuhnya negara hukum ketika pilar-pilar negara hukum mulai dirobohkan oleh penguasa yang hendak melanggengkan dan mengokohkan tampuk kepemimpinannya. Banyak contoh yang dapat menjelaskan kasus ini, misalnya kasus pembubaran ormas yang juga sempat melibatkan MK terutama ketika dilakukan judicial review terhadap Perppu Ormas 2017. Pembubaran ormas yang tidak ditempuh melalui DUE PROCESS OF LAW nampaknya turut berkontribusi menggiring negara hukum itu ke bibir jurang negara kekuasaan itu. Inilah kalau hukum itu bersifat represif bukan responsif apalagi progresif. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bisa membaca hukum dengan moral (MORAL READING) ternyata sama dengan peradilan yang lainnya. Membaca hukum dengan kaca mata kuda. Mengagungkan cara berpikir secara automat mechanistic. Cara berpikir ini mengandalkan bunyi Undang-undang sehingga hakim seolah hanya menjadi corong atau mulut UU (la bouche de la loi). Padahal kita tahu, sesuai dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa: "HAKIM DAN HAKIM KONSTITUSI WAJIB MENGGALI, MENGIKUTI DAN MEMAHAMI NILAI-NILAI HUKUM DAN RASA KEADILAN DALAM MASYARAKAT". Ditambah aspek TRANSENDENTAL dalam IRAH-IRAHAN PUTUSAN HAKIM yang berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Apa arti semua ini? Hal ini sesungguhnya bermakna bahwa hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya berdasarkan bunyi-bunyi pasal UU melainkan diberikan hak untuk berinovasi dalam menyelesaikan perkara. Dan di sini lah tampak jelas bagaimana relasi antara negara dan agama dalam penegakan hukum di Indonesia. Berhukum Progresif berarti melakukan langkah progresif dengan melakukan RULE BREAKING melalui tiga cara:
- Menggunakan kecerdasan spiritual (spiritual quotien) utk tidak terkungkung dengan peraturan apabila penerapannya justru mendatangkan ketidakadilan;
- Lebih memilih pemaknaan yg dalam ketika menafsirkan suatu UU sehingga tidak terjebak pada makna gramatikal;
- Menjalankan hukum bukan hanya mengutamakan logika melainkan justru juga mempertimbangkan rasa keberpihakan terhadap orang lemah, miskin dan teraniaya yang dirangkum dalam istilah compassion.
- Braveness, keberanian untuk mengutamakan keadilan substantif.
- Vigilante, yakni jiwa pejuang, pejuang kebenaran dan keadilan.
- Honeste vivere ( jujurlah dalam kehidupanmu);
- Alterum non laedere ( janganlah merugikan orang lain di sekelilingmu);
- Suum cuique tribuere ( berikanlah kepada orang lain apa yang menjadi haknya).