Benarkah Anies Dijegal, tapi Selalu Gagal?

Oleh: Arief Sofiyanto, Wartawan Senior Opini publik terutama dari para pendukung bakal calon presiden (bacapres) Anies R Baswedan berseliweran di media sosial, grup WA dan media online yang menyebutkan bahwa Anies tak henti-hentinya dijegal tapi selalu gagal. Yang jelas, bacapres yang diusung tiga partai politik, yakni Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang bergabung dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) ini, saat tur keliling Indonesia terus mendapat sambutan besar dari massa simpatisan di mana-mana. Tampaknya setidaknya penilaian dari simpatisan Anies meyakini kalau mantan Gubernur DKI Jakarta ini telah mengalami penjegalan oleh "begal" politik sejak menjadi DKI-1 karena terlihat akan maju menjadi capres. Bahkan, semakin kentara Anies dijegal setelah dideklarasikan menjadi capres 2024. Layaknya jabatan Gubernur DKI yang dipegang Anies mesti berakhir hingga digelar pilkada usai Pemilu 2024. Namun, Anies dilengserkan sebelum pemilu oleh pemerintah pusat yang menggantinya dengan seorang Penjabat Gubernur. Diduga niatnya untuk memensiunkan Anies, tapi dampaknya harus memensiunkan ratusan kepala daerah bareng Anies agar ada alasan untuk skenario pensiun dini kepala daerah? Anies dikabarkan mengalami penjegalan bahkan sejak dia "dipensiunkan" dari jabatan Gubernur DKI Jakarta jauh sebelum dideklarasikan sebagai bacapres. Kubu rival/lawan politik Anies beranggapan bahwa dengan dilengserkannya Anies sebagai gubernur DKI maka reduplah karier politiknya sehingga bakal jadi "gelandangan" politik. Jika benar keinginan dan harapan untuk menyingkirkan Anies dengan modus semacam ini tentunya sangat menggembirakan kalangan musuh politiknya. Namun, tiba-tiba Anies yang sudah pensiun dari jabatan Gubernur DKI alias sebagai rakyat biasa, tiba-tiba Partai Nasdem yang dipimpin Surya Paloh menjadikan Anies sebagai bakal capres 2024. Maka, bak disambar geledek, rival/musuh politik Anies mengalami "kaget" politik sehingga membuat konstelasi politik menjadi semakin ricuh dan ribut. Situasi ini malah bisa membuat penjegalan dan pembegalan Anies semakin kencang. Maklum, Anies adalah bacapres yang disebut "anti oligarki" ternyata dukungan kepadanya melejit mengalir bak banjir bandang begitu keliling Indonesia. Bahkan bermunculan para relawan yang mendukung Anies tanpa dibayar dan tawaran apa pun. Sebagaimana penilaian para pengamat politik, Anies dinilai sebagai bacapres yang memiliki elektabilitas tinggi, kapasitas dan akseptabilitas (kualitas) terjamin, serta kredibilitas terpercaya. Kini, tiga partai politik pengusung Anies pun, diduga dikriminalisasi oleh pihak yang berkuasa, bahkan ada yang mencoba mengudetanya. Yakni Partai Demokrat mau dikudeta oleh sempalan kader senior partai besutan SBY itu dengan dipimpin Kepala Staf Istana Kepresidenan Moeldoko. Namun, kekuatan mantan Presiden SBY membuat kudeta yang dilakukan Moeldoko mengalami kesulitan. Apalagi putra SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), adalah yang menjadi Ketua Umum Partai Demokrat sehingga bapaknya pasti berjuang keras untuk membela partai berlambang mercy tersebut. Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung (MA) yang diajukan Moeldoko terkait kepengurusan Partai Demokrat dicurigai sebagai upaya menjegal Anies menjadi capres pada Pemilu 2024. Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menduga ada "cawe-cawe" Istana terkait manuver Moeldoko tersebut. Maklum, kalau Partai Demokrat berhasil diambil Moeldoko, maka Anies gugur alias terdepak karena kalau hanya diusung Nasdem dan PKS kurang dari presidential threshold (PT) atau ambang batas pencalonan presiden 20% yang menjadi persyaratan bagi seorang capres. Pemberitaan berlanjut bahwa Anies terus diserang oleh musuh politiknya. Para simpatisan dan relawan Anies pun menuding fitnah dan "serangan" bahkan narasi/diksi hoax terus dilontarkan kepada figur bacapres yang mantan Rektor Universitas Paramadina ini oleh "pasukan" lawan-lawan politiknya. Seperti diberitakan di media pula, karya-karya Anies saat menjadi gubernur DKI di Jakarta juga dicoba untuk dilenyapkan dengan harapan meredupkan popularitas Anies. Stadion Jakarta Internasional Stadiun (JIS) yang megah dan bertaraf internasional karya Anies saat menjadi Gubernur DKI pun mulai dijadikan "terdakwa". Rumput JIS yang tidak "berdosa" dipermasalahkan dan divonis "tidak standar" sehingga terancam diacak-acak atau dipreteli untuk diganti dengan rumput yang baru. Namun, Menteri BUMN Erick Tohir yang menjadi ketua umum PSSI membantah kalau pembongkaran rumput JIS ada kaitannya dengan politik. Ia menepis anggapan bahwa renovasi JIS kental dengan nuansa politik. Menurutnya, langkah perbaikan JIS semata-mata diambil demi meningkatkan kualitas stadion agar sesuai dengan standar FIFA. Berbagai cara yang dianggap untuk menjegal Anies tampaknya terus berlanjut tanpa henti. Awalnya, wacana tunda atau memundurkan pemilu juga cara efektif untuk menjegal Anies. Dengan pemilu diundur 2-3 tahun, Anies akan kehilangan momentum. Namun cara ini gagal karena PDIP sebagai partai pemenang pemilu menolak. Dengan menunda pemilu, para anggota DPR bisa menikmati perpanjangan jabatan. Tapi mengapa hal ini tidak berlaku bagi kepala daerah, yakni 271 kepala daerah harus berhenti karena masa jabatannya habis dan diganti penjabat, termasuk Gubernur DKI Anies. Gagal tunda pemilu, KPK pun bergerak. Prestasi Anies dengan suksesnya menggelar even Formula E juga mulai diotak-atik dan dipolitisasi ke ranah hukum? Kabar beredar Anies nyaris "dijadikan tersangka" dalam kasus Formula E. Gara-gara silang pendapat di kasus Formula E, pimpinan KPK dan para penyidiknya berantem hingga internal KPK gaduh. Terjadi pemecatan dan saling lapor di kepolisian. Sementara persoalan Formula E masih on, sewaktu-waktu bisa dipermasalahkan lagi. Hukum makin sulit dipisahkan dari politik. Majalah TEMPO dari awal telah mengurai perseteruan internal KPK terkait Formula E yang ingin dipaksakan. Padahal proyek Formula E di Ancol yang dikenal dunia dan untung Rp5,29 miliar meski cuma memakai uang APBD Rp560 miliar malah dikerdilkan dan dipermasalahkan. Sedangkan MotoGP Mandalika yang tercatat "rugi" malah didiamkan dan dibiarkan meski menelan duit rakyat Rp2,48 triliun dari APBN. Politisi Nasdem Peter F Gontha yang juga mantan Dubes RI untuk Polandia, menyoroti pemeriksaan Anies oleh KPK terkait dugaan korupsi Formula E. Gontha menyerukan untuk keadilan, kalau KPK mengusut kasus dugaan korupsi Formula E, maka KPK harus mengusut berbagai event olahraga lainnya yang digelar dan didukung pemerintah, termasuk ajang balap MotoGP Mandalika hingga Asian Games. Lembaga-lembaga survei yang diduga pesanan alias "wani piro" juga membuat hasil survei pilihan capres dengan menempatkan Anies di nomor urutan 3 alias nomor buncit. Tidak jelas kredibilitas lembaga surveinya. Kalau lembaga survei di luar negeri harus sebut asal dananya, dengan maksud agar tidak menjadi survei bayaran alias survei rekayasa. Yang menjadi aneh adalah urutan Anies ditaruh di nomor 3 atau urutan bawah tetapi ditakuti bahkan terus diserang dan dibully. Ada apa? Apakah Anies ditakuti karena pendukungnya semakin melonjak dahsyat dari hari ke hari? Kalau pikiran waras, mestinya capres yang ditakuti adalah di nomor urut atas versi lembaga survei. Konyolnya, sekarang ini Anies ditempatkan di urutan bawah tapi kenapa harus ditakuti sehingga harus dijegal? Tampaknya sudah menjadi rahasia umum bahwa survei "abal-abal" marak bermunculan menjelang Pemilu/Pilpres. Ada juga seorang pejabat diserang terus oleh publik karena kebijakan ekonomi, politik maupun hukum dinilai kontroversial dengan aspirasi rakyat. Tapi survei menyatakan lebih 90% masyarakat puas dengan kinerja sang pejabat tersebut. Serangan dan fitnah dari kubu lawan politik terhadap Anies makin menggila, meski bakal capres muslim ini sedang menunaikan ibadah haji. Kegiatan beribadah Anies pun difitnah. Pegiat media sosial Jhon Sitorus lewat akun Twitternya @miduk17 menebar hoaks soal Anies yang disebutnya berbohong telah naik haji atas undangan Kerajaan Arab Saudi. Bahkan Jhon Sitorus menyebarkan narasi 'Tukang Ngibul Naik Haji' yang disematkannya kepada sosok Anies lewat akun Twitternya. Padahal Anies benar-benar mendapat undangan dari Kerajaan Arab Saudi atau Raja Salman, untuk menunaikan ibadah haji. PKS pun telah banyak mendapatkan rayuan, bujukan, dan iming-iming dikasih jabatan oleh pihak tertentu. Tapi, PKS tidak tergiur, melainkan tetap istiqomah bersama Anies di Pilpres 2024. PKS tampak konsisten dengan jargonnya sebagai partai dakwah yang harus mengedepankan integritas di mata konstituen. Apalagi mayoritas konstituen PKS mendukung Anies. Hampir tidak mungkin PKS berpaling dari Anies. Kejadian terbaru adalah senam bersama Anies yang digelar PKS di Stadion Kota Bekasi, Sabtu (29/7/2023), dicabut izinnya oleh Plt Wali Kota Tri Adhianto yang juga politikus PDIP. DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kota Bekasi kecewa atas keputusan Plt Wali Kota tersebut mendadak mencabut izin penggunaan Stadion Patriot Candrabhaga untuk acara Senam Bareng Rakyat yang bakal dihadiri Anies. Awalnya pihaknya mengajukan izin penggunaan stadion kepada Pemkot Bekasi pada Selasa (25/7) dan izin itu pun diberikan Pemkot melalui surat pada Rabu (26/7). Namun, pada Jumat siang tiba-tiba pihak PKS menerima surat pencabutan izin penggunaan stadion dengan alasan ada pertandingan Liga 1 pada Sabtu malam. Pencabutan izin itu disampaikan melalui surat yang ditandatangani Plt Wali Kota Bekasi. Setelah izin dicabut mendadak, sang wali kota hanya meminta maaf kepada PKS Bekasi. Namun, senam bersama Anies tetap dilakukan dengan pindah di tempat lain oleh para simpatisan militan hingga massa meluber. Artinya, penjegalan kali ini pun setengah gagal. Pada akhirnya kini para pendukung Anies boleh bernafas lega. Karena hingga kini posisi Anies sebagai bacapres masih aman dan belum tergoyahkan. Artinya, penjegalan yang dilakukan rival politik Anies mengalami kegagalan. Terakhir Presiden Jokowi secara tidak langsung membantah adanya anggapan pihaknya melakukan penjegalan terhadap Anies. Buktinya, adanya pertemuan pada 17 Juli 2023 di Istana antara Presiden Jokowi dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh sebagai pionir pengusung Anies menjadi bacapres, telah membantah adanya anggapan bahwa Istana ikut "cawe-cawe" bersikeras menjegal Anies. Apalagi Presiden Jokowi sambil tersenyum menanyakan kepada Surya Paloh,"Siapa cawapres Anies?" Artinya, tidak ada ganjalan dari Presiden bagi Anies untuk menjadi capres. Memang tara cara dan etika demokrasi harus ditata ulang agar berjalan sesuai aturan dan terhindar dari jegal menjegal serta "premanisme" politik. Menuju NKRI sebagai negara yang menegakkan hukum dan demokrasi yang berkeadilan. (*)