Ini Pengertian Gharar dalam Akad Jual Beli

Jakarta, obsessionnews.com - Gharar atau al-Gharar secara bahasa berarti al-Mukhatharah (pertaruhan) dan al-Jahalah (ketidakjelasan), atau juga berarti resiko, tipuan, dan menjatuhkan diri atau harta ke jurang kebinasaan. LDP Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), Ustadz Dr. Muh. Ubaidillah Al Ghifary menjelaskan, secara istilah, jual beli Gharar adalah jual beli atau akad yang mengandung unsur penipuan, karena tidak adanya kejelasan suatu barang baik dari sisi harga, kualitas, kuantitas, maupun keberadaannya. Namun ada juga jual beli Gharar yang tidak ada kejelasan. "Jual beli gharar juga berarti jual beli yang tidak jelas kesudahannya, atau jual beli yang konsekuensinya antara ada dan tidak," ujar Ubaidillah dalam pengajian ekonomi ke 26 Parmusi yang bertemakan 'Gharar dalam Akad Jual Beli' yang digelar secara virtual, Sabtu (19/3/2022). Dia mencontohkan, penjual berkata, 'Aku jual barang yang ada di dalam kotak ini kepadamu dengan harga Rp100.000. Lalu penjual tidak menjelaskan isi kotak dan pembeli pun tidak tahu isi barang yang berada dalam kotak. "Akad di atas mengandung unsur untung rugi (spekulasi ). Bila salah satu mendapat keuntungan, maka pihak lain mengalami kerugian, inilah hakekat dari jual beli dengan cara Gharar," ucapnya. Untuk itu, dia menyarankan agar melakukan bisnis jual beli secara Gharar dengan benar. Sebab, ada hikmah larangan jual beli dengan cara Gharar, yakni yang pertama, menjaga harta orang lain dan memakannya dengan cara yang bathil "Yang ketiga, menghindari permusuhan dan perselisihan yang muncul akibat adanya pertaruhan dan penipuan," ujarnya. Lalu yang ketiga, agar tidak lupa mendirikan sholat dan dzikrullah serta menjaga keberkahan harta. Yang keempat, agar bisa konsentrasi pada hal-hal yang berguna dan tidak malas bekerja "Yang kelima, agar ekonomi sesorang, Negara dan bahkan dunia tidak hancur,," ungkap Ubaidillah. Selain itu, ada tiga ruang lingkup Gharar dalam jual beli, yaitu yang pertama, Gharar dalam akad, seperti dua akad jual beli dalam satu akad dan pembeli tidak menentukan pembeliannya. Kedua, Gharar dalam objek akad;baik pada barang dan harga. Bentuknya berbeda-beda, yakni fisik barang tidak jelas, sifat barang tidak jelas, ukuran barang tidak jelas, barang bukan milik penjual, barang yang telah dibeli penjual namun belum diterima dari penjual pertama, barang tidak dapat diserah terimakan, dan Gharar pada harga disebabkan penjual tidak dapat menentukan harga. Kemudian yang ketiga, Gharar pada jangka waktu pembayaran. Seperti penjual berkata, 'saya jual motor ini dengan harga Rp5 juta dibayar kapan Anda mampu'. "Jual beli ini tidak boleh dan dilarang oleh Nabi," ungkapnya. Kalau dilihat dari bentuknya, ada tiga bentu jual bel dengan cara Gharar, yaitu Gharar yang dilarang, diperbolehkan, dan diperselisihkan. Dia menjelaskan, Gharar yang dilarang Terbagian menjadi tiga, yaitu Gharar karena barangnya belum ada, Gharar karena barangnya tidak bisa diserahterimakan, seperti menjual budak yang kabur, burung di udara. "Yang ketida, Gharar karena ketidakjelasan pada barang, harga dan akad jual belinya," jelas Ubaidillah. Sedangkan bentuk Gharar yang diperbolehkan ada empat bagian, yaitu yang pertama, jika barang tersebut sebagai pelengkap. Yang kedua, jika Ghararnya sedikit. Ketiga, masyarakat memaklumi hal tersebut Karena dianggap sesuatu yang remeh. Yang keempat mereka memang membutuhkan transaksi tersebut, contohnya, menyewakan rumah selama sebulan;satu bulan kadang 28-31 hari, masuk toilet bayar 2000 padahal jumlah air yang dipakai beda, dan naik kereta api ke Jawa;jauh dekat sama bayarnya. Gharar yang diperselisihkan, yaitu Gharar yang masih diperselisihkan oleh ulama adalah Gharar yang berada di tengah-tengah antara yang diharamkan dan dibolehkan. "Mereka berbeda dalam menentukan apakah Ghararnya sedikit atau banyak, apakah dibutuhkan masyarakat atau tidak, apakah sebagai pelengkap atau barang inti," ungkap Ubaidillah. Seperti menjual wortel, kacang tanah, bawang, kentang, dan sejenisnya yang masih berada dalam tanah. "Sebagain ulama tidak membolehkannya seperti Imam Syafi’i. Sebagian yang lainnya membolehkannya seperti Imam Malik dan Ibnu Taimiyah," tuturnya. (Poy)