Pergeseran Sentra Geopolitik Bergeser Kembali ke Asia Tengah sebagai 'Heartland'

Pergeseran Sentra Geopolitik Bergeser Kembali ke Asia Tengah sebagai 'Heartland'
Jakarta, obsessionnews.com - Direktur Eksekutif Global Future Institute Dr Hendrajit menjadi pembicara dalam webinar yang bertajuk "Tata Dunia di Era Pandemi: Paradigma Geopolitik & Diplomasi Internasional", Minggu (5/9/2021). Selain Hendrajit webinar yang diselenggarakan Satu Pena pimpinan Denny JA ini juga menampilkan pembicara lainnya, yakni Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi Ph.D. Hendrajit menyampaikan presentasi makalah yang berjudul "Pergeseran Sentra Geopolitik Bergeser Kembali ke Asia Tengah Sebagai Daerah Jantung (Heartland)". Berikut ini pokok-pokok pemikiran Hendrajit dalam webinar tersebut: Sebelum kemunculan Taliban secara mengejutkan merebut kembali Afghanistan, hotspot persaingan global antara AS versus China dalam beberapa tahun terakhir berlangsung di Laut China Selatan, Asia Tenggara. Perubahan konstelasi dan konfigurasi Afghanistan, Asia Tengah sebagai hearland atau daerah jantung dunia, kembali menjadi hotspot pertarungan empat negara besar (AS, China, Rusia dan Iran). Halaman selanjutnya Sebagaimana tesis klasik geopolitik yang disampaikan Halford Mackinder: Barang siapa menguasai daerah jantung, yaitu lintasan penghubung antara Eropa dan Asia, maka akan menguasai dunia. Dan daerah jantung yang dimaksud Mackinder selain Timur-Tengah adalah Asia Tengah. Berdasarkan konteks pandangan geopolitik tersebut, maka Afghanistan memang punya nilai strategis secara geopolitik, kalau tidak mau dikatakan sebagai personifikasi kawasan Asia Tengah itu sendiri. Yaitu sebagai crossroad atau akses jalan penghubung antara Eropa dan Asia Luar biasanya lagi Afghanistan dari segi lokasi geografis merupakan rute perdagangan darat dan perlintasan Eropa dan Asia (Euro-Asia), serta terletak di Asia Selatan bagian barat laut, dekat dengan Asia Tengah dan Asia Barat yang kaya akan energi. Aspek lain yang tak kalah penting adalah wilayah perbatasan segi tiga, yaitu Tajikeztan, Afghanistan dan Iran (Afghanistan sebelah Timur), merupakan wilayah perbatasan segi tiga yang dipandang strategis, sehingga oleh negara-negara besar Afghanistan dipandang sebagai potensi ancaman bagi stabilitas keamanan kawasan. Selain itu yang tak kalah strategis adalah daerah perbatasan Afghanistan-Pakistan, Afghanistan-China, dan Afghanistan-Iran. Halaman selanjutnyaThe Great Game Negara-negara Adikuasa Pasca Kemenangan Taliban Sebelum Taliban merebut Kabul, ada tren global yang cukup penting namun sepertinya hanya ditangkap sebagai gejala tampak-luar yang tidak penting. Misalnya persekutuan China-Pakistan-Iran-Rusia  yang semakin mengkristal dan solid baik di Timur-Tengah maupun Asia Selatan dan Asia Tengah. Bukan saja semakin solidnya kerja sama strategis Pakistan-China di bidang ekonomi dan perdagangan. Melainkan meluas pada lingkup kerja sama yang berdampak terciptanya konektivitas geografis yang cukup strategis. Misalnya dengan dibangunnya akses jalur lintasan untuk jalur pipa gas dan minyak serta jaringan listrik. Seperti jalur pipa gas dari Afghanistan yang melintang dari Iran ke Cina. Selain itu ada juga pipa gas dari Turkmenistan, yaitu TAPI (Turkmenistan-Afghanistan-Pakisran-India), ada juga proyek infrastruktur CPEC (China-Pakistann Economic Corridor). Ada juga jaringan kabel listrik dari Tajikistan untuk Afghanistan dan Pakistan. Belum lagi transit route dari Pelabuhan Karachi, Gwadar dan Bandar Abbas ke Asia Tengah. Tren global skala kawasan ini dipandang seolah-olah fenomena kerjasama ekonomi bersifat jangka pendek dan pragmatis, tanpa disadari dampak efek dominonya ke depan. Bahwa kerja sama yang kian solid antara China dan Pakistan, pada perkembangannya bisa membawa implikasi geopolitik yang tak terduga di Afghanistan. Halaman selanjutnya Adapun dari segi lokasi geografis, Afghanistan terjepit di Utara oleh Republik Tajikistan, Uzbekistan, Turkmenistan dan Cina. Di Barat berbatasan dengan Iran;di Timur dan Selatan bertetangga dengan Pakistan. Dengan demikian Afghanistan terletak di persimpangan jalan antara Timur dan Barat, antara Eropa dan Asia, dalam arti lalu-lintas budaya maupun perdagangan. Satu catatan lagi terkait nilai strategis Afghanistan dari segi lokasi geografis adalah, di perbatasan Timur Laut terdapat celah Khyebar yang menghubungkan antara Afghanistan dan Pakistan. Di Utara terdapat celah Salang, gerbang yang menghubungkan Afghanistan dengan Tajikistan. Melalui gambaran konstelasi geopolitik yang demikian, maka konektivitas geografis Afghanistan dengan Pakistan di Timur dan Selatan, maupun dengan China di Utara, menciptakan dinamika Black Swan (peristiwa bersejarah yang tak terduga). Oleh sebab China dan Rusia sejak 2001 telah menandatangani kerja sama strategis di bawah payung  Shanghai Cooperation Organization (SCO), kerja sama strategis China_Rusia dalam skema SCO, sejatinya tidak saja terbatas pada lingkup ekonomi-perdagangan dan kontra terorisme, namun misi sesungguhnya adalah mengawal kawasan Asia Tengah yang tidak saja strategis sebagai lokasi sumber daya alam, melainkan juga sebagai lokasi geografisnya itu sendiri sebagai daerah jantung atau heartland. Maka itu, kemenangan Taliban Merebut Kabul, bisa menjadi katalisator terciptanya keseimbangan Kekuatan Internasional baru di Asia Selatan maupun Asia Tengah, yang senyatanya lebih menguntungkan poros China-Rusia-Iran dibandingkan poros AS-NATO. Halaman selanjutnyaKesimpulan Menyadari konstelasi dan konfigurasi global yang sepertinya mengarah pada terciptanya pergeseran sentra geopolitik kembali ke Asia Tengah sebagai daerah jantung atau World Island, Indonesia selain harus semakin imajinatif menjabarkan konsepsi Politik Luar Negeri yang Bebas dan Aktif sesuai tantangan zaman, pun juga harus semakin mempertimbangkan input-input geopolitik dalam perumusan kebijakan luar negeri. Khususnya terkait lokasi geografis. Seperti halnya China ketika dalam menjabarkan politik luar negerinya, bertumpu pada Silk Road Maritime Initiatives sebagai Strategi Nasionalnya. Maka dari itu, sekadar sebagai sumber inspirasi, ada baiknya saya kutipkan kembali pidato Presiden Sukarno pada saat pembukaan Konferensi Asia-Afrika (KAA) Bandung 1955: “…..bahwa saya pada waktu itu meminta perhatian pada apa yang saya namakan ‘Garis Hidup Imperialisme.’ Garis itu terbentang  mulai selat Jibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan (Sekarang Laut Cina Selatan) sampai ke Lautan Jepang. Daratan-daratan sebelah-menyebelah garis hidup yang panjang itu sebagian besar adalah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka. Hari depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.” Mengingat gambaran yang disampaikan Bung Karno tersebut sejatinya merupakan lintasan Jalur Sutra (Silk Road) yang beliau gambarkan sebagai garis-garis hidup imperialisme, maka kemudian rangkaian geografis tersebut ditransformasikan menjadi garis-garis hidup Asia-Afrika untuk mengikat kerjasama strategis negara-negara di kawasan Asia dan Afrika. Meski temanya adalah Anti Imperialisme dan kolonialisme, namun skemanya adalah politik luar negeri berbasis geopolitik. Inilah kerangka pemikiran dan pandangan yang harus jadi landasan penyusunan kebijakan strategis luar negeri kita untuk merespons dinamika dan pergeseran sentra geopolitik di Asia-Pasifik pasca kemenangan Taliban di Afghanistan. Maupun dalam merespons tren yang semakin memanas di Laut Cina Selatan, Asia Tenggara, atau bahkan mungkin juga di Semenanjung Korea, Asia Timur. (arh)