Lestari Moerdijat Gaungkan Semangat Kartini di Masa Pandemi

Jakarta, obsessionnews.com - Siapa yang tak kenal Lestari Moerdijat? Salah satu perempuan yang tidak bisa diam dalam hidupnya. Perempuan yang menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI periode 2019-2024 ini memang dikenal aktif dalam berorganisasi. Berbekal keaktifannya tersebut, membuat dia tidak gagap saat menjejakkan kaki dalam dunia politik yang dikenal sebagai dunia maskulin. Perempuan yang akrab disapa Rerie ini sering kali mendorong partisipasi perempuan dalam politik bersama politisi perempuan lainnya. Menurutnya, perspektif perempuan itu diperlukan dalam semua hal. “Ketika mengambil keputusan atau membahas sesuatu, kita memerlukan berbagai perspektif, termasuk dari kaum Hawa,” ujar Rerie dikutip dari majalah Women’s Obsession edisi 075, Kamis (29/4/2021). Memang tidak bisa dipungkiri apalagi di dalam tatanan budaya Indonesia, perempuan tidak disebut sebagai kepala keluarga. Tapi perempuan itu didengar suaranya, misal kalau kakak dan adik bertengkar biasanya ibulah yang menyelesaikan. Halaman selanjutnya “Jadi, secara kultural perempuan memegang peran untuk bisa jadi penengah maupun penyambung,” tuturnya mengenai kemampuan sosok perempuan di Tanah Air. Terkait di dunia politik, sejak pemilihan umum (Pemilu) 2004 lalu, jumlah keterwakilan perempuan di parlemen terutama DPR RI masih belum mencapai 30%. Padahal, Undang-Undang No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan UU No. 2/2011 tentang Perubahan UU No. 2/2008, tentang Partai Politik telah mengamanatkan untuk memastikan setidaknya 30% perempuan dicalonkan dalam daftar anggota parlemen. Rerie yang juga menjadi anggota Komisi X DPR RI menegaskan, pencapaian keterwakilan perempuan tersebut di parlemen pada 2024 harus terus digaungkan. Hal itu dilakukan sebagai upaya mendorong kompetensi perempuan dan konsolidasi internal partai politik untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik harus konsisten dilakukan. Halaman selanjutnya Kuantitas jumlah perempuan di parlemen memang mengalami peningkatan sejak Pemilu 1999. Saat ini komposisi perempuan di DPR RI tercatat 20,5%. Namun, anggota Majelis Tinggi Partai NasDem ini sangat menyayangkan perempuan di Tanah Air belum memiliki representasi yang siginifikan dalam pengambilan keputusan di bidang politik. Sehingga jumlah agenda yang sedang diperjuangkan para perempuan belum mampu diwujudkan. “Sering kali kemampuan dan kapasitas perempuan sudah memadai, tetapi karena lingkungan tidak mendukung, yang bersangkutan menjadi enggan berpartisipasi,” ujar Rerie yang berhasil mendulang 165.099 suara pada Pemilu 2019 lalu ini. NasDem sendiri merupakan salah satu partaiyang berhasil mengirim kader perempuan keparlemen dalam jumlah yang cukup banyak. Setelahditerapkannya kebijakan afirmatif untuk mendorongketerwakilan perempuan, penguatan partisipasi politikperempuan di internal partai juga dapat dilihat darikeberadaan divisi perempuan di dalam struktur partai. Halaman selanjutnya “Sebagai upaya untuk menjamin kehadiran perempuan dalam proses pembuatan keputusan. Adanya organisasi sayap perempuan yang bertujuan untuk mempromosikan dan memperkuat keterwakilan perempuan dalam politik,” ucapnya. Di tengah pandemi Covid-19, tantangan yang harus dihadapi perempuan semakin kompleks, antara lain munculnya masalah domestik, seperti kekerasan fisik, tekanan ekonomi hingga psikologis, akibat berbagai masalah yang dihadapi dalam rumah tangga. “Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan sejumlah lembaga mitra menerima laporan 8234 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020. Sebanyak 79% kasus di antaranya adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),” tutur Rerie. Halaman selanjutnya Untuk itu, dia sangat mendukung segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) menjadi Undang-Undang. Perlindungan ini sangat dibutuhkan, karena keberadaan perempuan berperan besar bagi bangsa dan negara, seperti yang telah diperjuangkan oleh Raden Adjeng Kartini dulu. Rerie mengungkapkan, masalah yang dihadapi dalam proses pembuatan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, salah satunya adalah belum ada pemahaman publik yang luas terhadap rancangan undang-undang tersebut. Dia mengakui, salah satu penyebab terhambatnya RUUPKS menjadi undang-undang, karena pemahaman yang salah terhadap sejumlah pasal di dalamnya. “Padahal RUU itu bukan hanya untuk kepentingan perempuan semata, melainkan perangkat hukum yang dapat melindungi seluruh warga negara,” ujarnya. Halaman selanjutnya Masyarakat juga diminta untuk memperkuat pemahaman tentang isi dan manfaat RUU PKS kepada masyarakat yang tidak sependapat dengan aturan tersebut. Begitu pula dengan RUU PPRT yang layak mendapat perhatian. Rerie berpendapat bahwa hak warga negara sama di mata hukum, sehingga pembahasan aturan bagi PRT wajib mengedepankan prinsip keadilan. Jumlah PRT di Indonesia berdasarkan Survei ILO dan Universitas Indonesia tahun 2015 berjumlah 4,2 juta (tren meningkat setiap tahun). Angka yang cukup besar sebagai pekerja yang selama ini tidak diakui dan dilindungi. Secara kuantitas, jumlah PRT di Tanah Air tergolong tertinggi di dunia, jika dibandingkan beberapa negara di Asia, India 3,8 juta, dan Filipina 2,6 juta. Persentase PRT mayoritas Perempuan (84%) dan Anak (14%) yang rentan eksploitasi, berisiko terhadap human trafficking. Tidak hanya di dalam negeri, undang-undang yang disahkan nantinya juga akan berlaku bagi PRT migran di luar negeri. Saat ini RUU PPRT berada di urutan ke13 Prolegnas 2021. Banyak pihak yang menanti RUU Perlindungan PRT disahkan menjadi undang-undang lantaran telah diperjuangkan lebih dari 16 tahun, namun belum membuahkan hasil. (Nur/WO/Poy)