Angkie Yudistia Berjuang Untuk Sesama Tuna Rungu

Dokter menyarankan Angkie untuk tidak melanjutkan sekolah, karena takut tambah stres. Namun, dia justru merasa bertantang untuk tetap sekolah. Melihat sosok Angkie Yudistia, bagi yang belum mengenalnya dia memang tampak seperti perempuan normal umumnya, cantik, smart, ramah dan begitu percaya diri. Namun, bagi yang sudah lama mengenalnya, sosok Angkie yang sekarang ini adalah sebuah perjalanan ‘metamorfosis’. Dirinya bertekad dan berjuang teguh untuk keluar dari keterbatasannya. Ya, karena Angkie adalah seorang perempuan tuna rungu. Suatu siang Women’s Obsession berkempatan bertemu dengan sosok istimewa ini. Berbalut busana hijau lembut dan rok pendek, dia tampak semringah dan penuh semangat. Wajahnya kian berbinar ketika menceritakan proses kelahiran bayi perempuannya pada Februari 2015 lalu. “Saya seperti terlahir kedua kalinya. Ini merupakan hidup baru yang saya miliki bersama Baby K, demikian bayinya biasa disapa. Perjalanan hidup saya memang telah memberikan banyak makna,” ungkapnya bahagia membuka percakapan. Angkie mengakui keterbatasan dirinya membuatnya mengalami berbagai kejadian berbeda dibandingkan perempuan lain. Itulah sebabnya, pencapaian tertingginya adalah saat ini dia menjadi sosok perempuan mandiri. “Saya terlahir normal dan menjadi tuna rungu ketika berusia 10 tahun. Pada saat itu, sama sekali tidak pernah terbayang bagaimana menjalani kehidupan ke depan seperti apa. Bahkan, saya tidak punya keberanian untuk bermimpi dan takut terhambat karena keterbatasan saya,” katanya ramah. Angkie menyadari, begitu banyak jalan berliku harus ditempuh, rasanya dia tidak pernah cukup kuat untuk menjalani kehidupan dengan difable pendengaran. Tetapi, semua itu dihadapi dengan ikhlas dan mengalir. Kini, di usia 27 tahun, dia dapat menyelesaikan pendidikan master of communication, menjadi perempuan berkarier, seorang istri, dan ibu dari bayi perempuan sehat sempurna berusia dua bulan. Semuanya dia syukuri sebagai hasil dari segala ‘perjuangan’ sebagai seorang perempuan tunarungu. Dia mengatakan penyebab pendengarannya berkurang tidak diketahui pasti. Tetapi, ketika berusia 10 tahun dan tinggal di salah satu daerah timur Indonesia, dirinya mengalami malaria. Angkie sekeluarganya kebetulan mengikuti tempat ayahnya bertugas. “Dokter saat itu mungkin memberi obat yang kurang sesuai atau memang kondisi badan saya yang terlalu lemah,” katanya. Orang tuanya pun memeriksakan keadaannya kepada beberapa dokter, namun tidak menemukan jawaban. Untungnya, Angkie tak kesulitan dapat berkomunikasi dengan baik bersama orang lain lewat alat bantu dengar dan dia dapat membaca gerakan bibir lawan bicaranya. Tak Diperlakukan Berbeda Meskipun, kondisinya berubah Angkie tak pernah diperlakukan secara berbeda oleh orangtuanya. Setidaknya untuk pilihan sekolah, dia menyelesaikan SD hingga SMA di sekolah umum biasa. Pada masa-masa sekolah inilah Angkie mulai merasakan tantangan sebagai anak yang memiliki ketidaksempurnaan. “Saya sejak dulu tertempa dan ‘kenyang’ dengan beragam bully. Tetapi, saya sudah tidak peduli saat ada yang mengejek. Saya hanya fokus untuk mencapai prestasi,” ungkapnya seraya tersenyum. Kemampuannya menepis ejekan memang telah menjadi sikap hidupnya. Prinsipnya adalah tough people win! “Ya, bagi saya hanya orang-orang yang tangguh dan kuat saja yang akan menjadi pemenang, karena mampu bertahan dalam badai,” tambahnya bijaksana. Masa kecil Angkie juga diwarnai dengan kemampuannya beradaptasi dan berpindah tempat tinggal mengikuti tugas ayahnya semasa bekerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Dia dilahirkan di Medan pada 5 Juni tahun 1987. Saat TK Angkie berada di Ambon dan ketika SD menetap di Ternate, Bengkulu, dan Bogor. Lalu, masa SMP dan SMA dia habiskan di Bogor. Orang tuanya ketika itu menyadari Angkie kesulitan untuk menangkap pelajaran. Dia kemudian mengikuti tambahan les privat. Ayahnya kerap membeli buku bacaan untuknya. Namun, bukan berarti masalah sekolah berlangsung mulus. Ketika lulus SMA dia sempat menghadapi dilema. Dokter menyarankannya untuk tidak melanjutkan sekolah, karena takut Angkie bertambah stres. Namun, dia justru merasa tertantang untuk tetap sekolah. Angkie dengan semangat mendaftar jurusan periklanan di London School of Public School. Dia berhasil membuktikan walaupun dirinya memiliki keterbatasan, namun dengan tekad dan semangat baja, dia mampu mengukir prestasi indah. Tak tanggung-tanggung dia berhasil lulus sarjana dengan IPK 3,5. Tak puas hanya meraih pendidikan S1, dia lalu sekolah lagi mengambil program master di bidang komunikasi pemasaran. Ingin tahu apa yang dilakukan Angkie usai meraih gelar S2? “Saya kembali menemui dokter yang pernah menyarankan saya untuk tidak kuliah. Dia pun terheran-heran dan terdiam terpaku menatap saya bingung mau mengatakan apa,” ceritanya bangga. Segudang Prestasi “Dari orang tua saya banyak belajar disiplin dalam hidup. Bapak, mengajarkan bagaimana skema perjalanan hidup sebagai manusia. Sedangkan mama, memberikan semangat untuk menjadi perempuan tangguh dalam keadaan apapun. Perpaduan inilah yang menjadikan saya begitu menghargai kehidupan, life is only once, so make it worth,” tutur Angkie. Ternyata tidak hanya nilai akademis yang membuat banyak orang berdecak kagum, dia pun menggenggam segudang prestasi lainnya. Setelah menumbuhkan rasa percaya diri dengan menunjukkan prestasi, Angkie mulai menerima kalau gangguan pendengarannya tidak pernah ada yang menghalanginya untuk maju meraih mimpi-mimpinya. Dia pun menjadi lebih berani dan tidak takut dengan keterbatasannya. Pada usia 21 tahun, dia begitu gembira karena berhasil masuk menjadi finalis None Jakarta untuk wilayah Jakarta Barat. Tahun 2008, dia pun kian menorehkan satu lagi pengakuan ketika terpilih menjadi The Most Fun Fearless Cosmopolitan. Sejak itu, dia kerap menjadi model untuk beberapa majalah terkenal ibu kota. Ditolak Bekerja “Meskipun lulus dengan nilai tinggi, saya tidak begitu saja mendapat pekerjaan dan kerap merasa sedih akibat sering kali ditolak. Saya dianggap tak dapat bekerja, karena tidak bisa menerima telepon,” ungkapnya menyayangkan. Namun demikian, Angkie tak putus asa. Dia memang sudah lama menempa mentalnya untuk menjadi sosok perempuan kuat dan tidak mudah menyerah. “Saya menyemangati diri dengan kata-kata bijak dari Hellen Keller ‘ketika satu pintu tertutup, masih ada pintu lainnya yang menunggu dibuka’. Quote tersebut membuat saya bisa memandang dengan perspektif berbeda. Saya melihat perusahaan ada begitu banyak, saya yakinkan diri saja pasti ada yang menerima dengan segala keterbatasan dan kelebihan dirinya,” tegasnya. Akhirnya, pada tahun 2009 dia berhasil bekerja sebagai marketing communication IBM Indonesia dan sempat menjadi corporate public relations PT Geo Link Nusantara. Pada tahun 2009 Angkie mulai berlibat membantu sesama difable, ketika dia ikut dalam kegiatan sosial saat bergabung dengan Yayasan Tunarungu Sehjira. Angkie pernah diberi kesempatan menjadi salah satu delegasi Indonesia dalam acara Asia-Pacific Development Center of Disability di Bangkok, Thailand, dan International Young Hard of Hearing di Prancis. Di sinilah Angkie merasa sedih dan miris. Dia menyadari masih begitu banyak tuna rungu lainnya yang tidak seberuntung dirinya. Belum mendapat kesempatan bekerja dan masih terpaku pada dunia sunyi mereka. Banyak keluarga yang merasa malu dan aib kalau memiliki anak difable. Inilah yang membuat dirinya ingin terus berjuang membantu tuna rungu lain di Indonesia. Kepeduliannya untuk memperbaiki nasib mereka diwujudkan dengan mendirikan Yayasan Thisable Enterprise pada tahun 2011 dan meluncurkan buku berjudul Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas. Dalam berbagai kesempatan kegiatan yayasan dan lewat bukunya, Angkie tak henti terus memompa semangat tuna rungu lainnya untuk agar bisa menggapai prestasi. Keterbatasan bukan menjadi alasan atau penghalang untuk meraih sukses. Dia pun senang berbagi kisah untuk menginspirasi banyak orang di www.angkieyudistia.com. “Mereka ingin diperlakukan sama dan sudah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tetap saja dianggap tak mampu apa-apa. Salah satu program yang dibuat Thisable Associate adalah menjual program Corporate Social Responsibility (CSR) yang terkait dengan orang disable ke banyak perusahaan. Kami juga akan menyediakan tenaga kerja disable yang memiliki kemampuan seperti orang normal,” jelas Angkie bersemangat. Jangan Menuntut Untuk Meminta Dipahami Dalam hal diskriminasi, Angkie mengakui dia memang masih saja menemukan perlakuan berbeda dibandingkan perempuan lainnya yang normal. “Tetapi, secara keseluruhan, saya tidak menyalahkan siapapun. Kita berpijak di bumi yang sama, dengan beragam manusia. Tidak seharusnya hidup dipisah-pisahkan antara yang normal dan memiliki keterbatasan. Namun, secara perlahan, saya melihat semakin banyak orang di kota-kota besar sudah memahami dan menerima kami, bahkan menjadi teman baik,” tambahnya. Angkie berharap, semoga kota-kota kecil juga melakukan hal yang sama. Ini yang sebaiknya dilakukan teman-teman difable, jangan menuntut untuk meminta dipahami, namun memahamilah terlebih dahulu dan merangkul siapapun yang bisa men-support. Sebetulnya, banyak hal yang dapat dilakukan masyarakat untuk membantu kaum difable. Dia melanjutkan, “Paling tidak dimulai dari hal sederhana, tidak lagi memandang difable seseorang yang tidak bisa melakukan apapun. Kami juga sama dengan manusia normal lainnya, hanya saja terbatas inderanya. Saya juga ingin pemerintah lebih memperhatikan fasilitas kaum difable untuk memudahkan aktivitas kami.” Mimpi apakah yang masih ingin diraihnya sekarang ini? “Saya masih mempunyai banyak obsesi. Selama empat tahun belakangan saya merintis social business, tahun ini saya ingin mengembangkan usaha sesuai dengan passion saya dalam bilang public relations. Tujuannya saya ingin menciptakan lapangan pekerjaan baik bagi yang difable maupun tidak, sebanyak yang saya mampu,” tegasnya. Setelah menikah Angkie dikaruniai bayi perempuan yang diberi nama Kayla Almahyra Prasetyo. Dari awal hamil dia kesulitan mendapatkan dokter yang memahami dirinya sebagai seorang disabilitas pendengaran. Namun, akhirnya dia bersyukur bisa menemukan dokter yang memahami kondisinya. Proses melahirkan ternyata sangat menyenangkan sekali. “Saya menikmati setiap momen kehamilan kemarin hingga selama 10 bulan. Total kehamilan saya 41 minggu dan sang bayi tidak mau keluar, akhirnya operasi caesar,” jelas perempuan yang sekarang ini sedang mempersiapkan buku kembali. Dia terlihat begitu bahagia bisa membesarkan Kayla dengan keterbatasannya. Saya sudah bertekad apapun keadaan anaknya, dia akan ikhlas menerima. Namun, ketika usia dua bulan Kayla senang merespon suara musik dan tawa siapapun di sekitarnya, Angkie pun merasa terharu dan bersyukur. “Walaupun saya diberi keterbatasan tidak bisa mendengar, tetapi Allah menitipkan telinga melalui suami dan anak saya,” ungkapnya bahagia. (Aryani Indrastati/Women's Obsession) -