Prabowo-Airlangga Berpotensi Kuat Diusung Koalisi Besar dalam Pilpres 2024

Prabowo-Airlangga Berpotensi Kuat Diusung Koalisi Besar dalam Pilpres 2024
Obsessionnews.com - Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto berpotensi paling kuat menjadi pasangan bakal calon presiden (capres) dan bakal calon wakil presiden (wapres) jika terbentuk koalisi besar untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.   Baca juga:Survei CNN: Duet Airlangga- Khofifah Potensi Menang Pilpres 2024Survei DSI: Stakeholder Pasar dan Mall Bakal Pilih Airlangga di Pilpres 2024Gerindra-Demokrat Resmi Koalisi, Sepakat Prabowo CapresFOTO Ijtimak Ulama dan Tokoh Nasional GNPF Ulama Rekomendasikan Prabowo Capres     “Secara realitas politik, koalisi besar hanya akan terwujud jika pasangan capres dan cawapresnya adalah Prabowo dengan Airlangga. Keduanya merupakan representasi dua partai besar hasil Pemilu 2019 lalu, sekaligus pendukung pemerintahan Presiden Jokowi,” kata analis politik dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Kamis (15/6/2023). Menurut Ginting, kedua ketua umum partai tersebut sangat wajar jika dipasangkan berdasarkan perolehan hasil pemilihan umum (pemilu) 2019 lalu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berada di puncak dengan perolehan suara 19,33 persen. Disusul Gerinda meraih 12,57 persen suara dan Golkar di posisi ketiga mendapatkan 12,31 persen. Sementara posisi keempat dan kelima diduduki Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendapatkan 9,69 persen suara dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang meraih 9,05 persen suara. Ginting mengemukakan, yang paling memungkinkan untuk bisa maju dalam pilpres hanya dua komponen realitas politik. Pertama, partai politik yang perolehan suaranya besar. Mereka punya mesin politik yang bisa diandalkan untuk menggerakkan roda partai hingga ke basis konstituen di tingkat kecamatan. Biasanya diwakili ketua umum partai politik. Kedua, tokoh populer yang memiliki elektabilitas (keterpilihan) tinggi. Mereka bisa mendulang suara dari pemilih, khususnya swing voters (pemilih rasional). “Jika mengacu kepada tiga tokoh populer yang elektabilitasnya tinggi, ada pada Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan (non-partai). Jadi wajar jika mereka menjadi bakal capres dalam koalisi. PDIP sudah diwakili Ganjar. Selanjutnya Koalisi Perubahan dan Persatuan mengajukan nama Anies yang tidak berpartai. Sehingga wajar apabila Prabowo maju sebagai bakal capres dengan koalisinya,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu. Selanjutnya, kata Ginting, untuk bisa menjadi bakal cawapres, kembali mengacu kepada dua komponen realitas politik, yakni partai yang memiliki perolehan suara besar dan tokoh populer yang memiliki elektabilitas tinggi. Jadi koalisi besar hanya akan terwujud, apabila Prabowo dipasangkan dengan Ketua Umum Partai Golkar yang memiliki perolehan suara besar dibandingkan partai-partai lainnya. “Gerindra dan Golkar tentu saja lebih besar perolehan suaranya daripada PKB maupun PAN. Lagi pula PAN hanya memperoleh 6,84 persen suara. Maka KKIR yang terdiri dari Gerindra dan PKB akan diwakili Prabowo. Sedangkan KIB terdiri dari Golkar dan PAN akan diwaliki Airlangga sebagai ketua umum Golkar,” ungkap Ginting, kandidat doktor ilmu politik. Sementara tokoh populer yang memiliki elektabilitas tinggi dari sejumlah survei untuk menjadi bakal cawapres, antara lain Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Khofifah Indar Parawansa. Mereka inilah yang merasa punya kesempatan mendapatkan tiket politik untuk menjadi bakal cawapres selain ketua umum partai politik. “Namun, Ridwan Kamil maupun Khofifah lebih didorong untuk kembali maju dalam pemilihan gubernur di Jawa Barat dan Jawa Timur pada Pemilu 2024 mendatang. Sehingga persaingan untuk bisa menjadi bakal cawapres ada pada Erick Thohir dan Sandiaga Uno,” ujar Ginting. Ia menabahkan, apabila Koalisi Besar tidak terwujud, maka Golkar dan PAN bisa saja membuat poros koalisi baru dengan komposisi Airlangga mewakili Golkar sebagai bakal capres dan Zulkifli Hasan atau Erick Thohir mewakili PAN sebagai bakal cawapres. “Sesungguhnya koalisi ini hanya sebagai pelengkap saja dalam Pilpres. Tidak diperhitungkan sama sekali untuk menjadi pemenang. Mirip seperti Pilpres pada 2009 ketika muncul pasangan Hamzah Haz dan Agum Gumelar,” ucap Ginting. PAN Bagai Layangan Putus Talinya Selamat Ginting mengungkapkan, dari dinamika politik terbaca dengan jelas, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan agresif menawarkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir untuk bisa dipasangkan sebagai bakal cawapres setidaknya di dua koalisi. “Asumsinya sejumlah survei menempatkan elektabilitas Erick berada dalam lima besar kandidat cawapres, sehingga punya harapan bisa dipasangkan sebagai bakal cawapres di beberapa koalisi,” katanya. Pertama, PAN menawarkan Erick untuk berpasangan dengan Ganjar Pranowo dari PDIP. Namun upaya itu ditolak secara halus oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri. Padahal Zulkifli Hasan sudah memindahkan daerah pemilihan (dapil) untuk dirinya sebagai caleg DPR dari Semarang, Jawa Tengah. Asumsi politiknya agar bisa bekerja sama secara politik dengan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah. Selama ini Zulkifli selalu menjadi caleg dari dapil Provinsi Lampung. Kedua, setelah gagal mendapatkan lampu hijau dari PDIP, maka PAN kembali menawarkan Erick Thohir kepada Gerindra. Lagi-lagi upaya itu pun tidak mendapatkan respons positif dari Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra. Gerindra tentu saja khawatir kehilangan teman koalisinya, yakni PKB, apabila menerima Erick yang disodorkan PAN. Apalagi perolehan suara PKB di parlemen lebih besar daripada PAN. Ketiga, dari situ kemudian PAN berinisiatif untuk menawarkan kembali terbentuknya Koalisi Besar, tentu saja dengan harapan Erick Thohir tetap bisa mendapatkan posisi bakal cawapres dengan argumentasi elektabilitasnya bersaing ketat dengan Ridwan Kamil, Sandiaga Uno maupun Agus Harimurti Yudhoyono. “Jika koalisi besar terbentuk, Golkar dan PKB tentu akan bersikeras menolak tawaran PAN yang menyodorkan Erick Thohir. Golkar merasa lebih berhak daripada PAN. Toh Ridwan Kamil yang kini bergabung dalam Golkar pun tidak disodorkan menjadi bakal cawapres. Ridwan lebih diproyeksikan Golkar untuk kembali bisa menjadi Gubernur Jawa Barat periode kedua,” ungkap Ginting. Dia menambahkan, demikian pula PKB yang sedari awal sudah satu tahun membentuk koalisi dengan Gerindra. Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum PKB sudah sedari awal menawarkan diri menjadi bakal cawapres. Namun, hingga kini belum direspons positif oleh Prabowo. “Jika saja Gerindra menerima Erick sebagai bakal cawapres berpasangan dengan Prabowo, PKB berpotensi meninggalkan Gerindra untuk bergabung dengan koalisi lainnya. Jadi memang rumit,” ujar Ginting yang lama berkiprah menjadi wartawan bidang politik. Ibaratnya, kata Ginting, kini PAN bagaikan layangan yang putus talinya. Tak tahu ke mana arah politiknya. Menawarkan dagangannya yang belum laku-laku hingga saat ini. “Timbul pertanyaan, sebenarnya siapa ketua umum PAN? Zulkifli Hasan atau Erick Thohir? Maka, wajar jika publik berpendapat Erick seperti ketua umum luar biasa dari PAN,” pungkas Ginting. (Rud)