Sabtu, 27 April 24

Pilpres 2019: Pesta Demokrasi Paling Brutal Meneropong Pilpres 2019 Bag.3

<span class=Pilpres 2019: Pesta Demokrasi Paling Brutal Meneropong Pilpres 2019 Bag.3">

Oleh Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

Narsis. Asyik dan heboh. Suasana perang dalam tagar dan dalam penggalangan opini massa di dunia nyata. Pilpres 2019 meski belum resmi kampanye, hawa panasnya sudah mendidih dan mengkalkuklasikan setiap dukungan. Politik demokrasi kekinian memasuki industri revolusi digital. Semenjak itu, perang tagar (#) ramai di jagad media sosial. #2019GantiPresiden diikuti #JokowiDuaPeriode. Tagar-tagar itu pun melahirkan turunan tagar dengan nada berbeda, namun maksud yang sama.

Polarisasi dua kubu anak bangsa telah melibatkan jutaan rakyat Indonesia. Kesadaran dan kewarasan rakyat dipantik dengan kampanye digital dan gaya millenial. Perseteruan dua kubu menjadi tontonan menarik sekaligus miris. Upaya persatuan Indonesia lebih pada persatean antar rakyat.

Pilpres 2019 menjadi ajang pesta paling brutal bagi politisi yang berebut kursi. Rasa radikal bagi para pendukung politisi pujaannya. Dalam semesta pemikiran, ada pendukung yang mengedepankan perasaan dan di luar nalar. Sebaliknya, ada yang berfikir rasional dan mengedepankan faktual.

Beberapa hal indikasi kebrutalan dan keradikalan pilpres 2019 di antaranya:

Pertama, sistem demokrasi dijalankan dalam model liberalisme. Kebebasan menjadi harga mati. Karenanya, apapun yang dilakukan, baik konstitusional ataupun inkonstitusional, semuanya sah dan diperbolehkan. Di sisi lainj, karena berdasar pada sekularisme (pemisahan agama dan kehidupan), demokrasi tidak menginginkan agama atau tokoh agama urus campur dalam politik.

Kedua,pilpres 2019 menjadi ajang petahana mempertahankan kursi, sebaliknya menjadi momentum kubu oposisi merebut kursi. Aktor-aktor politik dalam memepertahankan ego sektoral kekuasaannya telah berkolaborasi dengan pengusaha. Tujuannya menggerakan massa berbayar. Sudah menjadi maklum, hiruk pikuk pengerahan massa di Indonesia lebih cenderung pada keberadaan materi. Kalaulah ada yang non-materi, bisa jadi sedikit karena kesadaran ideologi dan perubahan.

Ketiga, sisa-sisa Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017 masih akan berhembus dan membesar. Tidak ada ksatria dalam politik demokrasi. Justru gumpalan kemarahan dan kekecewaan kian membuncah. Susah move on dan sukanya menumpahkan kekesalannya. Kini bentrokan itu wujud di dunia nyata. Sayangnya, negara yang mengklaim demokratis, tak mampu mengendalikan rakyatnya agar tidak berpecah belah.

Keempat, sikap antipati rezim terhadap aspirasi rakyat yang terus menerus dikebiri. Narasi demokratisasi dalam politik dan bersikap arif bijaksana sekadar omongan berisi angin. Rakyat pun bisa menilai dengan kecerdasan berfikirnya bahwa berada di posisi manakah penguasa? Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan, kemarahan rakyat kian menggumpal. Mudah sekali rakyat mengumpulkan energi untuk mengakhiri rezim, meski tak sesuai konstitusi.

Kelima, kelompok massa, baik koalisi maupun oposisi yang telah membentuk badan dan jaringan, dipastikan telah menyusun strategi. Konsentrasi massa yang terkumpul dan memiliki agenda masing-masing bisa menjauhkan arah pembangunan Indonesia. Persoalan negeri ini sudah pelik. Politisi dan partai politik tak menunjukan itikad baik memperbaiki negeri ini. Hilangnya sikap negarawan sejati telah memantik kemarau panjang krisis kepemimpimpinan. Hal yang terjadi justru sikap pragmatisme yang ditonjolkan. Urusan rakyat kerap diabaikan.

Keenam, rakyat akan dikepung gelombang opini yang bercampur hoax, cacian, dan kebiadaban. Rakyat Indonesia tak lagi ramah. Politik demokrasi menjadikan rakyat kehilangan adab, tata krama, dan akhlakul karimah. Tatkala politisi berebut kursi, rakyat pun sibuk dukung sana-sini. Ketika itulah, Indonesia geger dalam balutan bencana politik maha dahsyat.

Bagi rakyat Indonesia, berpikir dan bersikaplah rasional. Tahun 2019 harus disikapi proporsional. Jangan lagi jadi korban politik, apalagi dikorbankan demi kepentingan politik. Rakyat Indonesia memiliki harga diri sebagai manusia yang menjadi hamba Allah Swt. Demokrasi telah menjadikan malapetaka baru. Tidakkah manusia berfikir untuk kembali kepada Rabbnya? Bersimpuh dan mengambil aturan yang telah digariskan-Nya. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.