Pidato Kenegaraan Terakhir Jokowi Dianggap Hambar

Pidato Kenegaraan Terakhir Jokowi Dianggap Hambar
* Presiden Jokowi berjalan bersama Menhan RI Prabowo Subianto menghadiri sidang tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8). (Dok/DPR)

Obsessionnews.com – Pidato kenegaraan terakhir Presiden Jokowi dalam sidang tahunan MPR dianggap hambar. Sebab, momentum tersebut tidak dimanfaatkan Jokowi untuk meyakinkan publik selama 10 tahun kepemimpinan membawa perubahan signifikan.

Peneliti Setara Institute Azeem Marhendra Amed menyebut, sebagai pidato terakhir pada masa jabatan, Jokowi hanya menyampaikan paparan sederhana dan tidak menebar optimisme dan kejujuran terhadap kondisi aktual yang dihadapi rakyat kita.

Baca juga: Kado Puan untuk Pidato Kenegaraan Terakhir Jokowi: Etika Kepemimpinan

“Selain hanya fokus pada aspek pembangunan ekonomi, yang juga hambar dan tidak meyakinkan karena kondisi faktual daya beli masyarakat semakin menurun dan ancaman PHK di berbagai bidang, capaian kinerja ekonomi Jokowi juga tidak diimbangi dengan pengakuan hak-hak warga yang menjadi korban pembangunan,” kata Azeem di Jakarta, Jumat (16/8).

Jokowi juga tidak mengungkapkan adanya capaian pada bidang pembangunan hukum, HAM dan demokrasi secara holistik, selama 10 tahun memimpin Indonesia. Jokowi hanya menganggap penyusunan KUHP sebagai keberhasilan.

“Gegap gempita gagasan di awal masa jabatan Jokowi terkait pembangunan manusia melalui kebijakan revolusi mental, sama sekali tidak diceritakan, sampai di titik mana lompatan itu dicapai. Pidato itu seperti gambaran kemunduran-kemunduran yang sebagiannya ditutupi dengan keberhasilan ekonomi,” ujar Azeem.

Baca juga: 10 Tahun Pimpin RI, Jokowi Minta Maaf dan Ucapkan Terima Kasih

Ketiga pidato yang disampaikan oleh Ketua MPR RI, Ketua DPR RI, dan Presiden RI, dalam sidang tahunan terakhir pada 2024 juga tidak mengangkat persoalan perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan HAM dalam lima tahun terakhir. Sedangkan Indeks HAM yang dirilis Setara Institute selama 2019-2023, skor kinerja HAM nasional mengalami stagnasi dan tidak bisa naik lebih dari skor 3,3, yang tertinggi di tahun 2022.

“Negara belum memiliki komitmen kuat dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM yang semestinya menjadi kewajiban konstitusional menurut Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945,” keluhnya.

Azeem juga menyorot wacana MPR RI yang hendak menghidupkan kembali Haluan Negara bahkan telah menyiapkan pokok-pokok Haluan Negara untuk memberikan arah pembangunan. Wacana ini terus berulang dan gagal menyajikan urgensi dan dasar konstitusional memadai kepada publik.

“MPR harus mampu menjawab pertanyaan tentang bagaimana penetapan Haluan Negara tersebut pada sistem hukum Indonesia, harmonisasi dan integrasinya pada sistem perencanaan pembangunan yang sudah ada, serta skema pertanggungjawabannya. Obsesi membentuk haluan negara ini berpotensi mengekang kekuasaan eksekutif dan mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara,” ujarnya.

Dorongan pembangunan nasional dan daerah yang inklusif menurut pidato Ketua DPR RI patut diapresiasi sebagai komitmen yang coba dipenuhi pada pemerintahan periode 2019-2024 dan diharapkan dilanjutkan pada pemerintahan berikutnya.

Pernyataan Puan Maharani menjadi bentuk pengakuan bahwa inklusivitas dan toleransi masih masih menjadi pekerjaan rumah yang belum kunjung selesai. Data Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) mencatat bahwa negara belum mampu menciptakan ekosistem toleransi dan inklusi. Pada 2023 saja masih tercatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran.

Ketua DPR RI juga menyoroti tentang semakin pentingnya ‘demokrasi deliberatif’, yang mengandaikan perlu adanya ruang perjumpaan substantif antara pemangku kebijakan dengan rakyat yang diwakilkan agar terjadinya komunikasi dan pencapaian persetujuan mengenai suatu isu. Maka perlu adanya dorongan lebih mengenai dibukanya partisipasi bermakna (meaningful participation) dalam pengambilan kebijakan secara luas, sehingga muncul deliberasi yang resiprokal dan berorientasi pada pencapaian konsensus atau mufakat.

“Pada aspek pembangun hukum, HAM dan demokrasi, penting bagi pemerintahan selanjutnya mempertimbangkan aspek demokrasi konstitusional dalam pemajuan bangsa dan negara, yang dapat dilakukan dengan prioritas mendorong pembangunan dan tata kelola pemerintahan inklusif, membentuk ekosistem toleransi bagi seluruh kalangan masyarakat,” ujarnya. (Erwin)