Kamis, 2 Mei 24

Persoalan Ketahanan Pangan di Indonesia: Sebuah Solusi Islami (Bagian I)

Persoalan Ketahanan Pangan di Indonesia: Sebuah Solusi Islami (Bagian I)
* Prof. Dr. U. Maman Kh., S.S., M. Si. (Foto: dok. pribadi)

Oleh: Prof. Dr. U. Maman Kh., S.S., M. Si,  Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian Program Magister Agribisnis FST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 
Pembangunan pertanian di Indonesia tampaknya belum berhasil mewujudkan kemandirian pangan. Bahkan sebaliknya Indonesia masih tergantung pada pangan impor.

Pengamat ekonomi Faisal Basri mencatat di tahun 2019 impor sayur Indonesia mencapai 11,55 triliun dan sebagian besar berasal dari China; Impor buah-buahan mencapai 1,5 miliar dollar AS, padahal ekspor buah-buahan hanya 324 juta dollar AS; dan import garam melonjak dua kali lipat.

Indonesia juga sejak tahun 2016 menjadi pengimpor gula tertinggi di dunia. Padahal sejak masa kolonial sampai tahun 1965 Indonesia merupakan negara pengekspor gula tertinggi dan terpandang di dunia. Di samping itu Indonesia juga mengimpor berbagai komoditas pangan lainnya dalam jumlah besar, seperti kedelai, ternak dan daging (https://faisalbasri.com/2020/05/25/lampu-kuning-impor-pangan).

Untuk beras, walaupun fluktuatif, Indonesia masih mengimpornya dalam jumlah sangat besar. BPS (2019) mencatat tahun 2016 Indonesia mengimpor 1.283. 178,5 ton beras. Jumlah impor ini melompat menjadi  2.253.824,5 tahun 2018. Sekalipun impor beras tahun 2019 mengalami penurunan, diperkirakan akan meroket kembali akibat lemahnya fondasi ketahanan pangan Indonesia.

Di awal tahun 1980-an Indonesia mendapat penghargaan dari FAO sebagai negara yang berhasil meraih swasembada pangan. Presiden Soeharto diundang khusus ke markas FAO di Roma ditemani H. Sirad, seorang kontak tani andalan.

Namun perlu dicatat, bahwa keberhasilan swasembada pangan itu bersifat karikatif. Ibarat sarang labah-labah yang kelihatan kuat, swasembada pangan itu sangat lemah. Bahkan berbagai kegiatan yang mengarah pada swasembada pangan, seperti kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) berhenti sejalan dengan berhentinya Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang dibiayai dengan utang dari Bank Dunia.

Masih Potensial Rawan Pangan

Ketahanan pangan, kemandirian dan kedaulatan pangan adalah suatu keniscayaan. The Economist (2018) menggunakan tiga indikator ketahanan pangan, yakni ketersediaan, keterjangkauan dan kesehatan pangan.

Sub indikator ketersediaan pangan ialah: a) Kecukupan pasokan pangan, b) Belanja pemerintah untuk penelitian & AMP; Pengembangan pertanian, c) Kecukupan infrastruktur pertanian, d) Volatility atau kemeriahan produk pertanian, e) Stabilitas politik, f) Daya serap penduduk perkotaan (atas produk pertanian), dan g) Kehilangan pangan.

Untuk keterjangkauan, The Economist (2018) menggunakan sub indikator: a) Pengeluaran rumah tangga untuk belanja pangan; b) Proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dunia, keseimbangan daya beli, dan nilai tukar; c) Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita; d) Tarif impor produk pertanian; e) Program jaring pengaman pangan; dan f) Akses petani terhadap pembiayaan pertanian.

Sedangkan untuk kesehatan pangan, sub indikator yang digunakan ialah: a) Diversifikasi menu makanan, b) Standar nutrisi, c) Ketersediaan mikronutrisi, d) Kualitas protein, dan e) Keamanan pangan.

Sub-sub indikator tersebut memiliki kelemahan mendasar, di antaranya adalah seakan-akan merekomendasikan impor pangan untuk meraih ketersediaan pangan. Namun terlepas dari kelemahan tersebut, berdasarkan gabungan tiga indikator itu selama lima tahun (2015-2019), ranking ketahanan pangan Indonesia fluktualif antara 76-62 dari 113 negara, di bawah Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Namun, berdasarkan ketersediaan pangan, Indonesia tahun 2018 menempati ranking ke-58. Berdasarkan keterjangkauan pangan, Indonesia berada pada ranking ke-63, dan berdasarkan kualitas & kesehatan pangan, Indonesia berada pada ranking ke-84 dari 113 negara (The Economist, 2018).

Namun demikian, berdasarkan indikator deforestasi, alih fungsi sawah, degradasi lahan, dan rendahnya kualitas air akibat input kimiawi, sebagai indikator tambahan bagi daya dukung ketahanan pangan, The Economist (2017) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-109 dari 113 negara sebagai negara yang kurang mampu menjaga daya dukung dan daya tahan sumber daya alam bagi ketahanan pangan nasional. Pada tahun 2018, berdasarkan indikator tersebut,  Indonesia menurun pada peringkat ke-111 dari 113 negara, lebih rendah dari Kongo, Afrika Tengah (The Economist, 2018).

Dalam hal ini The Economist (2018:28) mengingatkan dan merekomendasikan:“Deforestasi yang cepat di Indonesia dan jeleknya perlindungan sawah dapat menurunkan produktivitas pertanian Indonesia. Para ahli sepakat bahwa Indonesia perlu mengembangkan kebijakan agrarian yang lebih efektif, termasuk mengembangkan hasil panen para petani subsisten, membangun kembali sistim irigasi, dan melakukan institusionalisasi kebijakan tentang tanah yang dapat melindungi perampasan tanah…”

Sejalan dengan peringatan itu, FAO, IFAD dan WFP (sejak 2014) mengingatkan bahwa Indonesia berpotensi mengalami krisis pangan akibat konversi lahan pertanian yang terus berkelanjutan. Secara faktual memang luas sawah di Indonesia semakin menurun. Hasil Sensus Pertanian (SP) 1983 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 16 jutaan hektar sawah. Kemudian menurun menjadi 14 jutaan hektar berdasarkan hasil SP 1993, menurun lagi menjadi 14 jutaan hektar berdasarkan SP 2003, dan meluncur menjadi 8 jutaan hektar berdasarkan SP 2013 (Maman et al., 2017).

Menurut BPN, luas sawah di Indonesia tahun 2019 adalah 7,46 juta hektar (Kompas.com, 24/2/ 2020).

Ironisnya, penurunan luas sawah itu di tengah-tengah tingginya pertambahan penduduk Indonesia, dari 150 jutaan di tahun 1980-an menjadi 275 jutaan di tahun 2017 (Maman et al., 2017).

Dalam konteks ini bisa dikatakan, bahwa Indonesia belum berhasil mewujudkan kemandirian pangan, yakni kemampuan menyediakan pangan oleh sumber daya dalam negeri. Juga belum berhasil menyiapkan fondasi ketahanan pangan yang kokoh dan stabil. Ketersediaan pangan yang berada pada ranking ke-58 dari 113 negara menurut The Economist, dan hal ini bukan  merupakan prestasi spektakuler, boleh jadi ditopang oleh pangan impor mengingat sumber daya dalam negeri bagi ketahanan pangan sudah semakin melemah. Jumlah pangan impor boleh jadi lebih tinggi dari data formal yang dikemukakan pengamat ekonomi Faisal Basri, dan apa yang dilaporkan oleh BPS. (Bersambung)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.