Kamis, 9 Mei 24

Partai Golkar, Pernah Dibubarkan Gus Dur, Kini Malah Terus Berkibar

Partai Golkar, Pernah Dibubarkan Gus Dur, Kini Malah Terus Berkibar

Jakarta – Partai sakti. Barangkali itu julukan yang pas ditujukan untuk Golkar. Pernah coba dibubarkan lewat Dekrit Presiden oleh Gus Dur, tapi gagal dilaksanakan. Malah berbalik, Gus Dur yang harus lengser dari kursi Presiden.

Golkar identik dengan pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun (1966-1998). Partai beringin ini pendukung utama Soeharto yang menjadi orang nomor 1 di Indonesia pada periode 1966-1998. Ketika Soeharto terjungkal dari kursi kekuasaannya tanggal 21 Mei 1998, berbagai elemen masyarakat menghujat Golkar dan menuntut Golkar dibubarkan. Namun, sungguh ajaib, Golkar tak jadi mati. Bak memiliki kesaktian Golkar tetap eksis dan tetap besar hingga dalam usianya yang ke-50 pada Oktober 2014. Atau dengan kata lain: Golkar nggak ada matinya!

Golkar didirikan oleh golongan militer, khususnya perwira TNI Angkatan Darat, untuk menghadapi kekuatan PKI dan Bung Karno. Golongan militer yang anti PKI menghimpun puluhan organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sekber Golkar didirikan tanggal 20 Oktober 1964. Semula Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi fungsional, lalu berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Organisasi-organisasi yang bergabung ke dalam Sekber Golkar kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam tujuh Kelompok Induk Organisasi (Kino), yaitu Koperasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Organisasi Profesi, Ormas Pertahanan Keamanan (Hankam), dan Gerakan Pembangunan.

Golkar menjadi peserta Pemilu 1971, pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemilu 1971 diikuti 10 partai politik, dan Golkar tampil sebagai pemenang dengan menyabet 236 kursi DPR atau 62,82% dari 360 kursi yang diperebutkan. Tahun 1973 pemerintah menyederhanakan jumlah partai dari 10 partai menjadi 3 partai, yakni Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketiga partai inilah yang menjadi peserta Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, dan Pemilu 1997. Kemenangan Golkar diulangi lagi pada Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992, dan Pemilu 1997. Kemenangan Golkar dalam enam kali pemilu secara berturut-turut itu terjadi karena Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung kemenangan Golkar melalui jalur ABG, yakni jalur A adalah ABRI (TNI dan Polri), jalur B adalah Birokrasi (pegawai negeri sipil), dan Golkar (SOKSI, MKGR, dan Kosgoro). Selain itu, Golkar semakin kuat dengan adanya ormas-ormas kepemudaan yang dibentuknya, yakni Forum Komunikasi Putra-Putri ABRI (FKPPI), Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Pemuda Panca Marga, dan Pemuda Pancasila.

Soeharto semakin nyaman berkuasa karena mendapat dukungan mesin politik Golkar yang begitu kuat, dan juga mendapat dukungan dari PPP dan PDI. Namun, tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk kekuasaan Soeharto. Kejatuhan Soeharto diawali krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 yang berlanjut pada krisis kepercayaan kepada Soeharto pada tahun 1998. Pada pertengahan 1997 hingga Mei 1998 mahasiswa, buruh, dan berbagai elemen masyarakat lainnya melakukan unjuk rasa menuntut Soeharto turun dari kursi kepresidenan. Demonstrasi menentang Soeharto semakin semarak terjadi di berbagai daerah setelah tewasnya beberapa mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, yang ditembak aparat keamanan, pertengahan Mei 1998. Melihat gelombang demonstrasi yang semakin lama semakin membesar, Soeharto ketakutan, dan akhirnya dia mengundurkan diri. Selanjutnya Wakil Presiden BJ Habibie naik kelas menjadi Presiden. Meskipun Soeharto sudah lengser, demonstrasi masih terus berlangsung, dan menuntut Soeharto diseret ke pengadilan karena kasus KKN dan kasus pelanggaran HAM.

Selain itu para demonstran juga menuntut Golkar dibubarkan karena Golkar identik dengan Soeharto. Dengan penuh amarah massa membakar kantor Golkar di sejumlah daerah, membakar bendera dan berbagai atribut Golkar. Selain itu massa juga menganiayai kader-kader Golkar. Kemarahan massa itu membuat kader-kader Golkar ketakutan, dan tidak berani lagi menampilkan identitasnya sebagai kader Golkar.

Pasca jatuhnya Soeharto yang merupakan Ketua Dewan Pembina Golkar, banyak pengamat memprediksikan Golkar akan hancur. Tetapi, fakta ternyata berbicara lain. Adalah Akbar Tandjung yang terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Jakarta, 9-11 Juli 1998, yang berhasil menyelamatkan Golkar. Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) yang telah lama malang-melintang di dunia politik ini aktif turun ke daerah-daerah untuk memberi semangat kepada kader-kader Golkar. Akbar tak gentar meski di beberapa daerah ia dikejar-kejar oleh massa yang anti Golkar. Akbar dihormati oleh alumni HMI. Banyak alumni HMI yang menjadi pengurus dan kader Golkar di berbagai daerah. Nah, Akbar memanfaatkan jaringan alumni HMI tersebut untuk mempertahankan keberadaan Golkar.

Upaya keras Akbar menyelamatkan Golkar berbuah manis. Pada Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama di era reformasi dan diikuti 48 partai politik, Golkar tetap diperhitungkan. Golkar menduduki posisi kedua di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ini suatu prestasi yang luar biasa di tengah gencarnya gempuran terhadap Golkar. Pada Pemilu 2004 Golkar berhasil menjadi pemenang. Sedangkan pada Pemilu 2009 Golkar duduk di urutan kedua setelah Partai Demokrat, demikian pula pada Pemilu 2014 Golkar harus puas menjadi runner up. Pada Pemilu 2014 Golkar kalah melawan PDIP.

Partai Kader
Golkar adalah partai kader. Banyak kader partai Beringin ini yang menjadi politikus yang handal. Siapapun yang menjadi ketua umumnya, kaderisasi di tubuh Golkar terus berlangsung. Di masa Orde Baru Golkar berhasil mengantarkan sang pendiri Golkar, Soeharto, menjadi Presiden. Tapi, di era reformasi dalam Pemilu 1999, Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014, Golkar tak berhasil mengantarkan kadernya menjadi presiden. Kendati demikian kader Golkar yang tak didukung Golkar namun didukung partai lain berhasil menjadi Wakil Presiden, yakni Jusuf Kalla. Pada Pilpres 2004 pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan JK yang diusung Partai Demokrat dan Partai Bulan Bintang (PBB) keluar sebagai pemenang, mengalahkan Megawati Soekarnoputeri dan KH Hasyim Muzadi yang diusung PDIP, Wiranto dan Solahuddin Wahid yang diusung Golkar, dan Amien Rais dan Siswono Yudhohusudo yang diusung PAN.

Pada Pilpres 2014 Golkar tak berhasil mengantarkan ketua umumnya, Aburizal Bakrie, menjadi calon presiden. Sebagai gantinya Golkar memberikan dukungan kepada duet Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Selain didukung Golkar, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa juga didukung Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan PBB. Sementara itu JK yang tak mendapat tiket capres atau cawapres dari Golkar memilih menjadi cawapres mendampingi capres Jokowi yang didukung PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI.

JK hanya salah satu contoh kader Golkar yang tangguh. JK dua kali menjadi Wakil Presiden meski tak didukung institusi Golkar. Masih banyak lagi kader-kader Golkar lain yang ulet dan berhasil menduduki posisi sebagai kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) walaupun tak diusung Golkar. Selain itu, tidak sedikit kader Golkar dari jalur ABG yang menyeberang ke partai lain dan meraih kesuksesan di partai barunya itu.

Jenderal TNI (Purn) SBY salah satu kader Golkar yang berasal dari jalur A. Jabatan terakhirnya di era Orde Baru adalah Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI. Di era reformasi SBY membidani kelahiran Partai Demokrat. Untuk pertama kalinya Partai Demokrat menjadi peserta Pemilu 2004 dan berhasil menduduki posisi lima besar. Pada Pemilu 2009 Partai Demokrat menjadi jawara. Sedangkan pada Pemilu 2014 Partai Demokrat nongkrong di urutan keempat. Berkat dukungan Partai Demokratlah SBY dua kali terpilih menjadi Presiden pada periode 2004-2009 dan 2009-2014. Tanggal 30 Maret 2013 SBY secara aklamasi terpilih menjadi Ketua Umum DPP Partai Demokrat, menggantikan Anas Urbaningrum.

Kader Golkar lainnya yang berasal dari jalur G yang pindah ke PDIP adalah Tjahjo Kumolo. Mantan Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ini mengawali kariernya sebagai anggota DPR dari Golkar tahun 1987. Pada Pemilu 1992 ia terpilih lagi menjadi menjadi anggota DPR untuk masa bakti 1992-1997. Pada Pemilu 1997 Tjahjo berhasil terpilih lagi menjadi anggota DPR. Setelah Orde Baru tumbang pada Mei 1998, ia mundur dari Golkar, lalu bergabung ke PDIP. Dan pada Pemilu 1999 Tjahjo kembali menjadi anggota DPR dari PDIP. Selanjutnya secara beruntun pada Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 Tjahjo terpilih menjadi anggota DPR.

Karier Tjahjo bersinar di PDIP. Ia dipercaya menjadi Ketua Fraksi PDIP DPR periode 2004-2009 dan 2009-2014. Tahun 2010 Tjahjo terpilih menjadi Sekretaris Jenderal DPP PDIP periode 2010-2015. Dalam Kabinet Kerja periode 2014-2019 Presiden Jokowi memberi kepercayaan kepada Tjahjo menjadi Menteri Dalam Negeri.

Kader Golkar lainnya yang diperhitungkan di pentas politik nasional adalah Surya Paloh. Ia pernah menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar periode 2004-2009. Setelah kalah melawan Aburizal Bakrie memperebutkan jabatan Ketua Umum DPP Golkar dalam Munas Golkar di Pekanbaru, Riau, 8 Oktober 2009, Surya lalu mendirikan ormas Nasional Demokrat (Nasdem) yang kemudian berubah menjadi partai politik. Partai Nasdem menjadi peserta Pemilu 2014 dan berhasil lolos ke Senayan dengan meraih 6,72%. Nasdem bergabung dengan PDIP untuk mendukung duet Jokowi-JK dalam Pilpres 2014. Pilihan Nasdem tepat, karena Jokowi-JK memenangkan Pilpres 2014.

Dua kader Nasdem yang juga mantan kader Golkar, yakni Ferry Mursidan Baldan dan Siti Nurbaya, terpilih menjadi menteri dalam Kabinet Kerja. Ferry yang mantan Ketua Umum PB HMI mengawali kariernya sebagai anggota MPR mewakili organisasi pemuda/mahasiswa. Ia pernah menjadi Sekjen DPP AMPI pada periode 1998-2003 dan Ketua DPP Kosgoro periode 1994-1999. Pada Pemilu 1997 Ferry pertama kali menjadi anggota DPR dari Golkar untuk periode 1997-1999. Selanjutnya ia kembali menjadi anggota DPR pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Namun, pada Pemilu 2009 Ferry gagal menjadi anggota DPR. Ia kemudian keluar dari Golkar, dan hijrah ke Nasdem. Minggu, 26 Oktober 2014 Presiden Jokowi menunjuknya menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Sementara itu Siti Nurbaya mengawali karier sebagai pegawai negeri sipil di era Orde Baru. Siti pernah menjadi Wakil Kepala Bappeda Lampung dan Ketua DPD AMPI Lampung. Kariernya semakin moncer ketika pindah ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) tahun 1998, lalu menjadi Sekjen Depdagri. Selain itu Siti juga pernah menjadi Sekjen DPR. Tahun 2013 ia memutuskan berhenti sebagai pegawai negeri, dan begabung dengan Nasdem. Setahun setelah bergabung dengan Nasdem, Siti ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kader Golkar juga berada di Hanura. Ketua Umum DPP Hanura Jenderal TNI (Purn) Wiranto adalah mantan Panglima ABRI periode 1998-1999 adalah kader Golkar dari jalur A. Wiranto pemenang konvensi capres Partai Golkar 2004. Namun, sayang, ia kalah dalam Pilpres 2004 melawan SBY. Setelah kalah dalam Pilpres 2004, Wiranto kemudian mendirikan Hanura.

Salah seorang ketua DPP Hanura juga kader Golkar, yakni Yuddy Chrisnandi. Yuddy pernah menjadi anggota DPR dari Golkar pada periode 2004-2009. Ia lalu hijrah ke Partai Hanura. Presiden Jokowi memberi kepercayaan kepada Yuddy menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Kader Golkar lainnya yang menyeberang ke partai lain adalah Letjen TNI (Purn) Prabowo. Di masa Orde Baru Prabowo pernah menjabat Danjen Kopassus. Ia pernah mengikuti konvensi capres Partai Golkar tahun 2004, tapi kalah melawan Wiranto. Setelah itu Prabowo mendirikan Partai Gerindra.

Kader-kader Golkar juga menyebar di PPP, PAN, PKS, PKB, dan lain-lain. Kader Golkar yang berada di PPP adalah Letjen TNI (Purn) Yunus Yosfiah. Ia pernah menjadi Kepala Staf Sosial Politik ABRI. Yunus menduduki posisi Menteri Penerangan pada tahun 1998-1999. Kader Golkar yang bergabung dengan PAN adalah Mayjen TNI (Purn) Suwarno Adiwijoyo, mantan Asisten Kasospol ABRI dan tahun 1996 dan mantan Kapuspen ABRI. Kader Golkar di PKS adalah Komjen Pol (Purn) Adang Daradjatun yang pernah menjadi Wakil Kapolri. Sementara itu kader Golkar yang berada di PKB adalah Ali Masykur Musa. Ia aktif sebagai Ketua Generasi Muda Kosgoro tahun 1997-1999. Ali pernah menjadi anggota DPR dari PKB pada periode 1999-2004 dan 2004-2009. (Arief Rahman Hakim )

Related posts