Jumat, 26 April 24

Negara Kewirausahaan, Refleksi Pemulihan Ekonomi Indonesia

Negara Kewirausahaan, Refleksi Pemulihan Ekonomi Indonesia
* Andi Rahmat

Oleh: Andi Rahmat, Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Istilah negara kewirausahaan (Entreprenuerial State) diperkenalkan kali pertama oleh Mariana Mazzucatto, Profesor Ekonomi di University College of London, dalam bukunya yang berjudul sama. Dalam istilah Mariana, negara merupakan “key actors that has been an investor of first resort”.

Dalam bukunya itu, Marianna membongkar apa yang disebutnya sebagai mitos tentang kontribusi pengusaha dan bisnis rintisan sebagai penggerak inovasi. Sebaliknya, inovasi dirupakan proses kolektif, dimana institusi publik (baca : negara) memainkan peran yang sangat penting (Marianna Mazzucato, The Entreprenuerial State, Debunking Public vs Private Sector Myths, Anthem Press, 2013).

Memahami fungsi penting negara (baca : Institusi Publik ) dalam inovasi, pemahaman Marianna akan membantu kita memahami mengapa penciptaan kekayaan (wealth creation) seringkali terdistribusi secara tidak tepat, atau dengan kata lain melalui mekanisme yang tidak pas (dysfunctional ways).

Dengan mengutip Mazzucatto, saya sesungguhnya tidak sedang mengatakan bahwa negaralah yang paling determinan dalam menciptakan inovasi. Tetapi tulisan ini sebetulnya menghendaki dan mendorong agar negara mengambil peran yang lebih aktif dalam mendorong inovasi. Juga menciptakan talenta kewirausahaan. Ketimbang menganggap bahwa aktor swasta atau non-negara dibiarkan menjalankan fungsinya itu tanpa perlu peran aktif negara.

Amerika Serikat dan China adalah dua contoh klasik dalam hal ini. Amerika memiliki Silicon Valley dan China memiliki Shenzen. Institusi publik di dua negara itu berperan besar dalam melapangkn jalan bagi inovasi. Negara seringkali merupakan garda terdepan pada pengembangan inovasi lanjutan.

Internet merupakan contohnya yang menonjol. Pada mulanya dikembangkan sebagai sistem komunikasi di Departemen Pertahanan AS. Dalam pengembangan berikutnya, telah menjadi kenyataan hidup sehari-hari manusia. Alghoritma pencarian Google, pada mulanya dikembangkan dan dibiayai oleh Hibah dari National Science Foundation. GPS, aktivasi Suara merupakan teknologi yang mulanya dikembangkan dan dibiayai oleh Departemen Pertahanan AS.

China pun demikian. Pengembangan Artificial Inteligent (AI), Mobil Listrik, Drone, Pengenalan Wajah (Face Recognition), Sistem Pembayaran Digital, Teknologi dan Infrastruktur 5G, Komputasi Kuantum , dan banyak yang lain. Semuanya memperoleh hibah dana dan difasilitasi langsung Institusi Publik China.

Singapura mempelopori upaya luas dalam merangsang inovasi dan merubah wajah bisnis Singapura menjadi garda terdepan pengembangan bisnis berbasis teknologi maju. Global Talent Competitive Index (GTCI) menempatkan Singapura pada peringkat 2 dunia sebagai negara dengan ketersediaan talenta teknologi. Singapura telah berkembang menjadi pusat pengembangan bisnis cyber security dunia.

Singapura adalah negara paling menarik untuk memulai bisnis inovatif dan berbasis teknologi. Pada tahun 2017, menurut lembaga pemeringkat “start up“ yang berbasis di Berlin, Nestpick, Singapura menjadi tempat terbaik untuk bisnis rintisan mengalahkan 80 negara lain, termasuk china dan Amerika.

Peran negara dalam merangsang lahirnya inovasi, yang pada gilirannya membiakkan lahirnya kultur kewirausahaan sungguh sangat besar. Peran itu bersifat tradisional dan inheren dalam “negara”. Baik negara dalam pengertian “negara-bangsa” paska Westphalian maupun “ negara” sebelum Westphalian.

Justin Mirozzi didalam bukunya yang cukup tebal, “Islamic Empires; Fifteen Cities That Define A Civilization” (Penguin, 2019), merekam peran kuat “negara” dan penguasa dalam merangsang inovasi. Juga menciptakan bisnis dan menumbuhkan peradaban.

Mirozzi sendiri tidak secara khusus membicarakan konsep “negara kewirausahaan” didalam bukunya itu. Tetapi penceritaan terhadap kota-kota seperti, Baghdad, Isfahan, Cordoba, Fez, Damaskus menunjukkan kuatnya pengaruh penguasa dalam menumbuhkan kota, dan ekonomi aglomerasi berbasis inovasi yang berkembang pesat di kota-kota tersebut.

Peran penting negara itu terletak pada keberpihakannya pada inovasi dan penumbuhan kultur kewirausahaan. Pada bidang inovasi, peran itu terletak pada keseriusan institusi publik untuk menginisiasi riset dan pengembangan teknologi berbasis sains aplikatif. Keseriusan itu terlihat pada alokasi anggaran dan keberanian negara mengambil resiko kegagalan dalam upaya inovatif.

Dalam penumbuhan kultur kewirausahaan, peran negara itu terletak pada pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap warganya untuk melakukan kegiatan usaha. Kesempatan yang luas itu berupa penciptaan pasar usaha yang symetris, non monopolistik dan oligopolistic. Juga memerangi kartelisme dalam penguasaan kue ekonomi.

Termasuk juga pada penyederhanaan regulasi dan hambatan usaha. Pada tingkat tertentu, perlu subsidi terhadap upaya inovatif bisnis rintisan yang bertujuan untuk merangsang pengambilan resiko dalam memulai bisnis.Catatan kami menunjukkan bahwa dalam dua peran penting negara inilah yang menjadi kelemahan fundamental kita selama ini.

Unesco menyebutkan, alokasi riset tahun 2018 di Indonesia baru 0,3% dari total PDB. Jauh dibawah Korea, Jepang,Singapura dan China yang berada di atas 2% dari PDBnya. Menristekdikti menyebutkan peningkatan anggaran riset dari tahun 2016 ke tahun 2018 hanya berkisar 0,03% dari PDB. Pada tahun 2019, alokasi APBN terhadap riset berjumlah Rp. 35,7 trilliun, yang tersebar diberbagai institusi publik.

Isu utamanya adalah upaya kreatif untuk menyambungkan alokasi anggaran riset itu pada penerapan aplikatifnya bagi sektor bisnis. Fokus yang memadai pada riset garda depan, yang berhubungan dengan pengembangan lanjut disektor bisnis membutuhkan keberpihakan negara. Kongkritnya, terutama dan pada tahap permulaan adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan institusi publik.

Regulasi pemenuhan kebutuhan dalam negeri yang selama ini dianut, belum menempatkan riset dan pengembangan sebagai “champion” dalam pemenuhan lokal konten. Hal itu dapat dibuktikan dalam alokasi riset pengembangan yang masih minim, kalau tidak dikatakan tidak dipersyaratkan sama sekali, pada perencanaan kebutuhan institusi publik.

Kementerian Risettek, yang merupakan garda terdepan pengembangan teknologi, untuk tahun 2020, hanya bisa mengalokasikan Rp 1,46 triliun untuk riset dan pengembangan. Ini saja sudah menunjukkan level keseriusan kita dalam mempersiapkan infrastruktur persaingan global Indonesia.

Indonesia, ratio kewirausahaan barulah berkisar 7% dari total populasi. Jauh dibawah angka 14% yang menjadi “treshhold” dalam ratio kewirausahaan yang dianggap kompetitif. Dalam laporannya ditahun 2019, Global Talent Competitiveness Indeks ( GTCI ) menempatkan Indonesia pada pada posisi ke 67 dengan skor kompetitif kewirausahaan 38,61.

Jauh di bawah Singapura yang berada diurutan kedua dengan skor 77,27, Australia diurutan 12, Malaysia diurutan 27, Brunei 36, Philipina 58 dan Thailand 66. Indeks GTCI mengukur talenta kewirausahaan suatu negara dan kota-kota dinegara tersebut.

Didalam laporan yang sama, talenta kewirausahaan dianggap merupakan komponen kritis dari kemampuan kompetitif dan inovasi. Tetapi yang menggelisahkan, mengutip William Boumol, talenta kewirausahan terlalu sering disia-siakan. Juga semakin menderita disebabkan misalokasi massif yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak efisien dan struktur organisasional yang tidak familiar dengan pengambilan resiko (GTCI 2019, Insead, 2019).

Padahal, talenta kewirausahaan yang sesungguhnya merupakan kombinasi dari kreatifitas, inovasi, fleksibilitas. Adaptasi dan pengambilan resiko, merupakan kunci penentu dalam “global scramble for prosperity”, dimana keterampilan kewirausahaan makin langka dan gelombang tren perubahan yang semakin cepat dan ketat.

Mengimplementasikan suatu konsepsi “entreprenuerial state “ menjadi suatu tantangan tersendiri bagi upaya pemulihan ekonomi. Diantara objektif yang seyogyanya terdefinisi secara nyata dalam kebijakan pemulihan ekonomi nasional adalah perbaikan rasio kewirausahaan Indonesia.

Sudah selayaknya para pengambil kebijakan memasukkan ini dalam tujuan kebijakannya. Seperti yang pernah dilakukan, dan sekarang telah menjadi parameter baku dalam pembahasan Nota Keuangan Pemerintah setiap tahun. Tujuan pelaksanaan APBN dinyatakan dalam pencapaian target penurunan angka kemiskinan dan rasio penciptaan lapangan kerja. Target penumbuhan kewirausahaan juga selayaknya menjadi parameter penting dalam perencanan dan pelaksanaan APBN.

Indonesia akan segera memasuki ledakan demografi. Oleh banyak pihak dianggap sebagai “masa emas” perekonomian suatu bangsa. Memasuki masa ini dengan berbekal rendahnya rangsangan inovatif dan rendahnya rasio kewirausahaan, tidak saja akan membuat kita tidak bisa mengambil manfaat besar.

Kondisi ini juga akan membuat kita selamanya tidak bisa mencapai puncak performa yang diperlukan untuk melepaskan diri dari “middle income trap” dan menjadi negara maju. Bukan sekedar “emerging country”. Wallahu ‘alam bishawab.

Penulis adalah Pelaku Usaha dan Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.