Rabu, 1 Mei 24

Mudik Lebaran Tidak Perlu Dijadikan Polemik

Mudik Lebaran Tidak Perlu Dijadikan Polemik
* Zainut Tauhid Sa’adi. (Dok. Humas Kemenag)

Oleh: Zainut Tauhid Sa’adi, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat

 

Mudik atau perjalanan ke kampung halaman telah menjadi tradisi dan fenomena yang selalu terjadi di setiap kali Lebaran tiba.

Ada yang beranggapan mudik sangat diwajibkan karena saatnya bersilaturahmi dengan keluarga, atau salah satu bentuk bakti terhadap orangtua dan saudara. Ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah tradisi, dan tidak ada keharusan dalam Islam.

Bagaimana sebenarnya mudik jika dilihat dari pandangan agama Islam? Apakah mudik berlandaskan atas kesadaran religiusitas dalam hal ini agama atau sekadar budaya?

Dalam memaknai mudik lebaran ini umat Islam tidak perlu menjadikan polemik atau pro kontra, apalagi saling menyalahkan sehingga menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Mudik lebaran memang tidak masuk katagori ibadah _mahdhah_ atau ibadah yang sudah ditentukan aturannya dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, seperti shalat, zakat, dan haji.

Mudik lebaran itu masuk dalam katagori ibadah ghairu mahdhah yang diartikan sebagai ibadah yang tidak ditentukan aturannya baik di al-Qur’an maupun al-Hadits. Tetapi mudik masuk sebagai perbuatan yang bisa mendatangkan kebaikan, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sehingga jika dilaksanakan dengan niat ikhlas karena Allah SWT, maka bisa mendatangkan pahala. Contoh ibadah ghairu mahdhah lainnya seperti belajar, mencari nafkah untuk keluarga, menolong sesama yang sedang dalam kesulitan, dan lain sebagainya.

Jadi menurut saya sebaiknya mudik Lebaran tidak perlu dijadikan polemik karena dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Bagi yang setuju silakan melaksanakan, bagi yang tidak setuju tidak usah menyalahkan. Karena hal tersebut tidak akan merusak keimanan kita. Sehingga tidak ada manfaatnya untuk diperselisihkan.

Semua kembali kepada niatnya, jika niat mudik untuk membangun silaturahmi dengan orangtua, saudara, kerabat dan teman-teman, tidak melakukan kezaliman, meninggalkan salat dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama, Insya Allah mudiknya membawa manfaat dan mendapat pahala.

Tapi jika niat mudiknya karena ingin pamer kekayaan, kesuksesan dan keberhasilan, melakukan perbuatan dosa seperti mabuk-mabukan, menipu, menzalimi orang, meninggalkan kewajiban salat dan lainya, maka mudiknya tidak mendatangkan pahala apa-apa bahkan berdosa.

Momen mudik yang merupakan salah satu bentuk budaya yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, justru menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

Rasulullah SAW sendiri pernah merasakan rindu pada Makkah, kota kelahirannya. Hal itu terungkap dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam at-Tirmizi yang dilukiskan dengan indah jalinan cinta yang kuat antara Rasulullah SAW dengan kota kelahirannya, Makkah :

“Betapa indahnya engkau wahai negeriku (Makkah). Betapa saya sangat cinta kepadamu. Sekiranya kaumku tidak mengusirku darimu, niscaya aku tidak akan tinggal di tempat lain selainmu.’’

Ucapan ini dilontarkan saat Rasulullah meninggalkan kota kelahirannya, Makkah, dengan berlinangan air mata.

Rasulullah terpaksa hijrah ke Madinah karena tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy.

Hadis ini menggambarkan betapa dalam cinta Rasulullah kepada tanah kelahirannya.

Profesor Quraish Shihab pernah mengatakan mudik bukan sekadar pulang kampung, mudik adalah sebuah perjalanan spiritual yang penuh kelezatan rohani. Mudik adalah kelezatan rohani yang tiada tara.

Itulah alasan orang-orang rela menempuh perjalanan jauh, menghabiskan waktu dan biaya, demi merasakan kembali kehangatan keluarga dan kampung halaman.

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.