Jumat, 26 April 24

Ketika Aspirasi Dijawab dengan Peluru Tajam

Ketika Aspirasi Dijawab dengan Peluru Tajam
* Pangdam Jaya Try Sutrisno (kiri) dan Panglima ABRI LB Moerdani tahun 1984.

(Lembaran Putih Tragedi Berdarah 12 September 1984 di Tanjung Priok)

Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah

DUA BELAS September 33 tahun yang lalu, darah tumpah di Tanjung Priok. Sejumlah rakyat tidak berdosa tewas dan luka-luka ringan dan berat.

Secara sepihak, Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Jenderal L.B. Moerdani mengumumkan jumlah korban tewas hanya 9 orang, suatu angka yang diragukan oleh banyak pihak.

Salah satu yang meragukan keterangan Panglima ABRI itu ialah Kelompok Petisi 50, sebuah kelompok oposisi terhadap rezim Orde Baru Soeharto yang terdiri atas para purnawirawan perwira tinggi tentara, purnawirawan perwira tinggi polisi, politisi sipil, dan aktivis mahasiswa.

Membentuk Panitia Kecil
Sehubungan dengan Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984 itu, Kelompok Petisi 50 menyelenggarakan pertemuan “Petisi 50 yang Diperluas”, khusus guna membicarakan tragedi berdarah di Tanjung Priok. Pertemuan yang melibatkan beberapa warga negara non-Petisi 50 itu dipimpin oleh Letnan Jenderal TNI (Purn) H. R. Dharsono (non-Petisi 50).

Pertemuan menyepakati pembentukan Panitia Kecil untuk mengumpulkan bahan-bahan di sekitar tragedi berdarah Tanjung Priok, dan merumuskan sikap terhadap kejadian tersebut. Panitia Kecil diketuai oleh H. R. Dharsono dengan para anggota Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Ir. Slamet Bratanata, Dr. Anwar Harjono, S.H., dan Drs. A. M. Fatwa.

Pada praktiknya, Letnan Jenderal Marinir (Purn) H. Ali Sadikin dan Marsekal Pertama (Purn) Soejitno Sukirno selalu hadir dalam rapat-rapat Panitia Kecil, sehingga Panitia Kecil dalam praktiknya bukan 5 orang melainkan 7 orang.

Beberapa orang yang dianggap mengetahui rincian kronologi tragedi berdarah Tanjung Priok diundang dalam rapat Panitia Kecil untuk didengar keterangannya.

Panitia Kecil inilah yang merumuskan dan mengeluarkan “Lembaran Putih Peristiwa 12 September 1984 di Tanjung Priok.”

Musibah di Dalam Musibah
Menurut Lembaran Putih, kejadian-kejadian yang berlangsung di Tanjung Priok sudah diakui sebagai suatu musibah. “Akan tetapi,” demikian Lembaran Putih, “musibah di dalam musibah itu adalah kesepihakan keterangan yang disiarkan oleh pihak yang berwajib.”

Menurut Lembaran Putih, hanya dengan memperbaiki kesepihakan itulah kita dapat menyadari musibah yang lebih besar dan lebih mendasar, yaitu sistem politik dan kondisi masyarakat yang mengantarkan peristiwa berdarah 12 September 1984 di Tanjung Priok.

Penyimpangan Kekuasaan
Lembaran Putih berpendapat, insiden Tanjung Priok sesungguhnya sekadar “penyulut” (trigger) yang meledakkan ketegangan yang sudah lama membara di bawah permukaan stabilitas semu.

Sebab-sebab keresahan itu, menurut Lembaran Putih dapat dikembalikan kepada satu sumber, yaitu penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara dari isi dan jiwa UUD 1945 yang memuncak pada satu paket lima Rancangan Undang-undang (RUU) tentang “penataan” kehidupan politik, terutama gagasan asas tunggal Pancasila.
Beberapa bulan sebelum peristiwa berdarah di Tanjung Priok, Kelompok Kerja Petisi 50 mengumumkan pendiriannya bahwa paket lima RUU yang mengatur kehidupan politik di tanah air (1. RUU Perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum, 2. Perubahan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, 3. Perubahan Undang-Undang Partai Politik dan Golongan Karya, 4. Referendum, 5. dan Organisasi Kemasyarakatan), bukan saja bertentangan dengan UUD 1945 tetapi juga menggoyahkan eksistensi negara Republik Indonesia sebagai negara hukum.

Lebih lanjut Lembaran Putih mencatat: “Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa terjadi penyimpangan penguasa dalam pengamalan ketentuan-ketentuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam pada itu, rakyat tidak berdaya mengubah keadaan melalui cara yang demokratis.

Dengan demikian, musibah 12 September 1984 di Tanjung Priok bukan kejadian yang berdiri sendiri, ia adalah akibat dari sistem yang berlaku.”

Menutup pendiriannya, Lembaran Putih menganjurkan: “Demi keadilan bagi semua pihak, termasuk bagi pemerintah sendiri, sebaiknya dibentuk suatu komisi bebas (independen) untuk mengumpulkan keterangan yang jujur mengenai kejadian September 1984 di Tanjung Priok. Laporan komisi itu harus diumumkan kepada khalayak ramai, supaya semuanya dapat menarik pelajaran daripadanya.”

Lembaran Putih yang dikeluarkan di Jakarta pada 17 September 1984, ditandatangani oleh 22 orang, yaitu: Azis Saleh, H.R. Dharsono, Suyitno Sukirno, Ali Sadikin, Hoegeng, Sjafruddin Prawiranegara, Darsjaf Rahman, Wachdiat Sukardi, Boerhanoeddin Harahap, Abdulrahman Sy, Slamet Bratanata, H.M. Sanusi, Bakri A.G. Tianlean, D. Ch. Suriadiredja, M. Muin, M. Radjab Ranggasoli, M. Amin Ely, Anwar Harjono, A.M. Fatwa, H. Hamzah Hariandja, N.P. Siregar, dan Sofwan AM.

Tiga Penandatangan Ditangkap
Alih-alih memenuhi anjuran Lembaran Putih, tiga orang penandatangan Lembaran Putih malah ditangkap dan dipenjara.

Menteri Perindustrian, Tekstil, dan Kerajinan Rakyat (1966-1968), Ir. H.M. Sanusi dituduh mendalangi dan membiayai peledakan gedung Bank Central Asia (BCA) dan jembatan Metro, Glodok. Generasi pertama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan tokoh Muhammadiyah itu dihukum penjara 19 tahun.

Bekas pejabat di pemerintah provinsi DKI Jakarta yang juga alumni HMI dan Pelajar Islam Indonesia (PII), A.M. Fatwa dihukum 18 tahun. Di era reformasi, sesudah direhabilitasi oleh Presiden B.J. Habibie, Fatwa aktif di Partai Amanat Nasional (PAN), terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menjadi pimpinan DPR-RI, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-RI, dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI.
Mantan Pangdam Siliwangi, Letjen TNI (Purn) H.R. Dharsono dihukum 7 tahun.

Fatwa dan Dharsono dituduh merancang sebuah aksi teror dengan menjadikan peristiwa Tanjung Priok sebagai modal.

Ketika membacakan tuntutan terhadap mantan Sekretaris Jenderal ASEAN, H.R. Dharsono, jaksa menyebut-nyebut akan mengajukan Letnan Jenderal Marinir (Purn) H. Ali Sadikin, Dr. Anwar Harjono, Ir. Slamet Bratanata, dan Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso sebagai terdakwa dalam perkara tersendiri.

Menurut A. M. Fatwa, jaksa yang menuntutnya malah menyebut lebih banyak nama yang akan diajukan sebagai terdakwa dalam perkara tersendiri. Mereka antara lain Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Boerhanoeddin Harahap, Marsekal Pertama (Purn) Soejitno Sukirno, Mayor Jenderal TNI (Purn) dr. H. Azis Saleh, dan Drs. Radjab Ranggasoli.

Tokoh-tokoh yang namanya sudah disebut-sebut oleh jaksa itu, ternyata tidak ada satupun yang diajukan ke pengadilan. Patut diduga, betapapun kuatnya, rezim Orde Baru tetap mempertimbangkan komplikasi politik yang bakal terjadi jika ngotot menyeret tokoh-tokoh populer itu ke pengadilan.

Meskipun demikian, kita tetap berharap semoga sekarang dan di masa datang, tragedi berdarah seperti di Tanjung Priok 33 tahun yang silam –ketika aspirasi rakyat dihadapi dengan peluru tajam– tidak terjadi lagi. (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.