Kamis, 2 Mei 24

Kasus Firli Bahuri, Jokowi Harus Belajar dari Negara Antikorupsi

Kasus Firli Bahuri, Jokowi Harus Belajar dari Negara Antikorupsi
* Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri (kanan). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom)

Obsessionnews.com – Awal tahun 2023 pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapat kado buruk soal pemberantasan korupsi, di mana Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia terjun bebas dari skor 38 menjadi skor 34 atau berada di peringkat 110 dari 180 negara.

Menurut catatan Transparency International Indonesia (TI-Indonesia), peringkat Indonesia kini berada di posisi sepertiga negara terkorup di dunia dan jauh di bawah rata-rata skor CPI di negara Asia-Pasifik, yaitu 45.

 

Baca juga: Presiden Perlu Sikapi Serius, Firli Bahuri Harus Mundur

 

Dalam laporannya TII menyampaikan skor IPK Indonesia pada 2022 adalah 34/100.

Skor itu memperlihatkan penurunan dari pencapaian IPK pada 2021 yang meraih 38/100. Posisi Indonesia di Asia Tenggara berada jauh di bawah Singapura, Malaysia, Timor Leste, Vietnam, dan Thailand.

Menurunnya IPK Indonesia merupakan kedua kali di masa pemerintahan Jokowi. Sebelumnya juga pernah terjadi pada tahun 2020 di mana perolehan skor IPK merosot menjadi skor 37 dari skor 40 di tahun 2019.

Sempat IPK naik kembali di tahun 2021. Namun, kembali terjun bebas tahun 2022. Itu berarti perkembangan peringkat korupsi Indonesia di era Jokowi bisa dikatakan kembali ke titik nol, karena posisi peringkatnya sama dengan diawal pemerintahannya tahun 2014.

Tak hanya itu, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2023 sebesar 3,92, menurun dibandingkan IPAK 2022.

Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2022 sebesar 3,93.

Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi, sedangkan nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.

Situasi ini tak terlalu mengejutkan karena komitmen Jokowi terhadap pemberantasan korupsi memang semakin surut. Hal ini terefleksi dari prioritas kerja Jokowi 2019-2024 yang tak lagi menyinggung soal pemberantasan korupsi.

Bertolak belakang dengan agenda Nawacita yang diusung pada awal jabatannya di mana secara detail disebutkan “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya”.

Surutnya prioritas kerja terhadap pemberantasan korupsi pada akhirnya terkonfirmasi ketika teriadi revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan rekayasa Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap para pegawai KPK.

Langkah berani yang diharapkan lahir dari Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk menyelamatkan KPK akhirnya tak pernah hadir.

Bahkan temuan Ombudsman tentang adanya maladministrasi dalam TWK juga tak membuat Jokowi membatalkan TWK.

Bahkan belakangan aparatur penegak hukum justru mempertontonkan lemahnya integritas, misalnya saja pengunduran diri Lili Pintauli sebagai Wakil Komisioner KPK karena diduga kuat menerima gratifikasi dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menonton gelaran Moto GP Mandalika.

Terbaru ditetapkannya Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya atas kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak mengatakan, penetapan tersangka tersebut dilakukan dalam gelar perkara yang dilakukan di Polda Metro Jaya (22/11/2023) pukul 19.00 WIB.

“Ditemukan bukti yang cukup untuk menetapkan Saudara FB selaku Ketua KPK RI sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi atau penerimaan hadiah atau janji oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya,” kata Ade kepada wartawan di Polda Metro Jaya (22/11).

Ade memaparkan pasal apa yang dituduhkan kepada Firli. “Pasal 12 e, 12 B atau pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 65 KUHP,” tuturnya.

Ade lalu menjelaskan bentuk hukuman yang termuat dalam Pasal 12 B ayat 2. Dia mengatakan hukuman maksimal dari jeratan pasal ini adalah hukuman seumur hidup.

“Di ayat 2 disebutkan, bahwa pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud ayat satu, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara Paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp1 miliar,” katanya.

Ini bukan pertama kali Firli berjibaku dengan persoalan hukum. Sebelumnya ia juga pernah dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan pelanggaran etik dan kepolisian atas dugaan menerima gratifikasi.

Sederet kasus yang pernah melibatkan Firli, di antaranya pada April 2023, Firli dilaporkan ke Dewas KPK karena mencopot Direktur Penyelidikan KPK Endar Priantoro dari jabatannya.

Menurut Endar pencopotan dirinya cacat administrasi.

Endar dan kelompok masyarakat juga melaporkan Firli atas dugaan pembocoran dokumen penyelidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun anggaran 2020 – 2022. Terdapat bukti pengakuan dan dokumen elektronik.

Namun, pada Juni 2023 Dewas KPK menyimpulkan tak cukup bukti melanjutkan kasus Firli ke sidang etik. Dalam kasus ini, Firli juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas tuduhan membocorkan rahasia negara.

Tapi belum ada kelanjutannya.

November 2022 Firli menemui Gubernur Papua Lukas Enembe yang menjadi tersangka kasus korupsi di KPK. Pertemuan ini dianggap sejumlah kalangan melanggar Pasal 36 UU KPK, di mana pimpinan KPK dilarang bertemu dengan orang-orang yang sedang berperkara.

Namun, Ketua Dewas Tumpak Hatorongan Panggabean menilai tidak ada pelanggaran kode etik dalam pertemuan ini.

Juni 2021 Firli dipanggil Komnas HAM atas dugaan pelanggaran HAM dalam proses tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK. Tapi, Firli tidak memenuhi panggilan tersebut.

Ini menyusul laporan 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Pegawai mengadu ke Komnas HAM karena menganggap tes itu melanggar HAM.

Juni 2021, ICW melaporkan Firli ke Bareskrim Polri atas dugaan penerimaan gratifikasi penggunaan helikopter untuk kunjungan pribadi.

Peristiwa penggunaan helikopter yang dianggap gaya hidup mewah terjadi pada Juni 2020.

Dalam laporannya, ICW menduga ada selisih harga dari sewa helikopter antara yang dilaporkan Firli kepada Dewas dengan harga sebenarnya sebesar Rp100 juta. Dalam putusan ke Dewas, Firli disanksi teguran.

Pada Januari 2020 nama Firli sempat muncul dalam persidangan kasus dugaan suap Bupati Muara Enim, Sumatra Selatan, Ahmad Yani.

Dalam eksepsinya, Ahmad mengatakan pernah bertemu dengan Frili di rumah dinas Firli saat menjadi Kapolda Sumatera Selatan (31 Agustus 2019).

Disebutkan ada sejumlah uang yang dipergunakan sebagai pemberian kepada Kapolda Sumatra Selatan Irjen Firli Bahuri apa yang disebut sebagai “uang simbol pertemanan”.

Firli mengakui pernah bertemu Ahmad Yani. “Saya boleh bertemu sama siapa saja. Yang jelas, tidak ada sesuatu (korupsi), kecuali bertemu,” katanya dilansir dari Tempo.

Sikap Jokowi terhadap Firli

Presiden Jokowi akan memberhentikan sementara Firli  sebagai Ketua KPK. Hal itu bakal dituangkan dalam surat keputusan presiden (keppres).

Koordinator Staf Khusus (Stafsus) Presiden Ari Dwipayana menjelaskan, lama waktu pemberhentian sementara. Status hukum itu bakal berubah setelah ada keputusan dari pengadilan.

“Dalam undang-undang juga sudah diatur ketika sudah menjadi terdakwa misalnya, ada perubahan status terhadap pemberhentian sementara (menjadi tetap),” ujar Ari dalam konferensi pers di Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg), Jakarta Pusat (24/11).

Ari belum dapat membeberkan keberlanjutan pemilihan ketua KPK tetap. Ia hanya menyampaikan bahwa keppres pemberhentian sementara Firli akan diteken Presiden Jokowi saat tiba di Jakarta.

Presiden, kata Ari, saat ini masih melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Papua Barat. Kemudian dilanjutkan ke Kalimantan Barat (Kalbar) untuk membuka Kongres himpunan Mahasiswa Islam (HMI) XXXII.

“Rencananya malam hari nanti beliau akan mendarat di Jakarta,” jelasnya.

Diketahui, aturan pemberhentian tetap ketua KPK tercantum dalam Pasal 32 ayat 1 poin d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Aturan itu berbunyi menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.

Sejumlah tokoh dan lembaga meminta Firli mundur dari jabatannya setelah telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.  Salah satunya Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto. Ia menyebut Undang-Undang KPK sebagai alasan.

“Sebaiknya mundur saja, karena kalau sudah dilimpahkan ke pengadilan, sesuai dengan Undang-Undang KPK yang bersangkutan akan berhenti total,” tegas Agus dikutip dari Tempo.

Sementara itu peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengatakan, pemberhentian sementara Ketua KPK Firli Bahuri tak perlu menunggu perlawanan hukum penetapan tersangka di Polda Metro Jaya.

“Norma dalam pasal 32 ayat (2) UU 19/2019 tentang KPK sudah sangat jelas,” terangnya.

Ia mengatakan, saat ini yang dibutuhkan adalah komitmen dan keseriusan semata dari Presiden Jokowi.

“Firli sudah segera diberhentikan. Tak ada alasan yang cukup untuk menunda SK pemberhentiannya. Bahkan kalau presiden serius, 15 menit SK (surat keputusan) itu bisa dia keluarkan,” kata Herdiansyah.

Indonesia Harus Belajar!

Selama masih ada korupsi di negeri ini, rasanya akan sulit melihat Indonesia berhasil mewujudkan cita-cita kemerdekaannya: Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Namun, semua masih belum terlambat. Masa depan yang cerah menanti di hadapan kita. Upaya pemberantasan korupsi harus terus digalakkan dibarengi dengan strategi pencegahan dan pendidikan dalam Trisula Pemberantasan Korupsi KPK.

Selain itu upaya penindakan yang dilakukan secara tegas dan tidak pandang bulu. Bukan hanya untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan memberikan efek menakutkan (deterrent effect) pada yang berbuat, tetapi penindakan juga sangat penting untuk menyelamatkan uang negara dan mengembalikan kerugian negara.

Kemakmuran di sebuah negara dapat terwujud jika korupsi yang perlahan menggerus kesejahteraan rakyat bisa dihapuskan.

Terdengar klise? Tidak juga. Hal ini sudah terbukti di tiga negara yang selalu menempati posisi pertama pada Indeks Persepsi Korupsi, yakni Denmark, Finlandia, dan Selandia Baru. Kondisi mereka sejahtera, makmur, aman dan sentosa. (Gia)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.