Jumat, 17 Mei 24

Masih Soal Alexis, Garuda Muda di Hardiknas

Masih Soal Alexis, Garuda Muda di Hardiknas
* Roy Suryo. (Foto: Edwin B/obsessionnews.com)

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen, Mantan Menpora RI

 

Saat saya (sengaja) menulis judul tulisan sebelumnya dengan kata ALEXIS, rupanya artikel tersebut – dalam pantauan komen di berbagai WAG dan situs online yang memuatnya – relatif jauh lebih “meriah” dibanding artikel-artikel sebelumnya, mirip-mirip ketika saya menulis soal “Modus Pencurian dan Penggelembungan Suara” beberapa waktu lalu, yang juga mendapat respons cukup banyak dari pembaca. Memang lucunya, komen juga bukan berasal dari pihak-pihak yang selama ini punya konsentrasi terhadap topik-topik kecurangan Pemilu, kejahatan rezim, teknologi dan olahraga yang biasa saya tulis, namun juga dari para “member” bangunan tinggi yang dulu dicat cukup mencolok alias “eye catching” tersebut.

Mulai dari cerita kendaraannya dulu sering tampak terparkir di sana, suasana lantai 5 sampai lantai 7 tempat “basis” bisnis utama Alexis, hingga nama-nama LC yang masih pada diingatnya, mewarnai berbagai komen tulisan sebelumnya. Bahkan ada yang sempat menduga apakah kekalahan Indonesia U-23 salah satunya diakibatkan karena “gangguan” para “alumnus” (dari Uzbek ?) yang foto-fotonya banyak beredar di berbagai platform sosial media hari-hari ini. Namun saya sekali lagi percaya skuad Timnas U-23 kita “bersih” atau bahkan tidak mengenal nama Alexis tersebut sebelum malah namanya viral akhir-akhir ini pasca kekalahannya 0-2 dengan skuad negara yang terletak di Asia Tengah dan berasal dari rumpun Persia tersebut.

Oleh karenanya Garuda Muda tidak perlu gusar akan berbagai komen sebelumnya, yang terpenting hari ini optimis tatap ke depan untuk pertandingan melawan skuad Irak yang kemarin dikalahkan Jepang dengan skor sama seperti ketika kita dikalahkan Uzbekistan 0-2 sebelumnya. Meski kapten Timnas U-23 Rizky Ridho tidak bisa bermain karena terkena kartu merah, namun penyerang andalan yang kemarin tidak turun gara-gara akumulasi kartu kuning, Rafael Struick, dipastikan bisa main. Memang kalau Justin Hubner masih ada dispute karena perbedaan pendapat antara AFC dan Indonesia soal akumulasi kartu kuningnya.

Perebutan tempat ketiga melawan Irak ini penting kalau Indonesia berniat mengikuti Olimpiade Paris 2024 mendatang, sebagaimana sejarah 68 tahun silam, saat kita bisa bermain di Olimpiade Melbourne 1956 dan sempat bisa menahan imbang skuad Uni Soviet 0-0, sebelum akhirnya dikalahkan 0-4 dalam pertandingan selanjutnya. Bahkan saat itu legenda sepak bola Indonesia Ramang hampir saja membuat Indonesia unggul pada menit ke-84 andai saja tendangannya tidak ditahan Lev Yasin, kiper Soviet yang dikenal luas sebagai kiper terhebat dalam sejarah sepak bola.

Jelas beda signifikannya, saat itu belum ada VAR (Video Assistant Referre) yang bisa menjadi “musuh” kita sebagaimana pertandingan melawan Uzbekistan, di samping kepemimpinan wasit yang tidak fair, Shen Yinhao. Masalahnya dalan pertandingan melawan Irak nanti wasit VAR yang kemarin juga “menggagalkan gol Muhammad Ferrari dan memberikan kartu merah kepada Rizky Ridho” adalah orang yang sama, yakni Sivakorn Pu-udom dari Thailand. Nama terakhir ini sekarang juga viral di berbagai platform media sosial  sebagai sosok yang dituding paling bertanggung jawab terhadap gagalnya Garuda Muda masuk Final di AFC Asia 2024 ini.

Tapi sebaiknya kita tidak usah mencari kambing hitam dan menyalahkan pihak lain, lebih baik evaluasi diri dan move on untuk bisa tampil lebih baik lagi. Jangan meniru rezim ini yang suka menggunakan modus yang sama apabila program-programnya banyak yang tidak tercapai, seperti menyalahkan El Nino, akibat perang Israel-Hamas, bencana alam di Eropa, dan sebagainya padahal keterpurukan ekonomi yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak tercapai dan krisis berbagai kebutuhan pangan sebenarnya terjadi akibat adanya salah manajemen yang ada, di samping faktor korupsi dan nepotisme yang semakin menjadi-jadi.

Hak di atas sangat ironis bila kita kembali mengingat keteladanan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, yang tanggal lahirnya 2 Mei 1889 di Pakualaman, Jogja, diabadikan sebagai “Hari Pendidikan Nasional” atau Hardiknas semenjak tahun 1959 bersamaan dengan pemberian gelar beliau sebagai Pahlawan Nasional. Pendiri Yayasan Perguruan Taman Siswa ini memang dikenal sangat lurus dalam memberikan petuah di dunia belajar-mengajar utamanya menerapkan etika dan budi pekerti sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam ilmu pendidikan. Karena jangankan korupsi dan nepotisme, soal-soal etika dan budi pekerti ini sekarang sudah banyak ditinggalkan oleh para oknum yang bertopeng pejabat dan penguasa negeri. Mereka tanpa tedeng aling-aling alias tidak malu mempertontonkan secara vulgar hal-hal yang sangat kontradiktif dengan ajaran Ki Hadjar.

Salah satu tulisan beliau yang paling terkenal adalah “Als ik een Nederlander was” artinya “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat dalam surat kabar De Expres 13 Juli 1913. Isi tulisan tersebut adalah “Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.”

Makna tulisan tersebut sangat mirip dengan yang sekarang sedang terjadi, di mana kondisi ekonomi sedang terpuruk namun ambisi pribadi untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, tampak sangat dipaksakan. Bahkan yang dibangun pertama adalah Istana bersama rumah-rumah pejabatnya, bukan perumahan rakyat yang sebenarnya adalah penyokong terbesar dana anggaran selama ini. Meski ada UU-nya, namun aturan yang diketok tidak lebih dari 80-an anggota DPR yang hadir secara fisik (meski saat itu memang sedang COVID) terasa sangat dipaksakan mengingat sebenarnya jumlah wakil rakyat kita adalah 575 orang. Jadi meski sebagai disebut-sebut “hadir secara online”, namun kita tahu semua bahwa yang “hadir” tersebut bisa jadi hanya TA-nya atau Aspri-nya yang menghidupkan komputer dan dianggap kuorum untuk menghasilkan UU yang sangat krusial, mirip-mirip dengan pengesahan UU Cilaka alias Cipta Kerja – yang kini banyak diprotes masyarakat – sebelumnya.

Kesimpulannya, tidak mudah menjadi pemimpin yang amanah, apalagi kalau kita ingat ajaran Ki Hadjar yang sangat legend: “Ing ngarsa sung Tulada, Ing madya mangun Karsa, Tut wuri Handayani” di mana kalau di depan itu memimpin, di tengah membangun kebersamaan dan di belakang mengikuti. Bukan ketika contohnya kemarin saat ribuan buruh menagih janjinya untuk diterima secara baik (karena katanya “kangen didemo), malahan ngacir alias menghindar jauh ke tempat lain, meski seolah-olah memberikan statemen “mendukung”. Ini dalam ajaran Jawa disebut lamis, alias hanya lip service saja. At last but not least, ayo Shin Tae-yong tidak usah ikut-ikutan lamis, wujudkan saja janji untuk bisa membawa skuad Indonesia U-23 mendunia. Memang masih ada harapan terakhir melawan Guinea di babak play-off jika gagal meraih posisi ketiga, tetapi insya Allah saya percaya Garuda Muda bisa. Jadi jangan pikirkan lamis apalagi Alexis, tetapi harus optimis. []

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.