Jumat, 26 April 24

Jokowi dan Ahok Tak Mampu Urus APBD DKI Jakarta

Jokowi dan Ahok Tak Mampu Urus APBD DKI Jakarta

Oleh: Muchtar Effendi Harahap,  Ketua Dewan Pendiri Network for South East Asian Studies (NSEAS), dan Alumnus  Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UGM,Yogyakarta (1982)

I. Pengantar

Pemprov DKI Jakarta tahun 2013-2017 tidak mampu mengurus keuangan daerah atau APBD. Indikatornya pendapatan dan belanja daerah sebagaimana tercatat dalam APBD. Baik Gubernur Jokowi (2013) maupun Ahok (2014-2016) gagal memenuhi target capaian pendapatan dan juga belanja daerah.

Ketidakmampuan para gubernur ini dapat dibuktikan dengan data, fakta dan angka berikut ini.

II. Pendapatan Daerah

Secara garis besar sumber pendapatan Pemprov DKI Jakarta yaitu: (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri pajak daerah, retribusi daerah, bagian pemda dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah (BUMD), hasil pengelolaan kekayaan daerah dipisahkan, dan sumbangan dari pihak ketiga diatur dalam Undang-Undang; (2) Dana Perimbangan bersumber dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK); (3) Sumber Lain Pendapatan Daerah Sah di antaranya sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah dipisahkan.

Pada dasarnya baik dari segi Pendapatan Daerah maupun Belanja Daerah, Pemprov DKI Jakarta tahun 2013-2017 tidak berhasil mencapai target bahkan jauh dari target capaian ditetapkan sebelumnya, dinilai sebagai kinerja buruk. Kondisi tahun 2016 terulang kembali.

Rencana Pendapatan Daerah tahun 2013 Rp. 40.799.864.826.912,00 realisasi Rp. 39.507.205.538.283,52 atau 96,83%. Data ini menunjukkan tidak mampu mencapai 100 persen realisasi.

Rencana Pendapatan Daerah tahun 2014 Rp. 65.042.0999.407.000,00, realisasi Rp. 43.447.856.485.934,00 atau 66,80%. Data ini justru membuktikan kinerja semakin buruk karena kian jauh dari 100 persen.

Rencana Pendapatan Daerah tahun 2015 Rp. 56.309. 238.000.000,00, realisasi Rp. 44.211.688.281.698,00 atau 78,52%. Juga tak mampu memenuhi target capaian 100 persen.

Kondisi buruk semacam ini juga berlaku pada tahun 2016 dan juga tahun 2017.

Mengapa buruk? Pemprov DKI Jakarta berkilah, ada masalah pada Pajak Bahan Bakar Kenderaan bermotor, Pajak Air Tanah, Pajak Hiburan, Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan, Pendapatan Pajak Daerah, Pendapatan Retribusi Daerah, Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Dipisahkan dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah.

Selanjutnya dari susi belanja daerah juga buruk. Rencana Belanja Daerah tahun 2013 sebesar Rp. 46.578.865.629.904, realisasi Rp. 38.294.398.5271. atau 82,21%. Tidak mampu memenuhi target capaian 100 persen.

Rencana Belanja Daerah tahun 2014 Rp. 63.650.106.383.473, realisasi Rp. 37.759.772.987.977 atau 59,32%. Bahkan semakin buruk, menjauh dari 100 persen.

Rencana Belanja Daerah tahun 2015 Rp. 59.685.552.609.233,00, realisasi Rp. 43.037.421.799.776.00 atau 72,11%. Juga masih tergolong buruk, sangat berjarak dari target 100 persen.

Kinerja indikator realisasi rencana Belanja Daerah semacam ini juga berlaku pada tahun 2016.

Pemprov DKI Jakarta baik di bawah Jokowi maupun Ahok mengalami kegagalan memenuhi target capaian. Bahkan, pada tahun 2014 hanya mampu mencapai 59,32%, sangat jauh dari target capaian. Kualitas kinerja Pemprov DKI Jakarta tahun 2013-2017 dapat dinilai “buruk”.

III. Berbagai Kritik

Berbagai kritik muncul baik dari lembaga negara, penyelenggara negara maupun pengamat DKI Jakarta. Kritik-kritik dimaksud antara lain:

1. Kurangnya pengawasan Gubernur DKI Jakarta terhadap program unggulan DKI Jakarta, dan langkah-langkah dilaksanakan benar-benar hanya pencitraan semata.

2. Kinerja Gubernur dan aparatnya “sangat buruk”.

3. Kepala Daerah populer tidak menjamin laporan penyelenggaraan pemerintah daerahnya bagus.

4. Badan Pengawas Keuangan (BPK) selalu memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP) sebagai hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemrov DKI Jakarta sejak tahun 2013 hingga 2015.

5. Manajemen Pemprov DKI Jakarta masih kurang tepat dan pembangunan di DKI Jakarta belum berjalan secara maksimal.

Data, fakta dan angka di atas, tentu bisa dijadikan pertimbangan untuk membantu argumentasi mereka yang menghendaki DKI Jakarta punya Gubernur baru. Pengalaman 4 tahun membuktikan tidak mampu bahkan gagal mengurus keuangan daerah, seharusnya tak muncul lagi pesan iklan,”Beri kami kesempatan untuk lanjutkan kegagalan”, ooooh maaf salah… keberhasilan kami selama ini…” (*)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.