Jumat, 26 April 24

Ganjil Genap Pilkada Serentak 2018 (2)

Ganjil Genap Pilkada Serentak 2018 (2)
* Hanif Kristianto.

Oleh: Hanif Kristianto, Analis Politik dan Media

 

Adapun 5 pelajaran penting lainnya dari 10 pelajaran Pilkada yaitu

6. Koalisi Parpol Mbingungisasi

Gairah umat Islam untuk menolak segala bentuk kedzaliman dan ketidakadilan mampu dikooptasi oleh politisi dan partai politik. Sentimen keagamaan dipakai betul dalam mengarahkan alumni aksi-aksi bela Islam. Gaung awalnya yaitu jangan pilih partai pendukung penista agama dan perppu ormas di semua hajatan pemilu. Umat Islam pun menyambutnya suka cita, terlebih dalam komando ulama.

Apa daya, sikap parpol di daerah-daerah justu membingungkan. Lamunan rakyat buyar antara partai Allah vs partai setan. Umat Islam dilema, akhirnya menunggu fatwa dan instruksi siapa yang dipilih. Koalisi dalam sistem demokrasi seperti ‘permen karet’, menihilkan ideologi, dan melanggengkan kepentingan. Pada posisi inilah umat Islam harus memiliki kecerdasan politik berbasis aqidah Islam. Jangan menggunakan asumsi dan dalih yang pada akhirnya umat jadi korban politik. Karena persoalan kepemimpinan dalam Islam berbeda dengan demokrasi. Dalam Islam pemimpin bertugas menjaga dan menerapkan syariah Islam. Dalam demokrasi pemimpin menjaga eksistensi sistem yang tidak Islami.

7. Hasil Tak Korelasi Sejahterah

Pertanyaan yang harus dijawab pemimpin terpilih yaitu mampukah mewujudkan sejahterah dan tiada lagi derita? Rakyat harus banyak belajar dari peristiwa suksesi penguasa. Sejahterah itu tercukupinya sandang, pangan, dan papan secara layak. Penguasa betul-betul menjadi pelayan rakyat tanpa terkecuali.

Hasil pilkada yang diklaim sebagai pilihan rakyat tidak pernah berkorelasi dengan kesejahteraan. Pasalnya, nilai kesejahteraan erat kaitannya dengan kebijakan dan pengaturan seluruh subsistem. Begitu pun keberadaan pemimpin baru seringnya lupa dan mudah merubah-rubah kebijakan sesuai kepentingan kelompok dan pribadi. Pada posisi inilah rakyat harus mampu memahami akar persoalan yang dialami suatu daerah dan negara.

8. Pesta Politisi

Kemenangan politisi dalam kontestasi tidak mencerminkan kemenangan rakyat sejati. Pasca pengumuman hasil pilkada melalui quick count, euforia tampak dari pasangan calon, partai pendukung, tim sukses, dan turunannya. Mereka mengklaim mendapat legitimasi dari ‘suara tuhan’. Rakyat yang memilih pun sekadar bangga mencelupkan kelingking ke dalam tinta, lalu mengupload di sosial media. Gumaman rakyat kepada pemenang dengan harapan semoga mampu melaksanakan janji politiknya.

Posisi rakyat pasca pencoblosan kembali ke barak kehidupan. Rakyat kembali bergulat dalam masalahnya yang tak terselesaikan, karena sering diabaikan. Sungguh nasib inilah yang kerap menimpa rakyat Indonesia. Baru setelah berselang waktu ada yang kecewa dan tobat politik, pun yang mengelu-elukannya.

9. Bisnis Survey

Lembaga survey sudah menjadi ‘tuhan’ baru demokrasi. Hasil surveynya menjadi pengarah opini publik, karena memang didukung media. Perbedaan hasil survey dengan lembaga lainnya dikarenakan siapa yang meminta dan siapa yang disurvei. Angka-angka hasil bisa dijadikan rujukan dalam menentukan langkah politik ke depan. Semisal di pilgub Jabar, ketika pasangan Asyik diposisikan nilai kecil oleh lembaga survey, akhirnya upaya menggandeng ulama dan #2019GantiPresiden diklaim mampu menaikan elektabilitas di hari pencoblosan.

Lembaga survey harus jujur dalam menyampaikan hasilnya ke publik. Jika ada kesalahan harus mau mengakui. Bukan rahasia umum ada pihak tertentu yang sengaja membeli untuk menaikan nilai tawar. Namanya survey selain kepentingan politik juga jadi lahan bisnis. Marak lembaga survey akhir-akhir ini ditengarai turut meramaikan ‘pesta yang sarat biaya’.

10. Bandar Politik

Demokrasi memang mahal, itu keputusan final. Nah, publik dibuat penasaran siapa bandar yang investasi pada semua paslon? Mustahil dengan uang pribadi paslon, bisa jadi ada dana siluman dari orang tak bertuan. Kepentingan penguasa dan pengusaha akhirnya bertemu dalam satu titik.

Beternak yang paling menguntungkan adalah beternak penguasa. Anekdot itu tampaknya berlaku dalam model demokrasi. Pemilik modal (pengusaha) sengaja tak menunjukan batang hidungnya. Mereka tak peduli siapa yang berkuasa, yang penting bisnis terus berjalan. Syukur-syukur dibantu penguasa atas nama legitimasi aturan. Di tahun politik, penguasaha dibuat dag-dig-dug. Pasalnya mereka harus menyiapkan ongkos politik untuk kemenangan salah satu paslon atau menaruh modal di semua paslon.

Bandar politik inilah yang lebih berjasa bagi paslon pilkada. Rakyat cuma dipungut suaranya. Selebihnya suara rakyat dianggap bising dan mengganggu. Berbeda dengan suara bandar yang terus diperhatikan. Rakyat harus terus memantau siapa bandar mereka? Pada kondisi demikian rakyat harus menjadi pemilih cerdas.

Masih banyak pelajaran berharga dari pilkada serentak 2018. Pemilu dalam era komputerisasi dan digitalisasi ternyata belum sepenuhnya dipahami secara bijak oleh penyelenggara. Angka penyelenggaraan pemilu yang puluhan triliun, ternyata tak mampu menyelamatkan data. Justru yang paling penting, rakyat harus memiliki kecerdasan dan kewaspadaan politik, serta terus mengupdate dan mengikuti manuver politisi. Jika rakyat ingin cerdas, maka politik Islam inilah menjadi dasar dan modal untuk mewujudakn umat yang bermartabat dan diatur dengan syariah Islam. Semoga! (***)

Related posts

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.