Laode memaparkan, enam alasan mengapa Pilkada itu layak ditunda. Pertama, adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan sebanyak Rp 330 miliar yang diduga diselewengkan. Belum lagi adanya audit BPK tentang Pilkada 2015 yang disebut masih kurang anggaran.
Kedua, KPU masih sulit meyakinkan administrasi pemilih yang valid. Apalagi terbuka kemungkinan adanya mobilisasi pemilih dari daerah tetangga yang bisa merusak suara dan memicu kerusuhan antar pendukung masing-masing calon kepala daerah.
Ketiga, pihak Mahkamah Konstitusi (MK) masih harus lakukan simulasi atas penanganan sengketa pilkada yang diperkirakan akan banyak terjadi. “Jika berharap MK bersikap obyektif dan adil, maka harus menunjukkan pada publik skenario penanganan konflik oleh MK itu,” ujarnya.
Keempat, KPU dan pemerintah seharusnya perlu membuat aturan-aturan yang relevan agar bisa membatasi ruang incumbent atau keluarga petahana yang akan jadi calon. Hal ini menyusul adanya putusan MK yang membolehkan petahana maju sebagai calon kepala daerah.
Kelima, penundaan bisa dilakukan untuk memberi ruang dan waktu bagi dua partai politik yang berkonflik Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) agar bisa melakukan konsolidasi. Sebab, Sebab, katanya, bagaimanapun kedua parpol itu merupakan aset rakyat bangsa ini.