DPR Jangan Lanjutkan Pembahasan RUU Krusial

DPR Jangan Lanjutkan Pembahasan RUU Krusial
Obsessionnews.com - DPR RI diminta tidak melanjutkan pembahasan revisi undang-undang yang krusial. Seperti RUU MK, RUU Kementerian Negara, RUU TNI dan RUU Polri. Peneliti Formappi, Lucius Karus menyebut, masa bakti DPR periode 2019-2024 yang bakal berakhir kurang dari tiga bulan ke depan, lebih baik fokus menuntaskan RUU Prioritas. Sedangkan RUU MK, Kementerian Negara, RUU TNI dan RUU Polri, lebih baik dilanjutkan oleh DPR periode selanjutnya.   Baca juga: Diprotes! Ketua Komisi VIII DPR Bicara Soal IUP Tambang Ormas, yang Bukan Tupoksinya   "Kenapa kemudian seolah-olah merasa kalau UU Kementerian Negara tidak direvisi, Prabowo tidak bisa membentuk kabinet. Kalau UU MK tidak direvisi seolah-olah MK tidak bisa mengadili sengketa hasil pilkada nanti," kata Lucius, dalam acara diskusi bertajuk "Kala KPK di Bawah Kendali Politik" yang digelar di Kantor Para Syndicate, Jakarta, Jumat (14/6). Menurut Lucius, kinerja legislator hanya meladeni penguasa kalau mengesahkan RUU pada sisa masa jabatan. Malahan, cenderung bersikap ugal-ugalan karena tidak memenuhi syarat pembentukan UU. Begitu pula dengan usulan mengembalikan UU KPK yang lama melalui revisi. Sekalipun penting atau krusial, dia menganggap lebih baik usulan tersebut didorong oleh DPR periode selanjutnya. Lucius menegaskan, revisi UU tidak boleh hanya fokus pada 1-2 ayat saja. Kalaupun mau mengubah harus dilakukan secara benar, didahului dengan naskah akademik.   Baca juga: Proyek IKN: Negara Dijadikan Lahan Bisnis, Rakyat Dipaksa Jadi Customer Oligarki   Sebagai contoh, Lucius menyinggung penyusunan RUU IKN yang serba ugal-ugalan. Tidak mengikuti ketentuan yang berlaku dan direvisi sebelum UU IKN dieksekusi. "Sudah cukup praktik selama ini mencomot 1-2 pasal untuk kemudian direvisi tanpa proses pembahasan panjang lebar, akhirnya kita akan berhadapan dengan praktik seperti UU IKN. IKN saja belum berjalan, undang-undang yang sebelumnya diputus belum dieksekusi, sudah diubah lagi," ungkapnya. Dia menganggap, revisi UU Kementerian Negara, TNI, Polri dan MK, cenderung dipaksakan kalau disahkan oleh DPR periode sekarang. Sebab ada persoalan serius yang perlu dibahas secara komprehensif. Melalui revisi, Polri bakal diberi kewenangan melakukan penyadapan tanpa meminta izin dari pengadilan. Personel TNI bisa menjabat pada lembaga publik, dengan dalih subjektif, sesuai kebutuhan presiden. "Di penghujung 2019-2024 kita sedang dipertontonkan dengan sebuah situasi di mana negara atau politik sedang ingin mengendalikan semuanya. Jadi DPR yang punya fungsi legislasi menjadi kaki tangan oleh (kekuatan) politik itu, karena harus UU dibahas oleh DPR bersama pemerintah. Kalau kita ramai-ramai menolak revisi tetapi tidak didengar maka agenda yang sedang dijalankan DPR, bukan agenda rakyat yang mereka wakili," kata Lucius. Dia menilai, kalau memang revisi dimaksudkan untuk memperkuat lembaga, lebih baik dilakukan oleh DPR periode mendatang, yang bakal dilantik pada Oktober 2024. Didahului dengan penyusunan naskah akademik, penyusunan draf dan dibahas oleh Badan Legislasi untuk selanjutnya dibahas DPR bersama pemerintah. "Jadi kita wajib menolak semua undang-undang yang tiba-tiba muncul, karena tidak ada dalam daftar RUU Prioritas 2024, ada 47 RUU Prioritas. DPR sekarang ini baru bisa menghasilkan 4 dari 47 (RUU) itu, jadi ada utang 43 (RUU)," ujarnya. "Sudah ada utang 43, mereka berani-beraninya angkut undang-undang baru untuk direvisi. Pesan kita ke DPR diselesaikan saja 43 RUU yang sudah direncanakan sejak awal," selorohnya. (Erwin)