Dilema Sumpah Prajurit TNI Terhadap Kekuasaan Presiden

Dilema Sumpah Prajurit TNI Terhadap Kekuasaan Presiden
Dilema Sumpah Prajurit TNI Terhadap Kekuasaan Presiden dan Bahaya Nepotisme Politik Terhadap Idiologi Pancasila - Oleh : Habil Marati (Anggota DPR RI Periode 1999 – 2009) Loyalitas TNI telah teruji ketika meletusnya G30S PKI, TNI berhasil menumpas PKI meskipun saat itu Panglima Tertinggi ABRI President Soekarno yang mendukung Nasakom tidak setuju PKI di bubarkan. Lalu bagaimana dengan TNI sekarang?. TAP MPRS/ XXV/1966 adalah legitimasi pada TNI untuk mencegah dan memberangus kembalinya faham komunis dan Marxisme di Indonesia. Jangan salah, lahirnya Dwi Fungsi ABRI pada era Orde Baru bertujuan untuk mengamankan Bangsa, Negara serta idiologi Pancasila dari faham komunisme dan Marxisme Agar peristiwa 48 dan 1965 tidak terulang kembali. Faham komunisme dan Marxisme tidak boleh diberi peluang untuk hidup pada NKRI. Pemberontakan PKI baik 1948 maupun 1965 dimotori dan di lakukan oleh masyarakat sipil serta adanya ketidak pastian politik serta pertarungan partai partai politik aliran yang bertentangan dengan Pancasila. Layolitas TNI pada Bangsa dan Negara di ikat dalam prasasti sumpah Prajurit. Sumpah Prajurit adalah doktrin tertinggi TNI untuk mengawal kedaulatan Rakyat, Idiology Pancasila, Negara dan Rakyat. Yang jadi pertanyaan adalah sejauh mana Sumpah prajurit ini tegas di implementasikan mana Kala pemimpin Negara atau partai politik merubah pancasila dan merubah haluan Negara dan UU Dasar Negara 45, Atau kapan TNI akan mengatakan bahwa telah terjadi pelanggaran TAP MPRS/XXV/ 1966? Sementara selama ini TNI menganggap bahwa hubungan TNI dan Presiden adalah hubungan antara prajurit dan Panglima tertinggi. Padahal, dalam pasal 10 UUD45 bahwa President adalah Pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Bukan sebagai Panglima tertinggi TNI. Pengertian pemegang kekuasaan tertinggi di sini adalah penggunaan kekuatan TNI untuk membela kedaulatan dan kehormatan Negara dari Bangsa lain. Akan tetapi kalau ada kebijakan President mengancam kedaulatan dan keselamatan Bangsa dan Negara maka TNI wajib mengambil tindakan terhadap siapapun termasuk kepada President sendiri. Mantan Menteri Hukum dan HAM Prof Yusril Ihza Mahendra di Medan menceritakan bahwa ketika Gus Dur Presiden RI dalam sidang kabinet ingin menghidupkan paham komunisme dan Marxisme dengan mencabut TAP MPRS/25/ 66. Yusril seorang sipil berani melawan kebijakan Presiden, sedangkan Menkopolkam, dan dua orang jendral TNI tidak menentang kebijakan Gus Dur tersebut dengan alasan karena mereka bertiga adalah prajurit, bukankah ini menjadikan Sumpah Prajurit sebuah dilema? Ada pemaknaan yang keliru dalam hubungan TNI dan Presiden. Dalam sumpah prajurit dengan tegas berbunyi antara lain: “ Demi Allah Saya ber sumpah/ berjanji” 1. Setia Kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Berdasarkan Pancasila dan UUD45. Sekarang mari kita lihat di dalam Pembukaan UUD45 ada kalimat berbunyi “ Atas berkah Rahmat Allah Yang Maha Kuasa ..... maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekannya”. Kalimat dalam Pembukaan UUD45 juga terdapat dalam Sumpah Prajurit yaitu “Demi Allah Saya bersumpah/ berjanji memilki makna bahwa antara Pembukaan UUD45 dengan Sumpah prajurit memiliki satu legitimasi tertinggi yaitu Allah SWT Yang Maha Kuasa.” Dengan demikian, seharusnya TNI menolak Amandemen UUD45 dan TNI wajib mengembalikan Pancasila sebagai sumber legitimasi tertinggi demokrasi NKRI. Apakah TNI sadar bahwa UUD45 Amandemen itu tidak lagi sesuai dengan UUD45? Covernya UUD45 tapi isinya UUD baru. Lalu bagaimana dengan kehidupan Politik di Indonesia saat ini? Nepotisme partai politik hanya akan melahirkan kekuasaan dari hulu ke hilir dan ini mengancam Kedaulatan Rakyat, di samping itu, akan terjadi pembelokan terhadap cita cita proklamasi dan kemerdekaan serta tujuan kehidupan ber Bangsa dan bernegara. Aliran partai politik yang sekuler cenderung akan menempatkan pancasila sebagai idilogi terbuka dan menara gading. Nepotisme partai politik baik secara Internal maupun secara eksternal di dalam kekuasaan akan mengkapitalisasi kekuasaan menjadi sebuah idiologi baru dan konstitusi baru. Ini dapat dilihat bahwa Amandemen UUD45 semakin ke depan hanya akan melahirkan Pimpinan prematur dan setingan. Agar Pancasila sebagai idiologi Negata dan Sumpah Prajurit tidak menjadi sebuah dilema terhadap kekuasaan yang diperoleh dari nepotisme partai politik, maka Istilah President sebagai Pemegang kekuasaan tertinggi TNI perlu dirumuskan secara faktual dan prospektif. Agar TNI dalam menegakan TAP MPRS/ XXV/ 1965, serta mengembalikan UUD45 Asli dan kembali menempatkan Pancasila sebagai Sumber legitimasi demokrasi tertinggi, maka TNI harus independen dari kekuasaan legislatif. Demikian juga TNI harus bebas dari ekses keputusan politik. Setiap putusan politik yang merubah UUD45 dan Penyimpangan dari Idiologi Pancasila TNI wajib menindak dan menghentikan, karena ini sesuai dengan Sumpah Prajurit. (***)