Dewan Pertimbangan Amburadul

Obsessionnews.com - "Dengan Undang-Undang ini ditetapkan Dewan Pertimbangan Presiden berubah nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung," begitu bunyi Pasal 1A dalam draf Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres.
Perubahan nomenklatur dengan merevisi UU Wantimpres atas inisiatif DPR membuat banyak pihak geleng-geleng kepala. Idealnya, perubahan tersebut harus diikuti dengan mengamendemen UUD 1945 karena menghidupkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang eksis sebelum amendemen keempat.
Baca juga: Ketua DPR Wanti-wanti Revisi UU Wantimpres Jangan Tabrak KonstitusiDPR langsung memasuki masa reses selepas menetapkan RUU Wantimpres sebagai usul inisiatif, melalui rapat paripurna, Kamis (11/7). Namun jauh sebelum Baleg DPR menggelar pleno, sudah muncul aspirasi untuk menghidupkan DPA merespons wacana Presidential Club dengan Jokowi menjadi salah satu anggotanya.
Ketua MPR Bambang Soesatyo mengusulkan Presidential Club yang anggotanya merupakan kumpulan Presiden RI tersisa dilembagakan. “Tetapi tentu saja harus melalui amendemen kelima," kata politisi yang beken disapa Bamsoet, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Mei 2024.
Belakangan Bamsoet kembali menegaskan sikapnya mendukung hidupnya DPA. Namun kali ini tidak menyinggung amendemen. Bamsoet menilai, revisi penting agar nantinya DPA bisa berperan dalam pemerintahan ke depan.
Baca juga: Wantimpres Jadi DPA, Jokowi Ogah PusingPolitisi Golkar ini menyinggung sedikitnya ada tiga poin dalam revisi UU Wantimpres. Selain mengubah nomenklatur menjadi DPA, revisi juga mengatur jumlah dan syarat menjadi anggota.
“Sehingga pada saat Prabowo-Gibran dilantik mejadi Presiden-Wakil Presiden RI, keberadaan DPA sudah ada dan bisa langsung dimaksimalkan untuk mendukung pemerintahan Prabowo - Gibran," kata dia.
DPA yang eksis sejak Indonesia merdeka tak lagi tercantum dalam konstitusi ketika amendemen keempat dilaksanakan. Pembubaran dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 135/M/2003 tertanggal 31 Juli 2003.
Keberadaan DPA dianggap inefisien karena semacam pajangan dengan tugas dan wewenang memberi nasihat kepada presiden baik diminta ataupun tidak. Kini situasi mulai berbalik, DPA dihidupkan lagi dengan kedudukan berbeda.
Poin krusial dalam RUU Wantimpres salah satunya ada dalam Pasal 2 yang menegaskan DPA sejajar dengan lembaga negara lain sebagaimana yang dimaksud dalam UUD 1945. Sialnya, publik tidak tahu apa urgensi DPR bersama pemerintah membahas RUU Wantimpres jelang dilantiknya Presiden-Wapres terpilih.
“Jangan-jangan hanya terkait dengan politik akomodasi dan bagi-bagi kekuasaan. Apalagi keanggotaannya tidak dibatasi, tetapi diserahkan pada presiden,” kata peneliti BRIN Lili Romli kepada Obsessionnews.com di Jakarta, Jumat (12/7).
Romli menyinggung politik Indonesia pasca-Pilpres 2024 masih bernuansa pragmatis dengan dominasi kepentingan kekuasaan. Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat malah menyebut, sepanjang Republik berdiri baru kali ini presiden yang sedang menjabat menyiapkan anak dan menantu untuk berkontestasi.
Menurut Romli, situasi seperti ini bakal berlanjut kalau Jokowi selepas lengser sesuai konstitusi, kembali menjabat anggota DPA yang levelnya setara dengan lembaga negara lain. Khawatirnya, DPA yang dihidupkan dengan argumentasi politik-hukum keberadaannya malah membuat bangsa amburadul.
“Untuk itu saya kira dalam pembahasan RUU DPA ini harus clear, melibatkan partisipasi publik secara luas dan perlunya transparansi dalam pembahasannya,” kata Romli. (Erwin)